SHALAT TARAWAIH
Oleh: Muhajir, SHI.
- Pensyariatannya
Shalat tarawih disyariatkan secara berjamaah berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu anha: "Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam pada suatu malam keluar dan shalat di masjid orang-orangpun ikut shalat bersama dan merekapun memperbincangkan shalat tersebut merekapun ikut shalat bersama mereka memperbincangkan lagi hingga bertambah banyaklah penghuni masjid pada malam ketiga. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam keluar dan shalat ketika malam ke empat masjid tak mampu menampung jamaah hingga beliau hanya keluar utk melakukan shalat subuh. Setelah selesai shalat beliau menghadap manusia dan bersyahadat kemudian bersabda Amma badu sesungguh aku mengetahui perbuatan kalian semalam namun aku khawatir diwajibkan atas kalian sehingga kalian tak mampu mengamalkannya. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam wafat dalam keadaan tak pernal lagi melakukan shalat tarawih secara berjamaah." (HR. Bukhari (3/220) dan Muslim (761))
Ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam menemui Rabb (dalam keadaan seperti keterangan hadits di atas) maka berarti syariat telah tetap maka shalat tarawih berjamaah disyariatkan krn kekhawatiran tersebut sudah hilang dan illat telah hilang. Sesungguh illat itu berputar bersama malul ada atau tak adanya.
Dan yg menghidupkan kembali sunnah ini adl Khulafaur Rasyid Umar bin Khaththab Radhiyyallahu anhu sebagaimana dikabarkan demikian oleh Abdurrahman bin Abidin Al Qariy beliau berkata "Aku keluar bersama Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu suatu malam di bulan Ramadhan ke masjid ketika itu manusia berkelompok-kelompok ada yg shalat sendirian dan ada yg berjamaah maka Umar berkata Aku berpendapat kalai mereka dikupulkan dalam astu imam niscaya akan lbh baik. Kemudian beliau mengumpulkan mereka dalam satu jamaah dgn imam Ubay bin Kaab setelah itu aku keluar bersama imam mereka Umarpun berkataSebaik-baik bidah adl ini orang yg tidur lbh baik dari yg bangun ketika itu manusia shalat di awal malam." (Dikeluarkan Bukhari (4/218) dan tambahan dalam riwayat Imam Malik (1/114) dan Abdur Razaq (7733))
Dan yg menghidupkan kembali sunnah ini adl Khulafaur Rasyid Umar bin Khaththab Radhiyyallahu anhu sebagaimana dikabarkan demikian oleh Abdurrahman bin Abidin Al Qariy beliau berkata "Aku keluar bersama Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu suatu malam di bulan Ramadhan ke masjid ketika itu manusia berkelompok-kelompok ada yg shalat sendirian dan ada yg berjamaah maka Umar berkata Aku berpendapat kalai mereka dikupulkan dalam astu imam niscaya akan lbh baik. Kemudian beliau mengumpulkan mereka dalam satu jamaah dgn imam Ubay bin Kaab setelah itu aku keluar bersama imam mereka Umarpun berkataSebaik-baik bidah adl ini orang yg tidur lbh baik dari yg bangun ketika itu manusia shalat di awal malam." (Dikeluarkan Bukhari (4/218) dan tambahan dalam riwayat Imam Malik (1/114) dan Abdur Razaq (7733))
- Jumlah Rakaatnya
Manusia berbeda pendapat tentang batasan rakatat pendapat yg paling mencocoki petunjuk Nabi Shallallahu alaihi wasallam adl delapan rakaat tanpa witir berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu anha: "Nabi Shallallahu alaihi wasallam tak pernah shalat malam di bular Ramadhan atau selain lbh dari sebelas rakaat." (Dikeluarkan oleh Bukhari (3/16) dan Muslim (736))
Yang telah mencocoki Aisyah Radhiyallahu anha adl Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma beliau menyebutkan "Nabi Shallallahu alaihi wasallam menghidupkan malam Ramadhan bersama manusia delapan rakaat kemudian witir." (Dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahih (920))
Ketika Umar bin Khaththab menghidupkan sunnah ini beliau mengumpulkan manusia dgn sebelas rakaat sesuai dgn sunnah shahihah sebagaimana yg diriwayatian oleh Malik (1/115) dgn sanad yg shahih dari jalan Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid ia berkata "Umar bin Khaththab menyuruh Ubay bin Kaab dan Tamim Ad Dari utk mengimami manusia dgn sebelas rakaat." Ia berkata "Ketika itu imam membaca dua ratus ayat hingga kami bersandar/bertelekan pada tongkat krn lama berdiri kami tak pulang kecuali ketika furu fajar." (Furu Fajar : awal permulaan)
Riwayat beliau ini diselisihi oleh Yazid bin Khashifah beliau berkata "Dua puluh rakaat." Riwayat Yazid ini syadz (ganjil/menyelisihi yg lbh shahih) krn Muhammad binm Yusuf lbh tsiqah dari Yazid bin Khashifah. Riwayat Yazid tak bisa dikatakan ziyadah tsiqah kalau kasus seperti ini krn ziyadah tsiqah itu tak ada perselisihan tapi hanya sekedar tambahan ilmu saja dari riwayat tsiqah yg pertama sebagaimana yg disebutkan dalam Fathul Mughits (1/199) Muhashinul Istilah (hal. 185) Al Kifayah (hal. 424-435). Kalaulah seandai riwayat Yazid tersebut shahih itu adl perbuatan sedangkan riwayat Muhammad bin Yusuf adl perkataan dan perkataan lbh diutamakan dari perbuatan sebagaimana telah ditetapkan dalam ilmu ushul fiqih.
Abur Razaq meriwayatkan dalam Al Mushannaf (7730) dari Daud bin Qais dan lain dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid bahwa Umar mengumpulkan manusia di dalam bulan Ramadhan dgn dua puluh satu rakaat membaca dua ratus ayat selesai ketika fajar."
Riwayat ini menyelisihi yg diriwayatkan oleh Malik dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid dhahir sanad Abdur Razaq shahih seluruh rawi tsiqah.
Sebagaimana orang yg berhujjan dgn riwayat ini mereka menyangka riwayat Muhammad bin Yusuf adalah mudhtharib hingga selamatlah pendapat mereka dua puluh rakaat yg terdapat dalam hadits Yazid bin Khashifah.
Sangkaan mereka ini tertolak karena hadits mudhtharib adalah hadits yg diriwayatkan dari seorang rawi satu kali atau lebih atau diriwayatkan oleh dua orang atau lebih dengan lafadz yang berbeda-beda mirip dan sama tapi tak ada yang bisa menguatkan (mana yang lebih kuat).
Kami ketengahkan hal ini kalau kita anggap sanad Abdur Razaq selamat dari illat (cacat) akan tetai kenyataan tak demikian kita jelaskan sebagai berikut:
· Yang meriwayatkan Mushannaf dari Abdur Razaq lbh dari seorang diantara adl Ishaq bin Ibrahim bin Ubbad Ad Dabari.
· Hadits ini dari riwayat Ad Dabari dari Abdur Razaq dia pula yg meriwayatkan Kitabus Shaum.
· Ad Dabari mendengar dari Abdur Razaq karangan-karangan ketika berumur tujuh tahun.
· Ad Dabari bukan perawi hadits yg dianggap shahih hadits juga bukan seorang yg membidangi ilmu ini.
· Oleh krn itu dia banyak keliru dalam meriwayatkan dari Abdur Razaq dia banyak meriwayatkan dari Abdur Razaq hadits-hadits yg mungkar sebagian ahlul ilmi telah mengumpulkan kesalahan-kesalahan Ad Dabari dan tashif-tashif dalam Mushannan Abdur Razaq dalam Mushannaf.
Dari keterangan di atas maka jelaslah bahwa riwayat ini mungkar Ad Dabari dlm meriwayatian hadits diselisihi oleh orang yg lbh tsiqah dari yg menentramkan hadits ini kalau kita nyatakan hadits inipun termasuk tashif Ad Dabari dia mentashifkan dari sebelas rakaat (mengganti menjadi dua puluh satu rakaat) dan engkau telah mengetahui bahwa dia banyak berbuat tashif.
Dari keterangan di atas maka jelaslah bahwa riwayat ini mungkar Ad Dabari dlm meriwayatian hadits diselisihi oleh orang yg lbh tsiqah dari yg menentramkan hadits ini kalau kita nyatakan hadits inipun termasuk tashif Ad Dabari dia mentashifkan dari sebelas rakaat (mengganti menjadi dua puluh satu rakaat) dan engkau telah mengetahui bahwa dia banyak berbuat tashif.
Oleh karena itu riwayat ini mungkar dan mushahaf (hasil tashif) sehingga tak bisa dijadikan hujjah dan menjadi tetaplah sunnah yg shahih yg diriwayatkan di dalam Al Muwatha (1/115) dengan sanad shahih dari Muhammad bin Yusuf dari Saibn bin Yazid. Wallahu alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar