Sabtu, 08 Desember 2012


ISLAM, MUSLIM DAN PERILAKU EKONOMI
(Ketika Agama menjadi komoditas yang diperjual belikan
_Islamic Consumption Trend_ )

ABSTRACT
By : Nihayatur Rohmah[1]
Globalization has brought about the increasing consumption by people in indonesia  among other things, popular culture. Western food, fashion and fun are among the areas of popular culture people would like to enter into. Let’s take films as an example of fun. While american idol emerges as a very popular tv show in america, in indonesia a similarly organized tv show called indonesian idol enjoys also the same popularity among indonesian audiences. For many audiences in indonesia, one who does not watch indonesian idol can be regarded as a person who does not keep up with the  most recent product of global culture. This globalization then affects the way people consume their religious teachings as well as how religious teachings should be transmittes to them. People who previously had to a attend special forums for studying religious teaching, such as mosque, now just sit in front of tv, seeing public preaching presented by a preacher. By this way of studying, they can save energy and more importantly they are not required to have a face to face contact with the preacher and others in the audience. As a consequences, the social contact then appears to be increasingly less important. The buying and selling of commodities incorporates the process of socialization that includes both the buyer and seller. Within this context , religious commodities can be viewed as the process by which the social economic market is being utilized by religious ideology. Further this process turns piety into a commodity , religion becomes something which can be bought and sold.

Keywords: Globalization,consumption, religious commodities.

A.      Pendahuluan
Jika melakukan telaah kebudayaan yang mendalam kita dapat membuat kesimpulan, umat manusia kini berada pada kesadaran sejarah paling puncak, yakni kesadaran bahwa dirinya sebagai bagian yang tidak bisa lagi dipisahkan dengan kehidupan umat manusia secara universal. Meskipun kesadaran ini sebenarnya merupakan bagian dari kemanusiaan itu sendiri, artinya telah ada semenjak keberadaan manusia, namun pada saat inilah kesadaran tersebut menemukan momentum yang tepat, dan sekaligus tantangan yang dahsyat. Adalah kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan tehnologi seperti transportasi, komunikasi dan komputer yang telah menjadikan kesadaran tersebut dapat teraktualisasikan dengan sempurna setidaknya secara material. Saat ini manusia dengan begitu mudah dan cepatnya berkomunikasi dengan manusia lain meskipun dari sisi tempat yang berjauhan dan saat itu pula dapat menyaksikan peristiwa yang terjadi didunia lain. Para ilmuwan menyebut fenomena ini dengan globalisasi. [2]
Perdebatan tentang globalisasi menimbulkan emosi dan memunculkan beragam pendapat. Beberapa orang berpendapat bahwa proses globalisasi menyebabkan ekonomi politik dan budaya semakin terbuka,  pertumbuhan ekonomi yang semakin bebas, perdamaian dan kerjasama internasional. Yang lainnya berpendapat bahwa globalisasi memperlebar kesenjangan antara miskin dan kaya, memperdalam ketidakadilan dan mempromosikan eksploitasi masyarakat dan lingkungan. Dikatakan bahwa globalisasi dibanyak negara mengarah pada pengangguran yang lebih tinggi dan melemahnya negara kesejahteraan. Banyak berbagi kekhawatiran orang tentang fakta bahwa daya dan sarana produksi semakin didominasi oleh segelintir orang saja (in the hands of a few). Sebagai konsekuensinya, rekomendasi politik dan etika mungkin akan berbeda. Sedangkan beberapa suara-suara yang menyerukan percepatan proses globalisasi dengan mempromosikan liberalisasi dan privatisasi di segala bidang kehidupan, orang lain yang meminta untuk globalisasi alternatif untuk mempromosikan nilai-nilai inti umum seperti keadilan dan penghormatan dan pelaksanaan hak asasi manusia.[3]
            Perbedaan pendapat tentang "globalisasi" sebenarnya hanya sebesar kesepakatan pada pentingnya perubahan itu sendiri. Kini,  konteks global mempengaruhi  hidup kita sedemikian rupa sehingga tak tertandingi untuk setiap era dalam sejarah. "Globalisasi" adalah suatu istilah kolektif untuk berbagai hal dimana antara satu sama lain saling tergantung dan  saling meningkatkan proses. Kawasan yang sebelumnya dipisahkan oleh bangsa, kelas, agama dan garis pemisah lainnya sekarang ditarik ke dalam lingkup yang sama. Globalisasi terus menerus mengarah ke ekspansi yang sedang berjalan dan intensifikasi diberbagai bidang. Politik, budaya, sosial dan fenomena agama, yang sebelumnya memiliki wilayah terpisah kurang lebih menjadi hidup dan mempengaruhi satu sama lain.[4]
Kini, dengan perkembangan tehnologi informasi, globalisasi tidak lagi diberi muatan fisikal, sebaliknya globalisasi lebih diberi makna abstrak. Penciptaan ide-ide, perilaku, dan sentimen baru diberbagai tempat tak harus melalui physical contacts. Salah satu fenomena yang bisa dilihat adalah tumbuh berkembangnya kepintaran dalam mengemas agama menjadi barang komoditas. Munculnya sejumlah da’i selebritis dengan pangsa pasar dan strategi pemasaran yang jelas sampai pada jual beli hal yang ghaib seperti jin adalah fenomena perilaku ekonomi  da’i selebritis dengan pangsa pasar dan strategi pemasaran yang jelas sampai pada jual beli hal yang ghaib seperti jin adalah fenomena perilaku ekonomi ang tak biasa. Mungkin dari sisi ini para da’i selebritis mendapat sisi berkah dari globalisasi. Selanjutnya, dalam tulisan ini akan mmengeksplorasi sejauh mana “Islamic Consumption trend”  ini berlangsung.
B.  Pembahasan
a.    Agama sebagai sebuah sub_sistem Masyarakat
Masyarakat modern ditandai dengan masyarakat yang bersifat individualis, pluralisme dan globalisasi serta pembentukan identitaspun menjadi tugas individu. Masyarakat  harus menemukan gaya hidupnya sendiri dan bahkan pandangan terhadap dunia. Memiliki begitu banyak pilihan baik dalam menciptakan kebebasan baru serta ketidakpastian dan kebingungan.  Pembentukan identitas yang menjadi tugas individu, terdapat beberapa teori yang mempertanyakan tentang gagasan satu  identitas dan bukan berbicara tentang banyak identitas yang harus dibangun dan direkonstruksi dalam kehidupan individu.[5]

Menurut teori Kelly[6],  suatu konstruksi pribadi adalah kognisi atau asumsi mental dimana seseorang menggunakannya untuk mengkategorikan dunia. Sistem terhadap konstruk pribadi adalah sistem hirarki yang meliputi karakteristik pribadi seorang individu yang dirancang untuk meminimalkan ketidaksesuaian dan inkonsistensi dalam kehidupan bersama. Pengalaman dan perilaku manusia ditentukan oleh sistem. Sejauh mana posisi hirarkis dalam sistem konstruk individu itu mempengaruhi sebuah pengalaman dan perilaku seseorang. Identitas pribadi dengan demikian didefinisikan oleh cara  indvidual dalam memahami  dunia pribadinya. Jadi perubahan konstruksi  bersamaan dengan perubahan identitas. Dalam masyarakat modern peran agama telah berubah. Sosiologi modern memahami masyarakat sebagai hasil interaksi sub sistem, yang semuanya memiliki struktur mereka sendiri dan logika batin. Beberapa sub sistem utama dapat dilihat bidang ekonomi, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan agama menjadi subsistem individu antara lain dalam masyarakat. Agama dianggap tidak memiliki posisi istimewa di sini.

Ini memiliki beberapa konsekuensi; Pertama, Agama (yang diklaim sebagai agama yang tunggal)merupakan salah satu perubahan budaya dari pandangan homogen oleh dunia  komunal menjadi pluralisme agama, agama-agama (dalam bentukjamak). Lebih dari satu agama adalah bagian dari budaya. Kedua, Individu memiliki pilihan untuk menentukan agama mana yang akan dipilih, itupun  jika ia menganggap agama itu sesuatu yang  penting .[7]

Sebaliknya, dalam masyarakat tradisional atau dalam masyarakat tertutup agama mencakup semua bidang masyarakat lainnya. Agama tidak hanya satu sub-sytem budaya tapi mnecakup dasar dan kerangka yang lainnya. Ini adalah fenomena yang tidak bisa ditawar. Hal ini dapat kita temukan di negara-negara Islam serta beberapa negara kristen Barat. Individu merupakan bagian dari budaya yang secara alamiah juga merupakan bagian dari identitas budaya-agama.[8]


Religion/God

Oval: Health systemOval: educationOval: science                                                                       



Religion/God                                                                                         Religion/ God


Oval: Business Oval: politics



Religion/God
            Jadi, terdapat pergeseran pemahaman terhadap fungsi agama. Dahulu agama menjadi suatu bagian yang integral dalam diri manusia sehingga identitas pribadi merupakan cerminan dari identitas budaya agama.  Sedang dalam masyarakat modern agama dipandang sebagai suatu yang terpisah dari masyarakat, tinggal bagaimana agama itu dijadikan sebuah pilihan hidup oleh masyarakat sendiri.
b.   Pergeseran Paradigma: Dari Era Rasional _ke Emosional_ke spiritual
Praktik bisnis dan pemasaran sebenarnya bergeser dan mengalami transformasi dari level intelektual (rasional) ke emosional dan akhirnya ke spiritual.[9] Di level intelektual (rasional), pemasar menyikapi pemasaran secara fungsional-teknikal dengan menggunakan sejumlah tools pemasaran, seperti positioning, targeting, marketing-mix dan lain sebagainya. Kemudian di level emosional kemampuan pemasar dalam memahami emosi dan perasaan pelanggan menjadi penting. Jika pada level intelektual otak kiri si pemasar paling berperan, sebaliknya di level emosional otak kananlah yang paling dominan.[10] Namun, saat ini dan dimasa yang akan datang apalagi setelah pecahnya skandal keuangan di Amerika serikat dengan tumbangnya perusahaan-perusahaan raksasa, maka era pemasaran telah bergeser lagi kearah spiritual marketing.
Di level spiritual ini, pemasaran sudah disikapi sebagai bagian”bisikan nurani” dan “panggilan jiwa”(calling). Disini praktik pemasaran dikembalikan kepada fungsi yang hakiki dan dijalankan dengan moralitas yang kental. Prinsip kejujuran, empati, cinta, dan kepedulian terhadap sesama menjadi dominan. Bahasa yang digunakan dalam level ini adalah bahasa nurani/ hati yang akan menunjukkan kemana arah yang akan dituju. Dalam hal ini orang semata-mata tidak lagi menghitung masalah untung atau rugi, tidak lagi terpengaruh dengan hal-hal yang bersifat duniawi, karena panggilan jiwa yang mendorongnya.[11]
Di dalam keseluruhan prosesnya tidak ada yang bertentangan dengan prinsip-prinsip muamalah, ia mengandung nilai-nilai ibadah yang disertai keikhlasan semata-mata hanya untuk mencari keridlaan Allah, maka seluruh bentuk transaksinya insyaAllah akan menjadi ibadah dihadapan Allah. Ini akan menjadi bibit dan modal dasar baginya untuk tumbuh menjadi bisnis besar  yang memiliki spiritual brand, yang memiliki kharisma, keunggulan dan keunikan yang tak tertandingi.
c.    Privatisasi Agama dan Globalisasi
Globalisasi yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan dalam kehidupan telah mendorong pembentukan definisi baru tentang berbagai hal dan memunculkan praktek kehidupan yang beragam. Cara-cara orang dalam mempraktekkan agama juga mengalami perubahan, bukan karena agama mengalami proses kontekstualisasi sehingga agama embedded didalam masyarakat, tetapi juga karena budaya yang mengkontekstualisasi agama itu merupakan budaya global, dengan tata nilai yang berbeda.iklim yang kondusif bagi perbedaan-perbedaan cara hidup tersebut telah melahirkan proses individualisasi yang meluas, yang menjauhkan manusia dari konteks generalnya. Transformasi general ke individual menandakan suatu perubahan dalam ikatan dan sentimen-sentimen. Kecenderungan ini dapat dilihat pada apa yang dikatakan oleh para ahli sebagai”privatisasi agama”, yang menunjukkan proses individualisasi dalam penghayatan dan praktik agama. Privatisasi agama itu tidak hanya menegaskan pergeseran masyarakat secara meluas, tetapi juga mempengaruhi proses reorganisasi sosial budaya.
Pergeseran-pergeseran yang terjadi dalam Islam dengan menggunakan kerangka kerja Mike Featherstone sebagaimana yang telah penulis kutip dalam bukunya Abdullah,[12] yakni yang disebut dengan tiga tanda dari pergeseran masyarakat masa kini adalah;
1.      Dominannya nilai simbolis barang
Pengaruh perubahan reorganisasi kehidupan itu terhadap kehidupan keagamaan dapat dilihat pada tiga proses yang menjadi tanda dari keberadaan masyarakat modern, diantaranya adalah:
-       Proses matrealisasi kehidupan yang mentransformasikan berbagai hal menjadi komoditi sehingga terjadi proses komodifikasi secara meluas.
-       Tekanan sosial yang diakibatkan oleh etos kerja kapitalistik yang menyebabkan hidup menjadi proses mencari nilai tambah secara material.
-       Proses mobilitas yang menjadi fenomena terpenting di akhir abad 20-an ini yang mempengaruhi berbagai bentuk reorganisasi sosial, ekonomi dan politik.
Dalam masyarakat yang berorientasi pada pasar, cara pandang terhadap dunia (seperti juga terhadap agama)mengalami pergeseran. Agama dalam hal ini bukan merupakan sumber nilai dalam pembentukan gaya hidup tetapi lebih sebagai instrumen bagi gaya hidup itu sendiri. Naik haji tidak lagi sebagai perjalanan spiritual (sakral) semata tetapi telah pula menjadi “produk” yang dikonsumsi dalam rangka “identifikasi diri” yang disebut Friedman sebagai bentuk cultural strategy of self definition. Disini tampak bahwa agama tidak lagi menjadi suatu sistem ideologi yang memberikan basis pengetahuan didalam proses evaluasi dan praktik kehidupan seseorang karena ia lebih merupaka “pelengkap”kehidupan. Dalam hal ini, karena agama telah mengalami privatisasi, maka agama dapat dengan mudah menjadi produk yang dapat diperjualbelikan atau dikomodifikasi.Yang menarik bahwa pasar dalam hal ini tidak hanya mentransformasikan kehidupan keagamaan tetapi agama juga telah digunakan untuk mensahkan kepentingan pasar.
2.      Proses estetisasi kehidupan
Maksud dari proses estesisasi kehidupan adalah menguatnya kecenderungan hidup sebagai proses seni. Produk yang dikonsumsi tidak dilihat dari fungsi, tetapi dari simbol yang berkaitan dengan identitas dan status. Selain itu, estetisasi merupakan pergeseran hidup dari proses etis ke estetika. Dengan demikian yang dikonsumsi dalam hal ini bukan esensi agama itu sendiri tetapi citra agama sebagai suatu sistem simbol. Pada saat agama merupakan the work of art –meminjam istilah Georg Simmel- ia kan menjadi private business. Privatisasi agama dalam hubungannya dengan the work of art tidak hanya merupakan tanda dari menjauhnya agama dari kepentingan publik tetapi juga memperlihatkan kecenderungan masyarakat dalam mempertanyakan kredibilitas agama, menyangkut apa yang dilakukan agama untuk kepentingan umatnya. Dengan demikian agama tidak hanya menegaskan fungsinya bagi umat, tetapi performance nya dalam memberikan solusi diluar masalah agama.[13]
3.      Melemahnya sistem referensi tradisional
Kecenderungan privatisasi agama karenanya akan semakin jelas jika kebudayaan (lokal) tidak merespon situasi semacam ini. Bagaimanapun sistem referensi tradisional yang berasal dari budaya lokal harus diperkuat bukan untuk meredam pengaruh kebudayaan global, tetapi lebih untuk memanfaatkan sebaik mungkin pertemuan dengan kebudayaan luar sebagai modal didalam pengembangan kebudayaan lokal. Agama yang menyangkut substansi doktrin, nilai-nilai dan pola tingkah laku dalam keberagamaan merupakan “religious modalities” yang menentukan bagaimana dunia dengan perubahan yang dikonsepsikan dan ditata.[14]
Salah satu resiko dari privatisasi agama adalah semakin banyaknya fenomena komodifikasi. Secara teoritik, komodifikasi menjelaskan cara kapitalis dalam menjaga tujuan mereka dalam mengakumulasi kapital atau merealisasi nilai melalui transformasi nilai guna kepada nilai tukar. Dalam karyanya Capital, Marx memulai pembahasannya dengan membicarakan mengenai bentuk-bentuk komoditas. Ekonomi politik telah banyak memberikan pertimbangan pada institusi dan stuktur bisnis yang memproduksi dan mendistribusi komoditas dan menguasai badan-badan yang meregulasi proses-proses tersebut.[15]
d.   Agama, Pasar dan Gaya Hidup Masyarakat [16]
            Sesungguhnya praktik iklanisasi agama di televisi tidak hanya memperlihatkan betapa dangkal nilai-nilai relegius, tetapi juga berdampak besar terhadap praktik beragama sebagai gaya hidup dalam kehidupan masyarakat. Dibayang-bayangi kapitalisme media, iklan bernuansa agama semakin menunjukkan mempengaruhi terhadap gaya hidup masyarakat. Hal ini terlihat dari gaya hidup, tokoh politik, para selebriti, pemilik modal, pedagang, mendadak disuguhi oleh aneka macam iklan dan semarak kegiatan keagamaan. Komodifikasi agama yang  terdapat dalam iklan tersebut pada akhirnya menjadi kamuflase yang menjadikan agama sebagai komoditas.
Tumbuh dan berkembangnya ruang iklan sebagai komodifikasi agama sebenarnya hanya sebuah strategi yang menggunakan instrumen agama, berupa ajaran, simbol-simbol, solidaritas ingroup (ukhwah islamiah), sentimen keagamaan, dan lain sebagainya. Karena Isu-isu keagamaan merupakan komoditi yang cukup fungsional ketika dijadikan komoditi dalam ruang iklan. Ketika agama dikomodifikasikan akan mereduksi nilai agama itu sendiri, sehingga agama hanya terperangkap dalam kerangkat formalis-simbolis semata yang hanya mengedepankan kamuflase dan pencitraan. Komodifikasi agama dalam ruang publik pada akhirnya akan melahirkan mereduksi sakralitas nilai-nilai agama yang sesungguhnya. Nilai-nilai keagamaan akan teralienasi dibalik pencitraan.
Agama dalam hal ini bukan merupakan sumber nilai dalam pembentukan gaya hidup, tetapi lebih sebagai instrumen bagi gaya hidup itu sendiri. Dalam logika pasar agama di posisikan sama dengan barang-barang dangangan lainnya yang dikelola sedemikian rupa. Sehingga bukan hanya hari-hari besar agama yang digunakan momen untuk dijadikan komoditi dalam logika pasar, tapi yang lebih sublim dari itu adalah kaum muslim sendiri telah dibentuk menjadi konsumen untuk distribusi barang-barang dalam logika  pasar. Seperti pakaian, makanan, alat shalat, asesoris, lembaga pendidikan, dan surat kabar dan lain sebagainya.
Keislaman pun telah didefinisikan oleh pasar dengan menciptakan kategori-kategori yang bersifat artifisial dan simplistik. Haji merupakan contoh yang paling nyata dalam hal ini. Perbedaan dalam praktik haji juga telah terjadi akibat intervensi pasar. Naik haji tidak lagi dimaknai sebagai perjalanan spritual (sakral) semata, tetapi telah pula menjadi produk yang dikonsumsi dalam rangka identifikasi baru berupa prestise, status, pencitraan, (ingin) dianggap saleh di tengah-tengah masyarakat. Maka yang terjadi adalah bukan lagi kebutuhan spritual dalam beragama yang diutamakan melainkan kebutuhan simbolis, konsumtif-artifisial yang dikedepankan. Etos konsumtis (simbolis) menjadi jauh lebih penting dari pada etos produktif. Sejalan dengan proses komodifikasi, agama kemudian mejadi faktor dalam pembentukan identititas diri yang sekali lagi menjadi alat dalam menegaskan pluralitas gaya hidup bagi para pemeluknya.
e.         Industrialisasi Religiusitas [17]
Industri merupakan suatu tema yang sangat berkaitan dengan kapitalisme bahkan menjadi lambang dari kapitalisme itu sendiri. Sedangkan religi seringkali menjadi sosok yang seringkali digunakan untuk setengah mati menghambat laju kapitalisme. Yang tentu saja dalihnya mengenai anti penindasan serta memperjuangkan keadilan. Para kaum religius seringkali menjadi corong utama penentang kapitalis ini dengan senjata propaganda nilai-nilai agama dan keimanan yang seringkali memiliki standar berbeda. Para pelaku religiusitas seringkali  menyeruakkan penentangannya terhadap prinsip kapitalisme serta liberalisme yang memang sedikit berhubungan darah. Bahkan lumayan parah adalah banyak pelaku religiusitas ini memaksakan pemikirannya menentang pluralisme yang dianggapnya sebagai rangkaian dari kapitalisme ataupun liberalisme itu. Namun sadar atau tidak. Sebenarnya yang menjadi ketakutan para pelaku religiusitas ini adalah kekhawatiran akan tereliminirnya mereka dalam percaturan global. Serta terancamnya eksistensi mereka. Ini mungkin akan banyak dipungkiri karena dari sisi prinsip keimanan yang di “jual” nya akan menganggap tabu pengakuan itu. Gejala yang seringkali mengemuka adalah para pelaku religiusitas itu ternyata berupaya membendung laju kapitalisme dengan cara sama yang dilakukan kaum kapitalis itu sendiri. Mereka memandang apa yang menjadi keberhasilannya secara kuantitas mampu membendung laju kapitalis. Padahal sebenarnya para pelaku religiusitas ini telah menjadi bagian dari kaum kapitalis. Tentu saja hal ini lumayan memprihatinkan. Mengingat sebenarnya industri dan religi adalah suatu hal yang seharusnya dipisahkan. Menjadi salah kaprah ketika penggiat religi yang kuatir terlibas kapitalis ini justru mengadopsi cara-cara kapitalis untuk mempertahankan eksistensinya. Tak perlu dipungkiri bahwa sudah menggejala bahwa para kaum yang mengaku religius justru menjadi pelaku atau marketer kapitalis itu sendiri dengan komoditas yang seharusnya layak dipisahkan yaitu komoditas spiritualitas atau religius yaitu yang populer disebut “agama”.
Industri dan Religi sejatinya dapat berjalan seiring dan menemukan titik kesepahamannya. Yaitu saat para individu mampu menemukan batas yang tegas sisi melaksanakan dorongan religiusnya dan sisi penghidupan dunianya (Industri/bisnis). Tentu saja tak salah kita berbisnis dalam komoditas agama. Namun jangan sampai jebakan untuk menjadikan agama lebih ditonjolkan sebagai komoditas saja itulah yang harus diwaspadai.  Jika umat dapat memisahkan dengan baik sisi religi dan industri maka banyak hal yang dapat dipetik. Kualitas religiusitas yang meningkat serta perekonomian berbasis religipun akan mengiringinya. Yang harap diingat adalah jangan sampai salah satu saling menguasai. Industrialisasi Religiusitas akan mengeliminir substansi religi itu sendiri.Mungkin akan menjadi harapan ke depan jika perpaduan keduanya menjadikan Industri menjadi lebih religius. Yakni persaingan bebas yang tetap beretika, mengedepankan keadilan, kemakmuran bersama, yang kuat membantu dan melindungi yang lemah dan pemerataan kemakmuran akan terwujud bersama spiritualitas yang terjaga.



f.     Islamic Consumption Be One Of Syariah Marketing Strategy
Paradigma Islam tidak lagi menjadi sebuah wacana yang diperdebatkan[18] banyak pihak. Dari kalangan sarjana Muslim berhaluan neo-modernis seperti dipelopori oleh Fazlur Rahman dan Parvez Hoodhboy yang menentang apresiasi gagasan Islamisasi sains(ekonomi) yang dilakukan oleh Ismail Raji al Faruqi dan para pendukungnya. Namun, dalam kenyataanya kini ekonomi Islam eksis dan mampu menunjukkan co eksistensi yang bagus ditengah-tengah percaturan ekonomi global. Ilmu ekonomi Islam bahkan dipandang mampu menunjukkan kekuatan transformatifnya dalam mewarnai perkembangan realitas ekonomi modern. Karena itu tidak mengherankan jika ilmu dan praktek ekonomi Islam memperoleh apresiasi yang semakin luas, tidak saja dari lingkungan masyarakat dan yang mayoritas masyarakat muslim tetapi juga di negara-negara Barat yang Islamnya minoritas.[19]
Dengan semakin meningkatnya Islamic consumption trend belakangan ini, penulis mencoba menganalisis masalah tersebut dengan menggunakan 3 paradigma sebagaimana hal ini ditawarkan oleh Harmawan Kartajaya dalam bukunya” Syariah Marketing”dalam dunia ekonomi yaitu:
1.   Syariah Marketing Strategy
Goal yang ingin dicapai dalam syariah marketing strategy ini adalah untuk memenangkan mind-share. Pertama kali yang harus dilakukan dalam mengeksplorasi pasar yang kerap berubah adalah melakukan segmentasi sebagai mapping strategy. Dalam menentukan segmentasi, sudah seharusnya kita mempunyai suatu definisi pasar yang jelas, besar ukuran pasar (market size), pertumbuhan pasar(market growth), keunggulan kompetitif(competitive advantage), situasi persaingan (competitive situation) dan kemudian kita memilih target market mana yang akan dijadikan prioritas utama untuk produk atau servis kita berdasarkan kompetensi yang kita miliki dan peluang yang dapat diraih.[20]
Dengan melihat kondisi masyarakat sekarang ini, dampak adanya globalisasi yang kian merambah ke semua wilayah terutama bidang ekonomi dan adanya keprihatinan masyarakat terhadap kondisi sosio-politik dan ekonomi yang sangat dirasakan oleh masyarakat bawah bahkan menengah keatas, maka banyak dari mereka yang mengalami titik jenuh terhadap perubahan yang sedang terjadi sehingga merekapun melarikan diri ke dalam wilayah suci yang tidak bisa diganggu gugat. Diantara mereka banyak yang menjadikan wilayah agama sebagai the best of solution dalam menyelesaikan segala masalah yang saat ini dianggap meresahkan. Dengan melihat realitas yang seperti itu maka muncullah strategi, ide atau gagasan untuk menggait agama sebagai bagian dari partner mereka dalam mengembangkan usahanya, sehingga Islamic consumption trend pun kian menjadi solusi yang menentramkan, bak narkotika yang memberikan candu. Kita lihat dimasyarakat terutama dikalangan elit politik maupun para selebritis negeri ini yang sedang dirundung masalah, maka peluang emas seperti ini digunakan oleh para pebisnis untuk menawarkan iming-iming berupa Umrah/wisata religi. Begitu pintarnya para pengusaha mengemas bisnis travelling sebagai strategi untuk mendapat kan peluang yang apik  dengan mengemas agama menjadi barang komoditas.

2.   Syariah Marketing Tactic
Setelah menyusun strategi maka selanjutnya kita harus menyusun taktik untuk memenangkan market share. Setelah mempunyai positioning yang tepat dan jelas dibenak masyarakat maka perusahaan pun harus memiliki taktik agar memiliki tampilan berbeda dengan perusahaan lain yang sejenis. Di sinilah diperlukan creation tactic agar menarik minat masyarakat. Misalkan dengan bisnis biro Umrah disertai dengan paket travelling ke tempat-tempat yang paling diminati masyarakat pada saat itu sehingga nilai ibadah dan refrehing nya pun didapat kan oleh pelanggan.
3.   Syariah Marketing Value
Oval: (Mareket-Share)
TACTIC
Perlu diketahui bahwa semua strategi dan taktik yang sudah dirancang penuh perhitungan tidak lah berjalan dengan baik bila tidak disertai dengan value dari  produk atau jasa yang ditawarkan untuk memenangkan heart-share. Pelanggan biasanya mementingkan manfaat atau value apa yang didapat (Kartajaya:2006, 146).
 




g.   Religious Commodification
Dalam sebuah diskusi tentang penggunaan ruang publik, D'Alisera sebagaimana penulis mengutip dalam buku Religious harmony membahas tentang penggunaan komoditas agama Islam di negara-negara bersatu dengan warga Sierra Leon dari washington, DC. Dalam konteks tersebut agama menjadi cara bagi individu untuk mencari dan mengidentifikasi pedagang sesama muslim, membangun komunitas lioneans sierra yang dikenali, dan sekaligus untuk mensyiarkan firman Allah untuk non muslim. Berbeda dengan kasus yang terjadi di Indonesia karena muslim di Indonesia adalah mayoritas, penggunaan agama sebagai komoditas tidak untuk mengidentifikasi muslim, misalkan  memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam ruang publik. Pembelian dan penjualan komoditi menggabungkan proses sosialisasi yang mencakup baik pembeli dan penjual. Dalam konteks ini, komoditas agama dapat dilihat sebagai proses dimana pasar ekonomi sosial menggunakan ideologi agama. Selanjutnya proses ini ternyata menjadi komoditas kesalehan, dimana agama menjadi sesuatu yang bisa dibeli dan dijual. Dalam pembahasannya tentang komoditas agama di cairo mesir Gregory Starrett membahas hubungan antara pemilik sebuah bisnis yang semata-mata berkaitan dengan penjualan barang-barang yang bernuansa religius dan mereka merasa tenang ketika sudah mengkhususkan. Hal ini dianggap penting untuk mengingat bahwa komoditas agama yang dijual bersamaan dengan komoditas lainnya . [21]
Komodifikasi agama merupakan konstruksi historis dan kultural yang kompleks, sekalipun demikian ciri komersial mereka begitu nyata. Mereka direproduksi dalam konteks kebudayaan tertentu dan kemudian mempersyaratkan kerangka kultural untuk mempertegas signifikansi simbolik dan sosio-ekonomi mereka. Komodifikasi merupakan sebuah proses yang benar-benar diciptakan dan disertakan dalam saluran ekonomi pasar lokal-global dan ledakan agama postmodern. Komodifikasi memang tidak bertujuan memproduksi bentuk dan gerakan agama baru yang berlawanan dengan keyakinan dan praktik agama sebelumnya,[22] namun komodifikasi akan mendudukkan agama sebagai barang yang melaluinya fungsi spiritual agama menjadi komoditas yang layak dikonsumsi dalam masyarakat.
Secara praktis, yang dimaksudkan dengan komodifikasi agama adalah transformasi nilai guna agama—sebagai pedoman hidup dan sumber nilai-nilai normatif yang berlandaskan pada keyakinan ketuhanan—menjadi nilai tukar, dengan menggunakan fungsi-fungsi ini disesuaikan dengan kebutuhan manusia atas agama. Proses komodifikasi agama ini akan berjalan mulus dalam kondisi agama yang telah terprivatisasi dimana setiap orang memiliki otoritas untuk menentukan sendiri pola beragama yang akan dijalankannya.
Secara teoritis, komodifikasi agama membuat kita mendefinisikan ulang agama sebagai komoditas pasar untuk dipertukarkan. Hal ini lebih jauh diperluas dengan koneksi transnasional organisasi keagamaan dan jaringan pasar. Dalam perspektif Habermas, peningkatan komodifikasi hidup—termasuk kebudayaan dan agama—oleh korporasi raksasa mengubah manusia dari masyarakat rasional menjadi masyarakat tidak-rasional. Ia benar-benar melihat hal ini sebagai sebagai indikasi bahwa kehidupan kita sehari-hari telah dijajah oleh ‘system imperatives.[23]
1.   Tele_Dakwah :Fenomena Baru di Indonesia
Globalisasi telah membawa peningkatan konsumsi oleh masyarakat Indonesia  ditengah-tengah budaya yang sedang populer. Diantaranya masalah makanan, fashion dan hal-hal lain yang bersifat menghibur dan menyenangkan(fun) adalah salah satu budaya Barat yang kian merambah populer masuk ke budaya kita. Selain itu dunia perfilm an nampaknya sudah banyak dipengaruhi oleh Barat. Sementara American Idol  muncul sebagai acara tv yang sangat populer di america, di Indonesia pun acara semacam itu  terorganisir dengan baik distasiun tv dengan menggunakan istilah Indonesian idol. Untuk para pemirsa di Indonesia, jika seseorang tidak menonton dan tidak mengikuti perkembangan Indonesian Idol dapat dianggap sebagai orang yang tidak bersaing dengan produk terbaru dari budaya global.
Globalisasi ini kemudian mempengaruhi cara orang mengkonsumsi ajaran agama mereka serta bagaimana ajaran agama harus ditransmisikan kepada mereka. Jika sebelumnya seseorang  harus menghadiri sebuah forum khusus untuk mempelajari ajaran agama, seperti masjid, sekarang masyarakat cukup hanya duduk di depan tv  melihat pengajian yang disajikan oleh para da’i. Dengan metode belajar yang seperti ini, mereka dapat menghemat energi dan yang lebih penting lagi mereka tidak diharuskan untuk kontak tatap muka (face to face) dengan da’i  dan jamaah lain dalam sebuah majlis. Sebagai konsekuensinya, kontak sosial tampaknya menjadi semakin kurang dan bahkan dianggap tidak  penting.
Fakta bahwa tele-dakwah Islam mengharuskan seseorang untuk mencurahkan lebih sedikit energi dan lebih sedikit kontak  sosial antara mereka ternyata lebih banyak diminati banyak orang dan kian populer sehingga fenomena ini lebih dikenal dengan istilah "televangelism Islam". Alasannya sangat sederhana, bahwa untuk bertahan dalam krisis ekonomi di era pasca rezim Suharto, orang saat ini menjadi semakin sibuk dan ini membuat mereka lebih memilih sebuah forum keagamaan yang dapat menghemat energi dan waktu untuk orang lain. Meskipun demikian, kerugian tentu saja muncul sejauh televangelism Islam tidak bisa menunjukkan kompleksitas interaksi dan komunikasi antara da’i sebagai penghasil ide-ide keagamaan dan penonton sebagai konsumen (Mernissi: 1992,23). Dengan kata lain, psiko-sosiologis kompleksitas ajaran Islam tidak bisa ditampilkan oleh televangelism Islam. Akibatnya, televangelism Islam hadir tidak lebih dari aspek kognitif dari ajaran agama, sementara yang afektif dan psikomotorik yang pasti akan diperlukan untuk memproduksi praktik keagamaan akan terkendala oleh ruang dan waktu jika orang Islam hanya terbatas menikmati  televangelism Islam  (Kitiarsa: 2008, 210).[24]
Meskipun banyak kekurangan dan kelemahan, namun kenyataanya  televangelism Islam kian populer dan masyarakat muslim merasa enjoy dengan sajian tersebut. Bahkan ada program khusus yang tengah berkembang yang dijalankan oleh sebuah stasiun tv swasta  yang berusaha untuk menemukan sosok idola Da’i melalui metode audisi layaknya acara Indonesian Idol dan Akademi pelawak Indonesia yang sedang ramai digandrungi oleh pemirsa. Dalam menjalankan program tersebut acara dakwah Agama Islam (DAI) atau idola da’i , TPI(MNCTv) salah satu stasiun tv penyelenggara telah melakukan sejumlah sesi audisi untuk seseorang yang dianggap mampu bertahan diacara tersebut sampai pada putaran terakhir dari program ini, yang akan disiarkan secara nasional , di sejumlah ibu kota provinsi di Indonesia seperti jakarta, bandung, semarang dan surabaya. Mereka yang akan ambil bagian dalam sesi audisi adalah da’i  muda yang potensial, yang memiliki keterampilan komunikasi yang sangat baik.
Dapat dikatakan bahwa adanya globalisasi melalui perluasan media dan teknologi informasi telah menyebabkan bidang dakwah menjadi berkembang dan berubah. Sejumlah da’i dengan dibantu media dan kemampuan dalam komunikasi massa yang baik akan mendapatkan respon yang positif dan respon yang besar dari penonton meskipun mereka tidak memiliki latar belakang pesantren tradisional. Alhasil  televangelism Islam tampaknya menjadi program favorit di banyak saluran tv Indonesia. Peringkat jenis acara tv dengan muatan sisi agama telah terbukti  mendapat rating tinggi. Setelah mendapat respon yang baik dari penonton, agama kemudian  telah menjadi komoditas baru dalam globalisasi Indonesia.
Sebagai bukti bahwa agama kini telah menjadi komoditas baru, hampir tidak ada hari untuk program tv hari selama seminggu yang tanpa televangelism Islam, seperti ditunjukkan di atas. Orang bahkan dapat melihat siaran program televangelism Islam dengan cara yang sama, seperti program acara Aa Gym, ustadz Jefry Al Bukhory, ustadz Solmed beberapa kali dalam satu hari di saluran tv yang berbeda. Dalam rangka untuk melihat lebih dekat bagaimana perubahan pandangan sosiologis dakwah yang  telah terjadi dan bagaimana dakwah  telah menjadi tempat komoditas dalam konteks lokal. Berikut penulis membahas juga fenomena lain terkait dengan perkembangan dakwah belakangan ini.
Khutbah jum’at dianggap sebagai media  dakwah, produksi dan konsumsi ajaran Islam untuk para umatnya. Hal ini bisa dilihat pada khutbah jumat yang disampaikan mingguan di setiap shalat Jumat. Dalam pengertian umum, seorang muslim diwajibkan untuk menghadiri shalat  ini dan untuk mendengarkan khotbah yang merupakan bagian dari proses ritual shalat jum’at. Shalat Jumat merupakan kesempatan terbesar  untuk  umat muslim untuk berkumpul di tempat tertentu (masjid) dalam setiap minggunya. Oleh karena itu, khutbah jum’at dirasa sebagai media yang sangat signifikan dan efektif bagi kehidupan muslim. Beberapa dari mereka ada yang bertindak sebagai khatib untuk menyampaikan dan menyebarkan ide-ide dari ajaran Islam dan jamaah yang lain untuk mendengarkan dan menerima gagasan tersebut.[25]
Sejauh adanya karakteristik tentang dakwah,  dapat diambil kesimpulan tentang adanya model produksi dan konsumsi Islam oleh umat muslim sendiri. Variasi dalam produksi dan konsumsi Islam direpresentasikan oleh adanya khutbah yang disampaikan oleh  kalangan akademisi. Lebih penting lagi variasi ini menimbulkan perbedaan tidak hanya bagaimana cara Islam ini diproduksi dan dikonsumsi oleh umatnya, sebagaimana dijelaskan di atas, tetapi juga dalam hal-hal mengenai modal ekonomi dan identitas kelas sosial. Berdasarkan fakta ini, dapat dikatakan bahwa Islam telah menjadi komoditas simbolis untuk Muslim baik secara intelektual dan materialistis. Universitas berbasis dakwah  menggunakan khutbah Jumat sebagai media tidak hanya untuk transmisi islam ke ruang publik sebagai realisasi intelektual sesuai dengan bidang mereka, tetapi ironisnya khutbah jumat juga dijadikan sebagai ajang untuk mengumpulkan kekayaan dan untuk meningkatkan status sosial mereka,[26]  Sehingga tidak asing ketika dimasjid-masjid kampus berlabel Islam akan sulit ditemui dosen-dosen yang menjalankan shalat jumat dikampus karena mereka sudah disibukkan dengan jadwal padat  khutbah jumat diberbagai tempat.
2.   Halalisation :Fenomena di Malaysia

Malaysia terus berbenah. Sejumlah inovasi muncul dari negara berumpun Melayu seperti Indonesia itu. Yang terbaru adalah gebrakan mereka membuat jaringan produk halal internasional. Artinya semua produk yang masuk ke Malaysia harus halal, bahkan mereka juga membangun jaringan tingkat internasional. Yang menjadi pertanyaan, ternyata mereka berani membuat gebrakan di tengah arus pasar yang kian mengglobal. Transformasi yang paling signifikan selama tiga (3) dekade terakhir di malaysia adalah terkait dengan ketersediaan komoditi massa. Semua aspek kehidupan sehari-hari untuk Malaysia dipengaruhi oleh munculnya berbagai macam komoditas. Tidak mengherankan, ketersediaan komoditi massa ini telah menghasilkan kesenjangan dan perbedaan antara orang yang mampu membeli dan mereka yang tidak mampu untuk melakukannya. Dalam domain perumahan, transportasi dan komunikasi, bahan makanan, pakaian dan pola hidup sahri-hari mengalami perubahan yang sangat radikal. Dengan melihat gejal-gejala tersebut maka malaysia pun membuat strategi baru dengan mengambila langkah halalisation. Halalisation merupakan proses untuk upaya nasionalisasi Islam sebagai bentuk pemahaman terhadap konsumsi islam.[27]

Setidaknya upaya strategi halalisation di malaysia adalah untuk mencari keaslian dan identitas  komoditas. Pertama, pencarian dikaitkan dengan upaya untuk status materi dan mobilitas sosial melalui praktek konsumsi. Kedua,  memanifestasikan komoditas dengan label halal dan  apakah komoditas tersebut bersertifikat oleh negara atau tidak. Kedua tujuan tersebut sebenarnya bermaksud untuk menyajikan komoditas dengan berbagai kualitas ganda intrinsik, misalnya apakah komoditas tersebut mengandung kesucian-kenajisan, halal-haram, familier-asing atau keseimbangan-berlebihan. Ini sebagai upaya  pemetaan dari dimensi moral, agama dan sosial dari praktek konsumsi sehari-hari dan memberikan panduan pada masyarakat dalam memilih konsumsi sehari-hari.

Langkah Malaysia yang memelopori jaringan produk halal internasional itu, misalnya menunjukkan betapa mereka dengan percaya diri menunjukkan jati dirinya sebagai negara Islam.  Mereka terlihat tidak takut dengan Islam fobia yang saat ini begitu gencar dikampanyekan negara-negara maju.

C.  Penutup
Kini Islamic consumption trend menjadi bagian yang terelakkan,  setidaknya merupakan sisi berkah dan sisi musibah dari adanya globalisasi. Penulis menganalisa hal tersebut dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Dari aspek paradigma, barangkali memang mulai terjadi pergeseran paradigma dari rasional ke emosional hingga spiritual. Dari aspek ilmu ekonomi islamic consumption trend menjadi salah satu upaya strategi marketing. Kemudian dari kaca mata agama, hal tersebut sebagai pertanda bahwa Islam sebagai agama mulai terkikis sisi sakralitasnya dan agama mulai kehilangan substansinya, karena adanya dampak privatisasi agama sehingga agama jadi komoditas yang bisa laris untuk diperjual belikan. Mengutip dari apa yang pernah disampaikan oleh Prof. Taufik Abdullah bahwa secara teoritis bisa dikatakan bahwa globalisasi  mempunyai kecenderungan untuk melemahkan agama, tetapi disisi lain fenomena ini akan semakin mengentalkan keterikatan pada agama. Pada dasarnya industri dan religi bisa bergandengan tangan dalam menghadapi maraknya globalisasi dan tentunya dengan etika-etika yang sesuai dengan syari’at.
          Semoga Bermanfaat !
             


DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan, 2007,  Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Yogjakarta: Pustaka Pelajar
Abdullah, Taufik,2011, Agama dan Masalah Integrasi Bangsa: Tantangan dan Harapan, Artikel disampaikan pada Annual conference on Islamic studies ke-11 di Bangka Belitung.
Arifin, Syamsul, 2003.,  Islam Indonesia:Sinergi membangun Civil Islam dalam bingkai keadaban demokrasi, Malang:UMM Press.

Fischer, Johan,2008, Proper Islamic  Consumption: shopping among the malays in modern malaysia, Malaysia: NIAS Press.

Kartajaya, Hermawan & Muhammad Syakir Sula,2006, Syariah Marketing, Bandung: Mizan Pustaka.
Muhammad, 2007, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam, (Yogjakarta: Graha Ilmu.
Pattana Kitiarsa (ed.),2008,  Religious Commodification in Asia: Marketing Gods, London: Routledge.

Pye, Michael, 2006, Religious harmony vol.45, Berlin: Walter de Gruyter.

Stückelberger, Christoph, 2005, Globalance: Christian perspectives on globalisation with a human face. Summary, (Switzerland: Länggass Druck AG, Berne.
Tveit , Olav Fykse The Church and Economic Globalisation (Oslo: Church of Norway Council on Ecumenical and International Relations, 2007)
Chris Suryohadiprodjo, 2011,KOMPAS Opini: Industrialisasi religiusitas.
Zulfadli, Agama, Pasar dan Gaya Hidup Masyarakat, Padang: PKSKP, 2011 http://padangekspres.co.id/?news=nberita&id=781
Fakhruroji, Much, Privatisasi Agama dan Globalisasi, __:2012. http://mangozie.net/?p=107








[1]  Penulis adalah alumni program  pascasarjana konsentrasi Ilmu Falak  di IAIN Walisongo dan  saat ini tercatat sebagai mahasiswa program Doktor dengan konsentrasi Islamic studies  di IAIN Walisongo Semarang  dan asal  rekomendasi dari  STAIN Ponorogo dan berstatus sebagai  Dosen luar biasa (DLB) pada lembaga tersebut.
[2] Arifin, Syamsul, Islam Indonesia:Sinergi membangun Civil Islam dalam bingkai keadaban demokrasi, (Malang:UMM Press, 2003), 93.
[3] Stückelberger, ChristophGlobalance: Christian perspectives on globalisation with a human face. Summary, (Switzerland: Länggass Druck AG, Berne, 2005), 1.
[4] Tveit , Olav Fykse The Church and Economic Globalisation (Oslo: Church of Norway Council on Ecumenical and International Relations, 2007), 8.
[5] Pye, Michael,  Religious harmony vol.45, (Berlin: Walter de Gruyter, 2006),294.
[6] Ibid, 295.
[7] Ibid, 292.
[8] Ibid, 291.
[9] Terdapat terminologi pasar syariah disebut dengan pasar yang emosional(emotional market), sedangkan pasar konvensional adalah pasar yang rasional (rasional market).
[10] Kartajaya, Hermawan & Muhammad Syakir Sula, Syariah Marketing,(Bandung: Mizan Pustaka, 2006), 4.
[11] Ibid, 8.
[12] Abdullah, Irwan, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Yogjakarta: Pustaka Pelajar,2007), 108.

[13] Ibid, 116.
[14]  Ibid, 118.
[15]  Fakhruroji, Much, Privatisasi Agama dan Globalisasi, __:2012. http://mangozie.net/?p=107
[16] Zulfadli, Agama, Pasar dan Gaya Hidup Masyarakat, Padang: PKSKP, 2011 http://padangekspres.co.id/?news=nberita&id=781

[17] Chris Suryohadiprodjo,2011,KOMPAS Opini: Industrialisasi religiusitas.

[18] Jika postivitisme hanya mengenal realitas materi, maka paradigma Islam mengenal realitas materi dan realitas lain (the others) yang melampaui matrealisme yaitu realitas spiritualitas. Paradigma Islam tidak dapat menerima dikotomi antara matrealisme dan spiritualisme, nominalisme, dan realisme serta objektifisme dan subjektivisme (Muhammad, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam, (Yogjakarta: Graha Ilmu, 2007), 24.
[19] Muhammad, 2007, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam, (Yogjakarta: Graha Ilmu,2007), 26.


[20] Kartajaya, Hermawan & Muhammad Syakir Sula, Syariah Marketing, (Bandung: Mizan Pustaka, 2006), 144.

[21] Pye, Michael, Religious Harmony, 307.
[22] Kitiarsa, Pattana (ed.), Religious Commodification in Asia: Marketing Gods, (London: Routledge, 2008),1.

[23] Zulfadli, Agama, Pasar dan Gaya Hidup Masyarakat, Padang: PKSKP, 2011 http://padangekspres.co.id/?news=nberita&id=781

[24]  Kitiarsa, Religious Commodities.., 210.
[25] Ibid, 212.
[26]  Ibid, 218.
[27] Fischer, Johan, Proper Islamic  Consumption: shopping among the malays in modern malaysia, Malaysia: NIAS Press, 2008), 74.