ISLAM, MUSLIM DAN PERILAKU EKONOMI
(Ketika Agama menjadi komoditas
yang diperjual belikan
_Islamic Consumption Trend_ )
ABSTRACT
By : Nihayatur Rohmah[1]
Globalization has brought about the increasing
consumption by people in indonesia among
other things, popular culture. Western food, fashion and fun are among the
areas of popular culture people would like to enter into. Let’s take films as
an example of fun. While american idol emerges as a very popular tv show in
america, in indonesia a similarly organized tv show called indonesian idol
enjoys also the same popularity among indonesian audiences. For many audiences
in indonesia, one who does not watch indonesian idol can be regarded as a
person who does not keep up with the
most recent product of global culture. This globalization then affects
the way people consume their religious teachings as well as how religious
teachings should be transmittes to them. People who previously had to a attend
special forums for studying religious teaching, such as mosque, now just sit in
front of tv, seeing public preaching presented by a preacher. By this way of
studying, they can save energy and more importantly they are not required to
have a face to face contact with the preacher and others in the audience. As a
consequences, the social contact then appears to be increasingly less
important. The buying and selling of commodities incorporates the process of
socialization that includes both the buyer and seller. Within this context ,
religious commodities can be viewed as the process by which the social economic
market is being utilized by religious ideology. Further this process turns
piety into a commodity , religion becomes something which can be bought and
sold.
Keywords: Globalization,consumption, religious commodities.
A.
Pendahuluan
Jika melakukan telaah kebudayaan
yang mendalam kita dapat membuat kesimpulan, umat manusia kini berada pada
kesadaran sejarah paling puncak, yakni kesadaran bahwa dirinya sebagai bagian
yang tidak bisa lagi dipisahkan dengan kehidupan umat manusia secara universal.
Meskipun kesadaran ini sebenarnya merupakan bagian dari kemanusiaan itu sendiri,
artinya telah ada semenjak keberadaan manusia, namun pada saat inilah kesadaran
tersebut menemukan momentum yang tepat, dan sekaligus tantangan yang dahsyat.
Adalah kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan tehnologi seperti transportasi,
komunikasi dan komputer yang telah menjadikan kesadaran tersebut dapat
teraktualisasikan dengan sempurna setidaknya secara material. Saat ini manusia
dengan begitu mudah dan cepatnya berkomunikasi dengan manusia lain meskipun
dari sisi tempat yang berjauhan dan saat itu pula dapat menyaksikan peristiwa
yang terjadi didunia lain. Para ilmuwan menyebut fenomena ini dengan
globalisasi. [2]
Perdebatan tentang globalisasi
menimbulkan emosi dan memunculkan beragam pendapat. Beberapa orang berpendapat
bahwa proses globalisasi menyebabkan ekonomi politik dan budaya semakin
terbuka, pertumbuhan ekonomi yang
semakin bebas, perdamaian dan kerjasama internasional. Yang lainnya berpendapat
bahwa globalisasi memperlebar kesenjangan antara miskin dan kaya, memperdalam
ketidakadilan dan mempromosikan eksploitasi masyarakat dan lingkungan.
Dikatakan bahwa globalisasi dibanyak negara mengarah pada pengangguran yang
lebih tinggi dan melemahnya negara kesejahteraan. Banyak berbagi kekhawatiran
orang tentang fakta bahwa daya dan sarana produksi semakin didominasi oleh
segelintir orang saja (in the hands of a few). Sebagai
konsekuensinya, rekomendasi politik dan etika mungkin akan berbeda. Sedangkan
beberapa suara-suara yang menyerukan percepatan proses globalisasi dengan
mempromosikan liberalisasi dan privatisasi di segala bidang kehidupan, orang
lain yang meminta untuk globalisasi alternatif untuk mempromosikan nilai-nilai
inti umum seperti keadilan dan penghormatan dan pelaksanaan hak asasi manusia.[3]
Perbedaan
pendapat tentang "globalisasi" sebenarnya hanya sebesar kesepakatan
pada pentingnya perubahan itu sendiri. Kini,
konteks global mempengaruhi hidup
kita sedemikian rupa sehingga tak tertandingi untuk setiap era dalam sejarah.
"Globalisasi" adalah suatu istilah kolektif untuk berbagai hal dimana
antara satu sama lain saling tergantung dan
saling meningkatkan proses. Kawasan yang sebelumnya dipisahkan oleh
bangsa, kelas, agama dan garis pemisah lainnya sekarang ditarik ke dalam
lingkup yang sama. Globalisasi terus menerus mengarah ke ekspansi yang sedang
berjalan dan intensifikasi diberbagai bidang. Politik, budaya, sosial dan
fenomena agama, yang sebelumnya memiliki wilayah terpisah kurang lebih menjadi
hidup dan mempengaruhi satu sama lain.[4]
Kini, dengan perkembangan tehnologi
informasi, globalisasi tidak lagi diberi muatan fisikal, sebaliknya globalisasi
lebih diberi makna abstrak. Penciptaan ide-ide, perilaku, dan sentimen baru
diberbagai tempat tak harus melalui physical contacts. Salah satu
fenomena yang bisa dilihat adalah tumbuh berkembangnya kepintaran dalam
mengemas agama menjadi barang komoditas. Munculnya sejumlah da’i selebritis
dengan pangsa pasar dan strategi pemasaran yang jelas sampai pada jual beli hal
yang ghaib seperti jin adalah fenomena perilaku ekonomi da’i selebritis dengan pangsa pasar dan
strategi pemasaran yang jelas sampai pada jual beli hal yang ghaib seperti jin
adalah fenomena perilaku ekonomi ang tak biasa. Mungkin dari sisi ini para da’i
selebritis mendapat sisi berkah dari globalisasi. Selanjutnya, dalam
tulisan ini akan mmengeksplorasi sejauh mana “Islamic Consumption trend” ini berlangsung.
B. Pembahasan
a.
Agama sebagai
sebuah sub_sistem Masyarakat
Masyarakat modern ditandai dengan
masyarakat yang bersifat individualis, pluralisme dan globalisasi serta
pembentukan identitaspun menjadi tugas individu. Masyarakat harus menemukan gaya hidupnya sendiri dan
bahkan pandangan terhadap dunia. Memiliki begitu banyak pilihan baik dalam
menciptakan kebebasan baru serta ketidakpastian dan kebingungan. Pembentukan identitas yang menjadi tugas
individu, terdapat beberapa teori yang mempertanyakan tentang gagasan satu identitas dan bukan berbicara tentang banyak
identitas yang harus dibangun dan direkonstruksi dalam kehidupan individu.[5]
Menurut teori Kelly[6], suatu konstruksi pribadi
adalah kognisi atau
asumsi mental dimana seseorang
menggunakannya untuk mengkategorikan dunia.
Sistem terhadap konstruk pribadi
adalah sistem hirarki yang meliputi
karakteristik pribadi seorang
individu yang dirancang untuk meminimalkan
ketidaksesuaian dan
inkonsistensi dalam kehidupan bersama.
Pengalaman dan
perilaku manusia ditentukan oleh sistem. Sejauh
mana posisi hirarkis
dalam sistem
konstruk individu
itu mempengaruhi sebuah pengalaman
dan perilaku seseorang.
Identitas pribadi dengan
demikian didefinisikan oleh cara indvidual dalam
memahami dunia
pribadinya. Jadi
perubahan konstruksi
bersamaan dengan perubahan identitas. Dalam
masyarakat modern peran
agama telah berubah.
Sosiologi modern memahami
masyarakat sebagai
hasil interaksi sub
sistem, yang semuanya memiliki struktur
mereka sendiri dan logika batin.
Beberapa sub
sistem utama dapat
dilihat bidang ekonomi, ilmu pengetahuan,
pendidikan, dan agama menjadi
subsistem individu
antara lain dalam
masyarakat. Agama dianggap tidak
memiliki posisi istimewa di sini.
Ini memiliki beberapa konsekuensi; Pertama, Agama
(yang diklaim sebagai agama yang tunggal)merupakan salah satu perubahan budaya
dari pandangan homogen oleh dunia
komunal menjadi pluralisme agama, agama-agama (dalam bentukjamak). Lebih
dari satu agama adalah bagian dari budaya. Kedua, Individu memiliki pilihan
untuk menentukan agama mana yang akan dipilih, itupun jika ia menganggap agama itu sesuatu
yang penting .[7]
Sebaliknya, dalam
masyarakat tradisional
atau dalam masyarakat tertutup agama
mencakup semua
bidang masyarakat lainnya. Agama
tidak hanya satu sub-sytem
budaya tapi
mnecakup dasar dan kerangka yang
lainnya. Ini adalah fenomena yang tidak bisa ditawar.
Hal ini dapat kita temukan di negara-negara Islam
serta beberapa negara kristen
Barat. Individu
merupakan bagian dari budaya yang secara
alamiah juga merupakan bagian dari identitas
budaya-agama.[8]
Religion/God
Religion/God Religion/
God
Religion/God
Jadi,
terdapat pergeseran pemahaman terhadap fungsi agama. Dahulu agama menjadi suatu
bagian yang integral dalam diri manusia sehingga identitas pribadi merupakan
cerminan dari identitas budaya agama.
Sedang dalam masyarakat modern agama dipandang sebagai suatu yang
terpisah dari masyarakat, tinggal bagaimana agama itu dijadikan sebuah pilihan
hidup oleh masyarakat sendiri.
b.
Pergeseran
Paradigma: Dari Era Rasional _ke Emosional_ke spiritual
Praktik bisnis dan
pemasaran sebenarnya bergeser dan mengalami transformasi dari level intelektual
(rasional) ke emosional dan akhirnya ke spiritual.[9]
Di level intelektual (rasional), pemasar menyikapi pemasaran secara
fungsional-teknikal dengan menggunakan sejumlah tools pemasaran, seperti
positioning, targeting, marketing-mix dan lain sebagainya. Kemudian di level
emosional kemampuan pemasar dalam memahami emosi dan perasaan pelanggan menjadi
penting. Jika pada level intelektual otak kiri si pemasar paling berperan,
sebaliknya di level emosional otak kananlah yang paling dominan.[10]
Namun, saat ini dan dimasa yang akan datang apalagi setelah pecahnya skandal
keuangan di Amerika serikat dengan tumbangnya perusahaan-perusahaan raksasa,
maka era pemasaran telah bergeser lagi kearah spiritual marketing.
Di level spiritual ini,
pemasaran sudah disikapi sebagai bagian”bisikan nurani” dan “panggilan jiwa”(calling).
Disini praktik pemasaran dikembalikan kepada fungsi yang hakiki dan dijalankan
dengan moralitas yang kental. Prinsip kejujuran, empati, cinta, dan kepedulian
terhadap sesama menjadi dominan. Bahasa yang digunakan dalam level ini adalah
bahasa nurani/ hati yang akan menunjukkan kemana arah yang akan dituju. Dalam
hal ini orang semata-mata tidak lagi menghitung masalah untung atau rugi, tidak
lagi terpengaruh dengan hal-hal yang bersifat duniawi, karena panggilan jiwa
yang mendorongnya.[11]
Di dalam keseluruhan
prosesnya tidak ada yang bertentangan dengan prinsip-prinsip muamalah, ia
mengandung nilai-nilai ibadah yang disertai keikhlasan semata-mata hanya untuk
mencari keridlaan Allah, maka seluruh bentuk transaksinya insyaAllah akan
menjadi ibadah dihadapan Allah. Ini akan menjadi bibit dan modal dasar baginya
untuk tumbuh menjadi bisnis besar yang
memiliki spiritual brand, yang memiliki kharisma, keunggulan dan
keunikan yang tak tertandingi.
c.
Privatisasi
Agama dan Globalisasi
Globalisasi
yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan dalam kehidupan telah mendorong
pembentukan definisi baru tentang berbagai hal dan memunculkan praktek
kehidupan yang beragam. Cara-cara orang dalam mempraktekkan agama juga
mengalami perubahan, bukan karena agama mengalami proses kontekstualisasi
sehingga agama embedded didalam masyarakat, tetapi juga karena budaya
yang mengkontekstualisasi agama itu merupakan budaya global, dengan tata nilai
yang berbeda.iklim yang kondusif bagi perbedaan-perbedaan cara hidup tersebut
telah melahirkan proses individualisasi yang meluas, yang menjauhkan manusia
dari konteks generalnya. Transformasi general ke individual menandakan suatu
perubahan dalam ikatan dan sentimen-sentimen. Kecenderungan ini dapat dilihat
pada apa yang dikatakan oleh para ahli sebagai”privatisasi agama”, yang
menunjukkan proses individualisasi dalam penghayatan dan praktik agama.
Privatisasi agama itu tidak hanya menegaskan pergeseran masyarakat secara
meluas, tetapi juga mempengaruhi proses reorganisasi sosial budaya.
Pergeseran-pergeseran
yang terjadi dalam Islam dengan menggunakan kerangka kerja Mike Featherstone
sebagaimana yang telah penulis kutip dalam bukunya Abdullah,[12]
yakni yang disebut dengan tiga tanda dari pergeseran masyarakat masa kini
adalah;
1.
Dominannya
nilai simbolis barang
Pengaruh
perubahan reorganisasi kehidupan itu terhadap kehidupan keagamaan dapat dilihat
pada tiga proses yang menjadi tanda dari keberadaan masyarakat modern,
diantaranya adalah:
- Proses matrealisasi kehidupan yang
mentransformasikan berbagai hal menjadi komoditi sehingga terjadi proses
komodifikasi secara meluas.
- Tekanan sosial yang diakibatkan oleh
etos kerja kapitalistik yang menyebabkan hidup menjadi proses mencari nilai
tambah secara material.
- Proses mobilitas yang menjadi
fenomena terpenting di akhir abad 20-an ini yang mempengaruhi berbagai bentuk
reorganisasi sosial, ekonomi dan politik.
Dalam
masyarakat yang berorientasi pada pasar, cara pandang terhadap dunia (seperti
juga terhadap agama)mengalami pergeseran. Agama dalam hal ini bukan merupakan
sumber nilai dalam pembentukan gaya hidup tetapi lebih sebagai instrumen bagi
gaya hidup itu sendiri. Naik haji tidak lagi sebagai perjalanan spiritual
(sakral) semata tetapi telah pula menjadi “produk” yang dikonsumsi dalam rangka
“identifikasi diri” yang disebut Friedman sebagai bentuk cultural strategy
of self definition. Disini tampak bahwa agama tidak lagi menjadi suatu
sistem ideologi yang memberikan basis pengetahuan didalam proses evaluasi dan
praktik kehidupan seseorang karena ia lebih merupaka “pelengkap”kehidupan.
Dalam hal ini, karena agama telah mengalami privatisasi, maka agama dapat
dengan mudah menjadi produk yang dapat diperjualbelikan atau
dikomodifikasi.Yang menarik bahwa pasar dalam hal ini tidak hanya
mentransformasikan kehidupan keagamaan tetapi agama juga telah digunakan untuk
mensahkan kepentingan pasar.
2.
Proses
estetisasi kehidupan
Maksud dari
proses estesisasi kehidupan adalah menguatnya kecenderungan hidup sebagai
proses seni. Produk yang dikonsumsi tidak dilihat dari fungsi, tetapi dari
simbol yang berkaitan dengan identitas dan status. Selain itu, estetisasi
merupakan pergeseran hidup dari proses etis ke estetika. Dengan
demikian yang dikonsumsi dalam hal ini bukan esensi agama itu sendiri tetapi
citra agama sebagai suatu sistem simbol. Pada saat agama merupakan the work
of art –meminjam istilah Georg Simmel- ia kan menjadi private business. Privatisasi
agama dalam hubungannya dengan the work of art tidak hanya merupakan
tanda dari menjauhnya agama dari kepentingan publik tetapi juga memperlihatkan
kecenderungan masyarakat dalam mempertanyakan kredibilitas agama, menyangkut
apa yang dilakukan agama untuk kepentingan umatnya. Dengan demikian agama tidak
hanya menegaskan fungsinya bagi umat, tetapi performance nya dalam memberikan
solusi diluar masalah agama.[13]
3.
Melemahnya
sistem referensi tradisional
Kecenderungan
privatisasi agama karenanya akan semakin jelas jika kebudayaan (lokal) tidak
merespon situasi semacam ini. Bagaimanapun sistem referensi tradisional yang
berasal dari budaya lokal harus diperkuat bukan untuk meredam pengaruh
kebudayaan global, tetapi lebih untuk memanfaatkan sebaik mungkin pertemuan
dengan kebudayaan luar sebagai modal didalam pengembangan kebudayaan lokal.
Agama yang menyangkut substansi doktrin, nilai-nilai dan pola tingkah laku
dalam keberagamaan merupakan “religious modalities” yang menentukan
bagaimana dunia dengan perubahan yang dikonsepsikan dan ditata.[14]
Salah satu resiko dari privatisasi
agama adalah semakin banyaknya fenomena komodifikasi. Secara teoritik,
komodifikasi menjelaskan cara kapitalis dalam menjaga tujuan mereka dalam mengakumulasi
kapital atau merealisasi nilai melalui transformasi nilai guna kepada nilai
tukar. Dalam karyanya Capital, Marx memulai pembahasannya
dengan membicarakan mengenai bentuk-bentuk komoditas. Ekonomi politik telah
banyak memberikan pertimbangan pada institusi dan stuktur bisnis yang
memproduksi dan mendistribusi komoditas dan menguasai badan-badan yang
meregulasi proses-proses tersebut.[15]
d.
Agama, Pasar
dan Gaya Hidup Masyarakat [16]
Sesungguhnya praktik iklanisasi
agama di televisi tidak hanya memperlihatkan betapa dangkal nilai-nilai
relegius, tetapi juga berdampak besar terhadap praktik beragama sebagai gaya
hidup dalam kehidupan masyarakat. Dibayang-bayangi kapitalisme media, iklan
bernuansa agama semakin menunjukkan mempengaruhi terhadap gaya hidup
masyarakat. Hal ini terlihat dari gaya hidup, tokoh politik, para selebriti,
pemilik modal, pedagang, mendadak disuguhi oleh aneka macam iklan dan semarak
kegiatan keagamaan. Komodifikasi agama yang terdapat dalam iklan
tersebut pada akhirnya menjadi kamuflase yang menjadikan agama sebagai
komoditas.
Tumbuh dan berkembangnya ruang
iklan sebagai komodifikasi agama sebenarnya hanya sebuah strategi yang
menggunakan instrumen agama, berupa ajaran, simbol-simbol, solidaritas ingroup
(ukhwah islamiah), sentimen keagamaan, dan lain
sebagainya. Karena Isu-isu keagamaan merupakan komoditi yang cukup fungsional
ketika dijadikan komoditi dalam ruang iklan. Ketika agama
dikomodifikasikan akan mereduksi nilai agama itu sendiri, sehingga agama hanya
terperangkap dalam kerangkat formalis-simbolis semata yang hanya mengedepankan
kamuflase dan pencitraan. Komodifikasi agama dalam ruang publik pada akhirnya
akan melahirkan mereduksi sakralitas nilai-nilai agama yang sesungguhnya. Nilai-nilai keagamaan akan
teralienasi dibalik pencitraan.
Agama dalam hal ini bukan merupakan sumber nilai
dalam pembentukan gaya hidup, tetapi lebih sebagai instrumen bagi gaya hidup
itu sendiri. Dalam logika pasar agama di posisikan sama dengan
barang-barang dangangan lainnya yang dikelola sedemikian rupa. Sehingga bukan
hanya hari-hari besar agama yang digunakan momen untuk dijadikan komoditi dalam
logika pasar, tapi yang lebih sublim dari itu adalah kaum muslim sendiri telah
dibentuk menjadi konsumen untuk distribusi barang-barang dalam logika
pasar. Seperti pakaian, makanan, alat shalat, asesoris, lembaga pendidikan, dan
surat kabar dan lain sebagainya.
Keislaman pun telah didefinisikan
oleh pasar dengan menciptakan kategori-kategori yang bersifat artifisial dan
simplistik. Haji merupakan contoh yang paling nyata dalam hal ini. Perbedaan
dalam praktik haji juga telah terjadi akibat intervensi pasar. Naik haji tidak
lagi dimaknai sebagai perjalanan spritual (sakral) semata, tetapi telah pula
menjadi produk yang dikonsumsi dalam rangka identifikasi baru berupa prestise,
status, pencitraan, (ingin) dianggap saleh di tengah-tengah masyarakat. Maka yang terjadi adalah bukan
lagi kebutuhan spritual dalam beragama yang diutamakan melainkan kebutuhan
simbolis, konsumtif-artifisial yang dikedepankan. Etos konsumtis (simbolis)
menjadi jauh lebih penting dari pada etos produktif. Sejalan dengan proses
komodifikasi, agama kemudian mejadi faktor dalam pembentukan identititas diri
yang sekali lagi menjadi alat dalam menegaskan pluralitas gaya hidup bagi para
pemeluknya.
e.
Industrialisasi
Religiusitas [17]
Industri merupakan suatu tema yang sangat
berkaitan dengan kapitalisme bahkan menjadi lambang dari kapitalisme itu
sendiri. Sedangkan religi seringkali menjadi sosok yang seringkali digunakan
untuk setengah mati menghambat laju kapitalisme. Yang tentu saja dalihnya
mengenai anti penindasan serta memperjuangkan keadilan. Para kaum religius seringkali menjadi corong
utama penentang kapitalis ini dengan senjata propaganda nilai-nilai agama dan
keimanan yang seringkali memiliki standar berbeda. Para pelaku religiusitas
seringkali menyeruakkan penentangannya terhadap prinsip kapitalisme serta
liberalisme yang memang sedikit berhubungan darah. Bahkan lumayan parah adalah
banyak pelaku religiusitas ini memaksakan pemikirannya menentang pluralisme
yang dianggapnya sebagai rangkaian dari kapitalisme ataupun liberalisme itu.
Namun sadar atau tidak. Sebenarnya yang menjadi ketakutan para pelaku
religiusitas ini adalah kekhawatiran akan tereliminirnya mereka dalam
percaturan global. Serta terancamnya eksistensi mereka. Ini mungkin akan banyak
dipungkiri karena dari sisi prinsip keimanan yang di “jual” nya akan menganggap
tabu pengakuan itu. Gejala yang seringkali mengemuka adalah para pelaku
religiusitas itu ternyata berupaya membendung laju kapitalisme dengan cara sama
yang dilakukan kaum kapitalis itu sendiri. Mereka memandang apa yang menjadi
keberhasilannya secara kuantitas mampu membendung laju kapitalis. Padahal
sebenarnya para pelaku religiusitas ini telah menjadi bagian dari kaum
kapitalis. Tentu saja hal ini lumayan memprihatinkan. Mengingat sebenarnya
industri dan religi adalah suatu hal yang seharusnya dipisahkan. Menjadi salah
kaprah ketika penggiat religi yang kuatir terlibas kapitalis ini justru
mengadopsi cara-cara kapitalis untuk mempertahankan eksistensinya. Tak perlu
dipungkiri bahwa sudah menggejala bahwa para kaum yang mengaku religius justru
menjadi pelaku atau marketer kapitalis itu sendiri dengan komoditas yang
seharusnya layak dipisahkan yaitu komoditas spiritualitas atau religius yaitu
yang populer disebut “agama”.
