Sabtu, 18 September 2010

HARI YANG FITRI

Kebahagiaan dan kesucian hati membutuhkan perjuangan. Ramadhan menjadi sekolah yang berulang-ulang untuk menjaga kualitas Iman

Detik-detik yang menentukan segera tiba, ummat Islam di seluruh penjuru dunia akan merayakan hari raya Idul fitri (Id) tepat 1 syawal 1431 H. Hari Raya menjadi tradisi keagamaan, lambang kemenangan ummat bertarung melawan hawa nafsu selama satu bulan di bulan Ramadhan. Di hari itu, umat bagaikan bayi yang terlahir kembali dalam kesucian dan ampunan dari Sang Khalid.

Hari raya artinya kembali pada kesucian. Ini sebuah ungkapan harapan bahwa puasa Ramadhan yang baru diselesaikan bisa memulihkan kefitrahan (kesucian) kita, yang selama setahun telah ternodai dosa dan maksiat. Di setiap belahan bumi manapun seluruh umat Islam merayakan hari raya idul fitri yang diisi dengan penuh kebahagiaan. Karena pada hari raya idul fitri kita seakan-akan kembali menjadi fitri, bersih, suci dan kebahagiaan akan kemenangan setelah kurang lebih selama 1 bulan kita melawan hawa nafsu.

Namun, kebahagiaan itu bukanlah hujan yang turun dengan tiba-tiba dari langit. Kesucian juga bukan salju indah yang melapisi permukaan tanah dengan warna putihnya. Kebahagiaan dan kesucian hati kita pada idul fitri bukanlah sesuatu yang datang tiba-tiba, karena baju baru atau terhidangnya berbagai macam makanan.

Kebahagiaan dan kesucian hati membutuhkan perjuangan.

Ia adalah resultan (hasil) dari usahaku, usahamu, usaha kita pada bulan suci Ramadhan. Kita membangun sendiri istana hati yang suci , kita sendiri yang harus menanamnya dari hati. Seorang suami yang dengan sekuat tenaga menahan lapar, haus, dan nafsu amarah sedangkan dia harus tetap bersemangat mengais pundi-pundi rupiah untuk anak dan istrinya.

Seorang ibu yang mencoba istiqamah berpuasa walaupun dalam keadaan letih, hamil atau sedang menyusui dengan kekhawatiran dan kasih sayangnya dia masih tetap berjuang untuk menyediakan makanan untuk keluarganya.

Tanpa kita sadari sebetulnya Ramadhan mengantarkan kita kepada kebaikan, penyucian diri dan kebahagiaan. Di bulan suci Ramadhan kita akan lebih peka terhadap lingkungan sekitar, sehingga melahirkan keshalehan social.

Kemudian kita juga menjadi lebih dekat kepada sang Khaliq, sehingga melahirkan keshalehan vertical, kemudian di bulan suci Ramadhan yang penuh dengan rahmat Allah orang-orang tak pernah berhenti berdoa meminta kepada Allah.

Sehingga menjadikan kita rajin berdoa kepada Allah, untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah orang-orang akan cenderung mencari lingkungan yang kondusif, agar dapat memperkuat keimanannya, sehingga lama-kelamaan akan merasa perlu atau merindukan lingkungan yang shaleh meskipun tidak di bulan Ramadhan lagi.

Dengan demikian kita akan merasa lebih mudah dalam beribadah, sehingga beribadah menjadi suatu kebutuhan dalam hidup dan tidak lagi hanya menjadi suatu kewajiban semata, dengan begitu hati akan menjadi tawakal, hati menjadi peka, terbuka akan nasehat dan selalu rindu kepada Allah.

Jika itu semua terjadi maka secara otomatis kita akan memiliki kecerdasan diri, dan selalu mengkoreksi setiap kesalahan yang diperbuat. Dengan demikian maka kesucian pun akan didapat dan kebahagiaanpun akan diraih.

Dengan kata lain ada beberapa kriteria orang yang kembali kepada kesucian (fitrah) yaitu:

1. Memiliki keshalehan sosial

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ (١)فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (٢)وَلا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (٣)فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (٤)الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ (٥)الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ (٦)وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ

“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya dan enggan (menolong dengan) barang berguna” (Q.S. Al Maa’uun [107]: 1-7)

2. Memiliki keshalehan ritual/vertikal

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa,” (Q.S. Al Baqarah [2]: 21)

3. Memiliki kekuatan do’a (rajin berdo’a)

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Q.S. Al Baqarah [2] : 186)

4. Memiliki kebutuhan untuk bergabung dengan lingkungan Sholeh

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Q.S. Al Kahfi [18] : 28)

5. Merasa mudah dalam beramal Sholeh atau melakukan kebaikan

فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإسْلامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللَّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لا يُؤْمِنُون

“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman” (Q.S. Al An aam [6]: 125)

6. Merasakan kerinduan kepada Allah, hatinya terbuka dengan nasehat, memiliki jiwa tawakkal, selalu mendirikan sholat, memiliki kepekaan sosial

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (٢)الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (٣)أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia. “ (Q.S. Al Anfaal [8]: 2-4)

7. Memiliki kecerdasan diri, selalu Introspeksi diri (memperbaiki diri)

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (١٣٣)الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (١٣٤)وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ (١٣٥)أُولَئِكَ جَزَاؤُهُمْ مَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَجَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَنِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal. “(Q.S. Ali Imran [3] : 133-136)

Semoga di hari yang fitri, kita memiliki kesucian kembali, seperti salju indah yang melapisi permukaan tanah dengan warna putihnya, dan hati sebening embun di pagi hari yang menyejukan setiap orang. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar