Rabu, 25 Agustus 2010

HUKUM SEPUTAR WAKTU-WAKTU SHALAT

HUKUM SEPUTAR WAKTU-WAKTU SHALAT
Muhajir*

PENDAHULUAN
Ibadah yang diwajib oleh Allah SWT pada umat Nabi Muhammad yaitu shalat. Hukum shalat adalah wajib ain dalam ‘arti yang ditujukan kepada setiap orang yang dikenakan beban hukum (mukallaf) dan tidak lepas kewajiban seseorang shalat kecuali bila telah dilakukannya sendiri sesuai dengan ketentuannya dan tidak dapat diwakilkan pelaksanaanya, karena yang dihendaki oleh Allah dalam perbuatan itu adalah perbuatan itu sendiri sebagai tanda kepatuhannya pada Allah.
Shalat merupakan kewajiban bagi umat Islam oleh karenanya kita harus tahu kapan waktu masuk dan lewatnya waktu shalat harus diketahu dengan teliti dan baik, jangan sampai belum waktu masuk shalat sudah mengerjakannya, akibatnya shalatnya akan sia-sia tanpa pahala. Karena salah satu syarat sahnya shalat yaitu melaksanakan shalat pada waktu yang telah ditetapkan.
Tentang syarat shalat, yaitu hal-hal yang dilakukan menjelang dan sewaktu melakukan shalat, yaitu sebagai berikut :[1]
1.      Bersih badan dari hadas kecil dan hadas besar
2.      Bersih badan, pakaian dan tempat shalat dari najis.
3.      Menghadap qiblat
4.      Shalat pada waktu yang ditetapkan
5.      Menutup aurat
Banyak sekali ditemukan perintah untuk mendirikan/ melakukan shalat, baik dalam lafaz amar atau perintah. Perintah shalat termaktub dalam al-Qur’ān dan Hadits. Dalam QS. An-Nisā ayat 103, surat al-Isrā’ ayat 78,surat Hūd : 114, surat Thahā : 130 dan Hadits riwayat At-Thurmidi dan Ahmad dari Jabir bin Abdullah, Hadits riwayat Muslim dari Abdullah bin Amr dan Hadist riwayat Bukhari Muslim dari Zaid bin Tsabit.
Hanya saja waktu-waktu shalat yang ditunjukan dalam al-Qur’ān maupun hadits Nabi hanya berupa fenomena alam, yang kalau tidak menggunakan ilmu falak, tentunya akan mengalami kesulitan dalam menentukan awal shalat. Shalat merupakan salah satu ibadah yang berkaitan dengan waktu sehingga dalam pelaksanaannya harus diketahui terlebih dahulu waktunya.
Untuk menentukan shalat Dzuhur misalnya, kita harus keluar rumah melihat matahari berkulminasi. Demikian juga untuk menetapkan awal waktu Ashar kita harus keluar rumah dengan membawa tongkat kemudian mengukur dan membandingkan dengan bayangan tongkat itu dan seterusnya.
PERMASALAHAN
Dari uraian pendahuluan tersebut, maka untuk mempermudah pembahasan, penulis akan membatasi masalah dengan tujuan agar permasalahan lebih mengerucut/fokus pada judul. Adapun permasalahannya yaitu: Bagaimana menentukan tentang waktu-waktu shalat lima?
PEMBAHASAN
Shalat harus dilakukan pada waktu yang telah ditetapkan. Hal ini dijelaskan Allah dalam surat An-Nisā’ ayat 103.
Artinya :    “Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. kemudian apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”.  (QS. An-Nisā’)[3]

Dalam surat al-Isrā’ ayat 78 disebutkan :
Artinya :    “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh.[5] Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)”. (QS. Al-Isrā’ : 78)

Dalam QS. Hūd : 114 disebutkan :
Artinya:     “Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat”. (QS. Hūd : 114)
Ayat di atas menerangkan waktu-waktu yang shalat yang lima. Tergelincirnya matahari untuk shalat Dzuhur dan Ashar, gelap malam untuk waktu shalat Maghrib dan Isya.[7]

Dalam QS. Thahā : 130 disebutkan :
Artinya :    “Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang”. (QS. Thahā : 130)
Tentang waktu-waktu shalat lima waktu itu hanya sepintas-sepintas disebitkan dalam al-Qur’ān sedangkan secara terperinci atau lengkap dijelaskan dalam hadits.
Dari Anas bin Malik r.a.; Difardlukan shalat-shalat itu pada malam di isra’kannya Nabi Muhammad saw lima puluh, kemudian dikurang-kurangkan menjadi lima, lalu diseur: “Hai Muhammad! Sesungguhnya tidak boleh digantikan ketetapan di sisi-Ku itu, dan sesungguhnya bagi engkau dengan lima ini akan memperoleh limapuluh pahala.[9]

Dari Jabir ibnu Abdullah r.a. berkata; Telah datang pada Nabi saw. Jibril a.s. lalu berkata kepadanya; bangunlah! Lalu bersembahyanglah, kemudian Nabi shalat Dzuhur dikala matahari tergelincir. Kemudian ia datang lagi kepadanya diwaktu Ashar dikala baying-bayang sesuatu sama dengannya. Kemudian dia datang kepadanya diwaktu Maghrib lalu berkata; bangunlah lalu shalatlah, kemudian Nabi shalat Maghrib dikala matahari terbenam. Kemudian ia datang lagi kepadanya Isya alu berkata; bangunlah lalu shalatlah! Kemudian Nabi shalat Isya dikala mega merah telah terbenam. Kemudian ia datang lagi kepadanya diwaktu fajar lalu berkata; bangunlah lalu shalatlah! Kemudian Nabi shalat Fajar dikala fajar menyingsing, atau ia berkata; diwaktu fajar bersinar.

 Kemudian ia datang pula esok harinya pada waktu Dzuhur, kemudian berkata kepadanya; bangunlah lalu shalatlah! Kemudian Nabi shalat Dzuhur dikala baying-bayang sama dengannya. Kemudian datang lagi kepadanya diwaktu Ashar dan ia berkata; bangunlah lalu shalatlah! Kemudian Nabi shalat Ashar dikala baying-bayang sesuatu dua kali sesuatu itu. Kemudian ia datang lagi kepadanya diwaktu Maghrib dalam waktu yang sama tidak tergeser dari waktu yang sudah. Kemudian ia datang lagi kepadanya diwaktu Isya dikala telah lalu sepato malam, atau ia berkata; telah hilang sepertiga malam, kemudian Nabi shalat Isya. Kemudian ia datang lagi kepadanya, dikala telah bercahaya benar dan ia berkata; bangunlah lalu shalatlah, kemudian Nabi shalat Fajar. Kemudian Jibril berkata; saat di antara dua waktu itu adalah waktu shalat. [10]

Dari Thalhah bin Ubaidillah r.a. berkata; Bahwa seorang badui telah datang kepada Rasulullah saw berambut kusut, kemudian ia bertanya; ya Rasulullah, ceritakanlah kepadaku apa-apa yang telah Allah fardlukan atasku dari pada shalat? Rasulullah menjawab; shalat yang lima, kecuali jika engkau bertathawwau’.[11]
Dari Abdullah bin Amar r.a berkata; Rasulullah saw; waktu Dzuhur apabila tergelincir matahari, sampai baying-bayang seseorang sama dengan tingginya, yaitu sebelum datang waktu Ashar. Dan waktu Ashar selama matahari menguning. Dan waktu shalat Maghrib selama syafaq belum terbenam (mega merah). Dan waktu Isya sampai tengah malam yang pertengahan. Dan waktu Subuh mulai fajar menyingsing samapai selama matahari belum terbit.[12]
1.      Waktu shalat Dzuhur
Bila kita membicarakan kedudukan matahari senantiasa yang dimaksud ialah kedudukan titik pusat matahari. Jika matahari sedah berkulminasi,[13] maka titik pusat matahari berkedudukan tepat di meridian. Dalam keadaan demikian jika matahari tidak berkulminasi di zenith, bayang-bayang sebuah benda yang terpancang tegak lurus di atas tanah, membujur tepat kearah Utara - Selatan. Garis poros bayang-bayang itu dan titik pusat matahari membentuk sebuah bidang yang berhimpitan dengan bidang meridian.[14]
Segera setelah titik pusat matahari dalam perjalanan matahari arah ke Barat, melepaskan diri dari garis meridian, maka ujung-ujung bayang-bayang benda yang dimaksud tadi akan melepaskan diri pula dari garis Utara - Selatan. Keadaan demikian disebutkan sebagai tergelincirnya matahari yaitu awal waktu Dzuhur.[15] Dengan jalan demikian, maka secara Ilmu Pasti, waktu berakulminasi matahari dapat ditetapkan sebagai batas permulaan waktu Dzuhur.[16] 
Boleh pula dikatakan, bahwa bila matahari dimeridian, maka poros bayang-bayang sebuah benda yang didirikan tegak lurus pada bidang dataran bumi, membuat susut siku-siku dengan garis Timur – Barat. Jika titik pusat matahari bergerak dari meridian, maka poros bayang-bayang itu berpesong arah ke Timur, dan sudut yang dibuatnya dengan garis I’tidal (garis Timur - Barat) bukan lagi 90°. Matahari sudah “tergelincir” dan awal Dzuhur sudah masuk.[17]
Jadi titik pusat matahari sedang dimeridian, orang Islam belum dibolehkan melakukan shalat Dzuhur. Akan tetapi segera setelah titik pusat matahari terlepas dari garis meridian, matahari sudah cenderung ke Barat dan waktu Dzuhur sudah masuk, maka diperbolehkan melaksankan shalat Dzuhur.
2.      Waktu shalat Ashar
Ketika matahari berkulminasi atau berada di meridian (awal waktu Dzuhur) barang yang berdiri tegak lurus di permukaan bumi belum tentu memiliki bayangan. Bayangan itu terjadi manakala harga lintang tempat dan harga lintang deklinasi matahari itu beda.[18] Waktu Ashar dimulai saat panjang bayang-bayang suatu benda sama dengan bendanya ditambah dengan panjang bayang-bayang saat matahari berkulminasi sampai tibanya waktu Maghrib.[19]
Pada waktu matahari melintasi meridian, jadi pada awal waktu Dzuhur, sebuah tongkat yang dipancangkan secara tegak lurus ke dalam tanah akan membuat bayang-bayang yang panjangnya ditentukan oleh tingginya matahari sewaktu berkulminasi itu. Setelah tergelincir matahari meneruskan perjalananya ke arah Barat dan bayang-bayang tongkat tadi makin bertambah panjang. Bila panjang bayang-bayang itu sudah bertambah dengan 1-kali tinggi tongkat itu sendiri, masuklah waktu Ashar.[20]
Pada suatu waktu, panjang bayang-bayang tongkat itu bertambah dengan sepanjang tongkat itu sendiri, bila dibandingkan dengan panjangnya sewaktu matahari sedang berkulminasi. Pada saat itulah waktu Ashar mulai masuk. Tinggi matahari pada saat itu, dinamakan tinggi Ashar.[21]
Ada pendapat yang mengatakan bahwa bayang-bayang itu harus bertambah 2-kali tinggi tongkat itu sendiri, barulah waktu Ashar masuk. Dalam uraian-uraian selanjutnya kita akan menggunakan pandangan yang terakhir ini. Pertimbangannya ialah oleh karena kita akan meninjau daerah-daerah kutub, di mana matahari pada awal Dzuhur tidak begitu tinggi kedudukannya di langit. Dan dalam keadaan demikian bayang-bayang memanjang lebih cepat dari pada kalau matahari pada tengah hari berkedudukan tinggi di langit, seperti di negeri kita. Bila dibuat syarat masuknya waktu ashar kita tetapkan bertambah panjangnya bayang-bayang tongkat dengan 1-kali tingginya tongkat itu sendiri, waktu Ashar  masuk akan terlalu cepat. Akibatnya waktu Dzuhur akan terlalu pendek dan waktu Ashar menjadi terlalu panjang.[22]
Menurut Madzhab Imam Hanafi dalam menentukan shalat Ashar ketika panjang bayangan melebihi panjang obyeknya, sedangkan Imam Syafi’i menentukan dimulai shalat ketika panjang bayangan melebihi obyeknya.[23]
3.      Waktu shalat Maghrib
Waktu Maghrib adalah waktu matahari terbenam. Dikatakan matahari terbenam apabila - menurut pandangan mata - piringan atas matahari bersinggungan dengan ufuk.[24] Awal waktu Maghrib yang oleh al-Qur’ān atau pun al-Hadits dinyatakan pada saat matahari tenggelam (ghurub) dirumuskan secara astronomis sebagai keadaan pada saat piringan bagian atas matahari berimpit dengan horizon Mar’i (Visible Horizon).[25]
Waktu Maghrib masuk bila mtahari terbenam; dalam al-Qur’ān difirmankan oleh Allah : “zulafam minal lail” (sebagian permulaan malam ; surat hud : 114). Dalam Ilmu Falak peristiwa matahari terbenam diperinci sebagai keadaan, bila tepi piringannya sebelah atas terletak pada ufuk mar’i, jadi titik pusatnya berkedudukan sebanyak satu jari piringan matahari di bawah garis ufuk mar’i. Selanjutnya ada pengaruh atmosfir bumi, yang seakan-akan mengangkat gambaran matahari, sehingga kedudukannya yang tampak pada kita menjadi lebih tinggi dari pada kedudukannya yang sebenarnya. Peristiwa ini dinamakan refraksi atau pembiasan.[26] Akhirnya oleh ketinggian mata kita di atas permukaan bumi, ufuk mar’i menjadi rendah, keadaan ini dalam Ilmu Falak dinamakan kerendahan ufuk.
4.      Waktu shalat Isya
Begitu matahari terbenam di ufuk barat, permukaan bumi tidak otomatis langsung menjadi gelap. Hal demikian ini terjadi karena ada partikel-partikel berada di angkasa yang membiaskan sinar matahari, sehingga walaupun sinar matahari sudah tidak mengenai bumi namun masih ada bias cahaya dari partikel-partikel itu. Dalam Ilmu Falak dikenal dengan “Cahya Senja” atau “Twilight[27]
Oleh karena pada posisi matahari -18° di bawah ufuk malam sudah gelap karena telah hilang bias partilel (mega merah), maka ditetapkan bahwa awal waktu isya.[28] Sedangkan menurut Saadoe’ddin Djambek, masuknya waktu Isya ditandai oleh hilangnya syafak atau warna merah pada awan di bagian langit sebelah Barat. Keadaan yang demikian terjadi bila titik pusat matahari berkedudukan beberapa derajat di bawah ufuk. Serupa dengan timbulnya fajar, jumlah ini ditetapkan agak berbeda-beda oleh para ahli hisab ; ada yang menetapkan 16°, ada yang 17°, ada yang 18°. Dalam uraian selanjutnya kita berpegang kepada jumlah 18°.[29]
5.      Waktu shalat Subuh
Waktu Subuh adalah sejak terbit fajar sidik sampai waktu terbitnya matahari. Fajar sidik dalam falak ilmy dipahami sebagai awal astronomical twilight (fajar astronomi), cahaya ini mulai muncul di ufuk timur menjelang terbit matahari pada saat matahari berada sekitar 18° di bawah ufuk (atau jarak zenith matahari = 180°). Pendapat pendapat lain menyatakan bahwa terbitnya fajar sidik dimulai pada posisi matahari 20° di bawah ufuk atau jarak zenith matahari = 110 derajat.[30]
Di Indonesia pada umumnya (atau hampir seluruhnya), shalat Subuh dimulai pada saat kedudukan matahari 20 derajat di bawah ufuk hakiki (true horizon)[31]. Waktu shalat Subuh menurut Saadoe’ddin Djambek yaitu dimulai dengan tampaknya fajar di atas ufuk sebelah timur dan berakhir dengan terbitnya matahari, atau sebagai difirmankan Allah dalam al-Qur’ān: sejak dari “idbārannujūm” (= menghilangnya atau meredupnya bintang-bintang; surat at Thūr LII : 49) hingga “thulū’isysyams” (= terbit matahari ; surat Qāf L : 39).[32]
Dalam Ilmu Falak saat tampaknya fajar itu didefinisikan dengan : posisi matahari sebesar 20° di bawah ufuk. Dalam menentukan jumlah 20° ini masih ada perdebatan di antara ahli-ahli hisab, karena ada yang menetapkan 18°, ada yang 19°, ada pula yang 21°. Dalam uraian-uraian selanjutnya kita akan berpegang kepada 20°, yaitu sesuai yang ditetapkan oleh almarhum Syekh M. Thaher Jalaluddin.[33]
6.      Waktu-waktu shalat di Daerah Kutub
Bagi orang yang tinggal di daerah kutub atau daerah abnormal (istilah Basit Wahid) akan mengalami keajaiban alam, terutama berkait dengan waktu terbit dan terbenamnya matahari. Dalam kondisi seperti ini ada tiga kemungkinan, pertama, ada wilayah yang pada bulan-bulan tertentu mengalami siang selama 24 jam sehari atau sebaliknya mengalami malam selama 24 jam sehari, kedua, ada wilayah yang pada bulan tidak mengalami hilangnya mega merah (syafaqul ahmar) sampai datangnya waktu Subuh. Sehingga tidak bias dibedakan antara mega merah saat Maghrib dan mega merah saat Subuh, dan ketiga, ada wilayah yang masih mengalami pergantian malam dan siang dalam satu hari, meski panjang siang sangat singkat sekali atau sebaliknya.[34]
Untuk menentukan waktu-waktu shalat di daerah yang telah disebutkan di atas para sarjana muslim dan ulama menjelaskannya sebagai berikut;
1.      Saadoe’ddin Djambek
Menurut Saadoe’ddin Djambek menerangkan untuk shalat di daerah kutub dengan uraian sebagai berikut:
“Perobahan syafak merah di langit bagian Barat menjadi fajar di langit bagian Timur, berlaku secara tiba-tiba, boleh dikatakan tanpa suasana peralihan, jadi tanpa disadari. Keadaannya boleh diumpamakan seperti hal seorang, yang tidur di waktu subuh. Atau seorang yang pingsan di waktu maghrib setelah menunaikan shalat dan siuman kembali ke waktu subuh, sehingga adanya waktu isya, tidak disadarinya. Ilmu fiqh mengajarkan, bahwa dalam keadaan yang demikian orang yang bersangkutan, setelah bangun atau sadar kembali, wajib segera melaksanakan shalat isya, sesudah itu shalat subuh.[35]

Jadi jumlah shalat yang lima sehari semalam tetap dilakukan lima kali dalam sehari, tidak mungkin dikurangi hingga menjadi empat, dua, atau tiga kali, karena perintah shalat fardlu yang lima itu diterima Nabi langsung dari Allah pada waktu Beliau melakukan Isra’ dan Mi’raj.
2.      Hamidullah
Hamidullah berpendapat bahwa penentuan waktu shalat di daerah yang lintangnya melebihi 45° Utara dan Selatan dapat menggunakan daerah yang memiliki lintang 45° saja dan bujurnya tidak berubah. Contohnya Bandar Oslo di Norway.[36]
3.      Majelis Syari’ah Rabitah al-‘Alam al-Islamiy (1982)
Majelis ini berpendapat bagi kawasan yang pada bulan-bulan tertentu mengalami siang selama 24 jam sehari atau sebaliknya, maka jadwal shalat disesuaikan dengan kawasan yang terdekat. Kawasan yang tidak mengalami hilangnya mega merah maka untuk menentukan waktu Isya dan Subuh berdasarkan waktu (musim) sebelumnya yang dapat membedakan mega merah saat Maghrib dan mega merah saat Subuh. Sementara itu kawasan yang mengalami pergantian malam dan siang dalam satu hari, meski panjang siang sangat singkat sekali atau sebaliknya, maka waktu shalat tetap sesuai dengan aturan buku dalam syari’at Islam.[37]
4.      Seminar Islam di Islamic Culture Center, London (Mei 1984)
Setelah melakukan kajian dari aspek syari’ah dan sains, seminar ini memutuskan hal-hal sebagai berikut;
·         Bagi wilayah yang masih mengalami pergantian malam dan siang secara jelas, waktu shalat didasarkan sesuai ketentuan syara’.
·         Kawasan yang tidak mengalami hilangnya mega merah (syafaqul ahmar) maka untuk menentukan waktu Isya dan Subuh berdasarkan lintang 48° Utara atau 48° Selatan.
·         Bagi mereka yang kesulitan menunggu waktu Isya karena tidak mengalami hilangnya mega merah dapat melakukan jamak taqdim atau shalat Maghrib dan Isya.[38]

5.      Majelis Fatwa al-Azhar asy-Syarif
·         Pada daerah-daerah yang tidak teratur masa siang dan malamnya, dilakukan dengan cara menyesuaikan/ menyamakan dengan daerah di mana batas waktu siang dan malam setiap tahunnya tidak jauh berbeda (teratur). Misalnya mengikuti Saudi Arabia.
·         Daerah yang sama sekali tidak diketahui waktu fajar dan maghribnya seperti daerah kutub (utara dan selatan), maka shalatnya menyesuaikan dengan daerah lain.[39]
Fatwa ini didasarkan pada hadits Nabi saw. ketika menanggapi pertanyaan sahabat tentang kewajiban shalat di daerah-daerah yang harinya menyamai seminggu atau sebulan bahkan setahun. Wahai rasulullah, “bagaimana dengan daerah yang satu harinya (sehari-semalam) sama dengan satu tahun, apa cukup dengan sekali shalat saja”, Rasulullah menjawab; “tidak”…… tapi perkirakanlah sebagaimana kadarnya (pada hari-hari biasa). (HR. Muslim)[40]
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwasanya shalat lima waktu dapat diketahui batasan-batasan waktu shalat yaitu :
1.      Shalat Dzuhur dimulai sejak matahari tergelincir sampai bayang-bayang semua sama atau dua kali panjangnya.
2.      Shalat Ashar dimulai sejak bayang-bayang sesuatu sama panjangnya atau bayang-bayang dua kali panjangnya sampai matahari menguning.
3.      Shalat Maghrib dimulai sejak matahari tenggelam sampai hilangnya mega merah.
4.      Shalat Isya bila matahari berkedudukan 18° di bawah ufuk.
5.      Shalat Subuh bila matahari berkedudukan 20° di bawah ufuk.
6.      Penentuan waktu shalat di daerah kutub atau daerah-daerah yang abnormal yaitu:
a.       Dalam Ilmu fiqh mengajarkan, bahwa dalam keadaan yang demikian orang yang bersangkutan, setelah bangun atau sadar kembali, wajib segera melaksanakan shalat isya, sesudah itu shalat subuh.
b.      Waktu shalat di daerah yang lintangnya melebihi 45° Utara dan Selatan dapat menggunakan daerah yang memiliki lintang 45° saja dan bujurnya tidak berubah.
c.       Bagi kawasan yang tidak mengalami hilangnya mega merah maka untuk menentukan waktu Isya dan Subuh berdasarkan waktu (musim) sebelumnya yang dapat membedakan mega merah saat Maghrib dan mega merah saat Subuh. Sementara itu kawasan yang mengalami pergantian malam dan siang dalam satu hari, meski panjang siang sangat singkat sekali atau sebaliknya, maka waktu shalat tetap sesuai dengan aturan buku dalam syari’at Islam.
d.      Menurut hasil Seminar Islam di Islamic Culture Center yaitu;
·         Bagi wilayah yang masih mengalami pergantian malam dan siang secara jelas, waktu shalat didasarkan sesuai ketentuan syara’.
·         Kawasan yang tidak mengalami hilangnya mega merah (syafaqul ahmar) maka untuk menentukan waktu Isya dan Subuh berdasarkan lintang 48° Utara atau 48° Selatan.
·         Bagi mereka yang kesulitan menunggu waktu Isya karena tidak mengalami hilangnya mega merah dapat melakukan jamak taqdim atau shalat Maghrib dan Isya
e.       Sedangkan berdasarkan Majelis Fatwa al-Azhar asy-Syarif yaitu;
·         Pada daerah-daerah yang tidak teratur masa siang dan malamnya, dilakukan dengan cara menyesuaikan/ menyamakan dengan daerah di mana batas waktu siang dan malam setiap tahunnya tidak jauh berbeda (teratur). Misalnya mengikuti Saudi Arabia.
·         Daerah yang sama sekali tidak diketahui waktu fajar dan maghribnya seperti daerah kutub (utara dan selatan), maka shalatnya menyesuaikan dengan daerah lain




DAFTAR PUSTAKA


Azhari, Susiknan, 2007. Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Cet. II, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.

Badan Hisab Rukyah Departemen Agama RI., 1981. Almanak Hisab Rukyah, Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam.

Bukhari, Muslim, Malik, and Dawud Hadith Collection Setup,  Hadist Imam Abu Dawud, Book II, dalam internet, webside http://www.google.co.id., diakses tanggal 2 November 2009.

Bukhari, Muslim, Malik, and Dawud Hadith Collection Setup,  Hadist Imam Bukhari, dalam internet, webside http://www.google.co.id., diakses tanggal 2 November 2009.

Depag RI. tt. Al-Qur'an dan Terjemahnya, Semarang : CV. Toha Putra.

Djambek, Saadoe’ddin, 1974. Shalat dan Puasa di Daerah Kutub, Jakarta: Bulan Bintang.

Khazin, Muhyiddin, 2004. Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka.

Materi disampaikan oleh H. Ahmad Izzuddin, M.Ag. pada acara Orientasi Sertifikasi Arah Kiblat Hisab Rukyah Daerah, di Hotel Muria pada tanggal 5-7 Agustus 2009), diselenggarakan oleh Departemen Agama Kanwil Provinsi Jawa Tengah.

Rochim, Abdur, 1983. Ilmu Falak, Yogyakarta: Liberty.

Saksono, Tono, 2007. Mengkompromikan Rukyat dan Hisab, Jakarta: Amythas Publicita (www.majalah_farmacia.com.) bekerjasama dengan Central for Islamic Studies.

Syarifuddin, Amir, 2006. Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta : Prenada Media.

www.jakim.go.my diakses tanggal 5 November 2009.

www.eramuslim.com. Diakses tanggal 5 November 2009.


                  *Mahasisawa Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang tahun 2009
[1] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta : Prenada Media, 2006), hal. 23.
[2]   QS. An-Nisā’ : 103.
[3] Semua terjemahan ayat al-Qur’ān merujuk pada Departemen Agama RI. Al-Qur'ān dan Terjemahnya, (Semarang : CV. Toha Putra).
[4] QS. Al-Isrā’ : 78.
[5] Ayat ini menerangkan waktu-waktu shalat yang lima. tergelincir matahari untuk waktu shalat Zhuhur dan Ashar, gelap malam untuk waktu Magrib dan Isya.
[6] QS. Hūd : 114.
[7] Badan Hisab Rukyah Departemen Agama RI., Almanak Hisab Rukyah, (Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981), hal. 2.
[8] QS. Thahā : 130.
[9] Bukhari, Muslim, Malik, and Dawud Hadith Collection Setup,  Hadist Imam Abu Dawud, Book II, dalam internet, webside http://www.google.co.id., diakses tanggal 2 November 2009.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Bukhari, Muslim, Malik, and Dawud Hadith Collection Setup,  Hadist Imam Bukhari, dalam internet, webside http://www.google.co.id., diakses tanggal 2 November 2009.
[13] Ilmu Falak menggunakan istilah : “matahari berkulminasi” yaitu bila matahari mencapai kedudukannya yang tertinggi dilangit dalam perjalanan harianya, Lihat bukunya Saadoe’ddin Djambek, Shalat dan Puasa di Daerah Kutub, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hal. 9.
[14] Abdur Rochim, Ilmu Falak, (Yogyakarta: Liberty, 1983), hal. 23.
[15] Ibid.
[16] Waktu Dzuhur dimulai tergelincirnya matahari samapai pada saat bayang-bayang benda sama panjang dengan benda tersebut, (Materi disampaikan oleh H. Ahmad Izzuddin, M.Ag. pada acara Orientasi Sertifikasi Arah Kiblat Hisab Rukyah Daerah, di Hotel Muria pada tanggal 5-7 Agustus 2009), diselenggarakan oleh Departemen Agama Kanwil Provinsi Jawa Tengah.
[17] Abdur Rochim, Ilmu Falak, hal. 23.
[18] Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004), hal. 90.
[19] Susiknan Azhari, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Cet. II, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007), hal. 65.
[20] Saadoe’ddin Djambek, Shalat dan Puasa di Daerah Kutub, hal. 9.
[21] Abdur Rochim, Ilmu Falak, hal. 23.
[22] Saadoe’ddin Djambek, Shalat dan Puasa di Daerah Kutub, hal. 10.
[23]Tono Saksono, Mengkompromikan Rukyat dan Hisab,(Jakarta: Amythas Publicita (www.majalah_farmacia.com.) bekerjasama dengan Central for Islamic Studies, 2007), hal. 164.
[24] Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktek, hal. 92.
[25] Badan Hisab Rukyah Departemen Agama RI., hal. 62.
[26] Saadoe’ddin Djambek, Shalat dan Puasa di Daerah Kutub, hal. 10.
[27] Ibid.
[28] Ibid. hal. 93.
[29] Saadoe’ddin Djambek, Shalat dan Puasa di Daerah Kutub, hal. 10.
[30] Ibid. hal. 68.
[31] Ibid.
[32] Saadoe’ddin Djambek, Shalat dan Puasa di Daerah Kutub, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hal. 8.
[33] Ibid. hal. 9.
[34] Susiknan Azhari, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, hal. 65. Lihat di www.eramuslim.com. Diakses tanggal 5 November 2009.
[35] Saadoe’ddin Djambek, Shalat dan Puasa di Daerah Kutub, hal. 10.
[36] Susiknan Azhari, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, hal. 71. Lihat www.jakim.go.my diakses tanggal 5 November 2009
[37] Ibid.
[38] Ibid.
[39] Ibid. hal. 72.
[40] Ibid.