Industri dan Religi sejatinya dapat berjalan
seiring dan menemukan titik kesepahamannya. Yaitu saat para individu mampu
menemukan batas yang tegas sisi melaksanakan dorongan religiusnya dan sisi
penghidupan dunianya (Industri/bisnis). Tentu saja tak salah kita berbisnis
dalam komoditas agama. Namun jangan sampai jebakan untuk menjadikan agama lebih
ditonjolkan sebagai komoditas saja itulah yang harus diwaspadai. Jika umat
dapat memisahkan dengan baik sisi religi dan industri maka banyak hal yang dapat
dipetik. Kualitas religiusitas yang meningkat serta perekonomian berbasis
religipun akan mengiringinya. Yang harap diingat adalah jangan sampai salah
satu saling menguasai. Industrialisasi Religiusitas akan mengeliminir substansi
religi itu sendiri.Mungkin akan menjadi harapan ke depan jika perpaduan
keduanya menjadikan Industri menjadi lebih religius. Yakni persaingan bebas
yang tetap beretika, mengedepankan keadilan, kemakmuran bersama, yang kuat
membantu dan melindungi yang lemah dan pemerataan kemakmuran akan terwujud
bersama spiritualitas yang terjaga.
f.
Islamic
Consumption Be One Of Syariah Marketing Strategy
Paradigma Islam tidak
lagi menjadi sebuah wacana yang diperdebatkan[18]
banyak pihak. Dari kalangan sarjana Muslim berhaluan neo-modernis seperti
dipelopori oleh Fazlur Rahman dan Parvez Hoodhboy yang menentang apresiasi
gagasan Islamisasi sains(ekonomi) yang dilakukan oleh Ismail Raji al Faruqi dan
para pendukungnya. Namun, dalam kenyataanya kini ekonomi Islam eksis dan mampu
menunjukkan co eksistensi yang bagus ditengah-tengah percaturan ekonomi global.
Ilmu ekonomi Islam bahkan dipandang mampu menunjukkan kekuatan transformatifnya
dalam mewarnai perkembangan realitas ekonomi modern. Karena itu tidak
mengherankan jika ilmu dan praktek ekonomi Islam memperoleh apresiasi yang semakin
luas, tidak saja dari lingkungan masyarakat dan yang mayoritas masyarakat
muslim tetapi juga di negara-negara Barat yang Islamnya minoritas.[19]
Dengan semakin
meningkatnya Islamic consumption trend belakangan ini, penulis mencoba
menganalisis masalah tersebut dengan menggunakan 3 paradigma sebagaimana hal
ini ditawarkan oleh Harmawan Kartajaya dalam bukunya” Syariah Marketing”dalam
dunia ekonomi yaitu:
1. Syariah Marketing Strategy
Goal yang
ingin dicapai dalam syariah marketing strategy ini adalah untuk memenangkan mind-share.
Pertama kali yang harus dilakukan dalam mengeksplorasi pasar yang kerap
berubah adalah melakukan segmentasi sebagai mapping strategy. Dalam
menentukan segmentasi, sudah seharusnya kita mempunyai suatu definisi pasar
yang jelas, besar ukuran pasar (market size), pertumbuhan pasar(market
growth), keunggulan kompetitif(competitive advantage), situasi
persaingan (competitive situation) dan kemudian kita memilih target
market mana yang akan dijadikan prioritas utama untuk produk atau servis kita
berdasarkan kompetensi yang kita miliki dan peluang yang dapat diraih.[20]
Dengan
melihat kondisi masyarakat sekarang ini, dampak adanya globalisasi yang kian
merambah ke semua wilayah terutama bidang ekonomi dan adanya keprihatinan
masyarakat terhadap kondisi sosio-politik dan ekonomi yang sangat dirasakan
oleh masyarakat bawah bahkan menengah keatas, maka banyak dari mereka yang
mengalami titik jenuh terhadap perubahan yang sedang terjadi sehingga merekapun
melarikan diri ke dalam wilayah suci yang tidak bisa diganggu gugat. Diantara
mereka banyak yang menjadikan wilayah agama sebagai the best of solution dalam
menyelesaikan segala masalah yang saat ini dianggap meresahkan. Dengan melihat
realitas yang seperti itu maka muncullah strategi, ide atau gagasan untuk
menggait agama sebagai bagian dari partner mereka dalam mengembangkan usahanya,
sehingga Islamic consumption trend pun kian menjadi solusi yang menentramkan,
bak narkotika yang memberikan candu. Kita lihat dimasyarakat terutama
dikalangan elit politik maupun para selebritis negeri ini yang sedang dirundung
masalah, maka peluang emas seperti ini digunakan oleh para pebisnis untuk
menawarkan iming-iming berupa Umrah/wisata religi. Begitu pintarnya para
pengusaha mengemas bisnis travelling sebagai strategi untuk mendapat kan
peluang yang apik dengan mengemas agama
menjadi barang komoditas.
2. Syariah Marketing Tactic
Setelah
menyusun strategi maka selanjutnya kita harus menyusun taktik untuk memenangkan
market share. Setelah mempunyai positioning yang tepat dan jelas dibenak
masyarakat maka perusahaan pun harus memiliki taktik agar memiliki tampilan
berbeda dengan perusahaan lain yang sejenis. Di sinilah diperlukan creation
tactic agar menarik minat masyarakat. Misalkan dengan bisnis biro Umrah
disertai dengan paket travelling ke tempat-tempat yang paling diminati
masyarakat pada saat itu sehingga nilai ibadah dan refrehing nya pun didapat
kan oleh pelanggan.
3. Syariah Marketing Value
Perlu
diketahui bahwa semua strategi dan taktik yang sudah dirancang penuh
perhitungan tidak lah berjalan dengan baik bila tidak disertai dengan value
dari produk atau jasa yang ditawarkan
untuk memenangkan heart-share. Pelanggan biasanya mementingkan manfaat
atau value apa yang didapat (Kartajaya:2006, 146).
g.
Religious
Commodification
Dalam sebuah diskusi tentang
penggunaan ruang publik, D'Alisera sebagaimana penulis mengutip dalam buku Religious
harmony membahas tentang penggunaan komoditas agama Islam di negara-negara
bersatu dengan warga Sierra Leon dari washington, DC. Dalam konteks tersebut
agama menjadi cara bagi individu untuk mencari dan mengidentifikasi pedagang
sesama muslim, membangun komunitas lioneans sierra yang dikenali, dan sekaligus
untuk mensyiarkan firman Allah untuk non muslim. Berbeda dengan kasus yang
terjadi di Indonesia karena muslim di Indonesia adalah mayoritas, penggunaan
agama sebagai komoditas tidak untuk mengidentifikasi muslim, misalkan memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam ruang
publik. Pembelian dan penjualan komoditi menggabungkan proses sosialisasi yang
mencakup baik pembeli dan penjual. Dalam konteks ini, komoditas agama dapat
dilihat sebagai proses dimana pasar ekonomi sosial menggunakan ideologi agama.
Selanjutnya proses ini ternyata menjadi komoditas kesalehan, dimana agama
menjadi sesuatu yang bisa dibeli dan dijual. Dalam pembahasannya tentang
komoditas agama di cairo mesir Gregory Starrett membahas hubungan antara pemilik
sebuah bisnis yang semata-mata berkaitan dengan penjualan barang-barang yang
bernuansa religius dan mereka merasa tenang ketika sudah mengkhususkan. Hal ini
dianggap penting untuk mengingat bahwa komoditas agama yang dijual bersamaan
dengan komoditas lainnya . [21]
Komodifikasi agama merupakan konstruksi
historis dan kultural yang kompleks, sekalipun demikian ciri komersial mereka
begitu nyata. Mereka direproduksi dalam konteks kebudayaan tertentu dan
kemudian mempersyaratkan kerangka kultural untuk mempertegas signifikansi
simbolik dan sosio-ekonomi mereka. Komodifikasi merupakan sebuah proses yang
benar-benar diciptakan dan disertakan dalam saluran ekonomi pasar lokal-global
dan ledakan agama postmodern. Komodifikasi memang tidak bertujuan memproduksi
bentuk dan gerakan agama baru yang berlawanan dengan keyakinan dan praktik
agama sebelumnya,[22]
namun komodifikasi akan mendudukkan agama
sebagai barang yang melaluinya fungsi spiritual agama menjadi komoditas yang
layak dikonsumsi dalam masyarakat.
Secara praktis, yang dimaksudkan dengan
komodifikasi agama adalah transformasi nilai guna agama—sebagai pedoman hidup
dan sumber nilai-nilai normatif yang berlandaskan pada keyakinan
ketuhanan—menjadi nilai tukar, dengan menggunakan fungsi-fungsi ini disesuaikan
dengan kebutuhan manusia atas agama. Proses komodifikasi agama ini akan
berjalan mulus dalam kondisi agama yang telah terprivatisasi dimana setiap
orang memiliki otoritas untuk menentukan sendiri pola beragama yang akan
dijalankannya.
Secara teoritis, komodifikasi agama membuat
kita mendefinisikan ulang agama sebagai komoditas pasar untuk dipertukarkan.
Hal ini lebih jauh diperluas dengan koneksi transnasional organisasi keagamaan
dan jaringan pasar. Dalam perspektif Habermas, peningkatan komodifikasi hidup—termasuk
kebudayaan dan agama—oleh korporasi raksasa mengubah manusia dari masyarakat
rasional menjadi masyarakat tidak-rasional. Ia benar-benar
melihat hal ini sebagai sebagai indikasi bahwa kehidupan kita sehari-hari telah
dijajah oleh ‘system imperatives.[23]
1.
Tele_Dakwah :Fenomena Baru
di Indonesia
Globalisasi
telah membawa peningkatan konsumsi oleh masyarakat Indonesia ditengah-tengah budaya yang sedang populer.
Diantaranya masalah makanan, fashion dan hal-hal lain yang bersifat menghibur
dan menyenangkan(fun) adalah salah satu budaya Barat yang kian merambah populer
masuk ke budaya kita. Selain itu dunia perfilm an nampaknya sudah banyak
dipengaruhi oleh Barat. Sementara American Idol muncul sebagai acara tv yang sangat populer
di america, di Indonesia pun acara semacam itu
terorganisir dengan baik distasiun tv dengan menggunakan istilah Indonesian
idol. Untuk para pemirsa di Indonesia, jika seseorang tidak menonton dan
tidak mengikuti perkembangan Indonesian Idol dapat dianggap sebagai orang yang
tidak bersaing dengan produk terbaru dari budaya global.
Globalisasi
ini kemudian mempengaruhi cara orang mengkonsumsi ajaran agama mereka serta
bagaimana ajaran agama harus ditransmisikan kepada mereka. Jika sebelumnya
seseorang harus menghadiri sebuah forum
khusus untuk mempelajari ajaran agama, seperti masjid, sekarang masyarakat
cukup hanya duduk di depan tv melihat
pengajian yang disajikan oleh para da’i. Dengan metode belajar yang seperti
ini, mereka dapat menghemat energi dan yang lebih penting lagi mereka tidak
diharuskan untuk kontak tatap muka (face to face) dengan da’i dan jamaah lain dalam sebuah majlis. Sebagai
konsekuensinya, kontak sosial tampaknya menjadi semakin kurang dan bahkan
dianggap tidak penting.
Fakta bahwa tele-dakwah Islam mengharuskan seseorang untuk mencurahkan lebih sedikit energi dan lebih sedikit kontak sosial antara mereka ternyata lebih banyak diminati banyak orang dan kian populer sehingga fenomena ini lebih dikenal dengan istilah "televangelism Islam". Alasannya sangat sederhana, bahwa untuk bertahan dalam krisis ekonomi di era pasca rezim Suharto, orang saat ini menjadi semakin sibuk dan ini membuat mereka lebih memilih sebuah forum keagamaan yang dapat menghemat energi dan waktu untuk orang lain. Meskipun demikian, kerugian tentu saja muncul sejauh televangelism Islam tidak bisa menunjukkan kompleksitas interaksi dan komunikasi antara da’i sebagai penghasil ide-ide keagamaan dan penonton sebagai konsumen (Mernissi: 1992,23). Dengan kata lain, psiko-sosiologis kompleksitas ajaran Islam tidak bisa ditampilkan oleh televangelism Islam. Akibatnya, televangelism Islam hadir tidak lebih dari aspek kognitif dari ajaran agama, sementara yang afektif dan psikomotorik yang pasti akan diperlukan untuk memproduksi praktik keagamaan akan terkendala oleh ruang dan waktu jika orang Islam hanya terbatas menikmati televangelism Islam (Kitiarsa: 2008, 210).[24]
Fakta bahwa tele-dakwah Islam mengharuskan seseorang untuk mencurahkan lebih sedikit energi dan lebih sedikit kontak sosial antara mereka ternyata lebih banyak diminati banyak orang dan kian populer sehingga fenomena ini lebih dikenal dengan istilah "televangelism Islam". Alasannya sangat sederhana, bahwa untuk bertahan dalam krisis ekonomi di era pasca rezim Suharto, orang saat ini menjadi semakin sibuk dan ini membuat mereka lebih memilih sebuah forum keagamaan yang dapat menghemat energi dan waktu untuk orang lain. Meskipun demikian, kerugian tentu saja muncul sejauh televangelism Islam tidak bisa menunjukkan kompleksitas interaksi dan komunikasi antara da’i sebagai penghasil ide-ide keagamaan dan penonton sebagai konsumen (Mernissi: 1992,23). Dengan kata lain, psiko-sosiologis kompleksitas ajaran Islam tidak bisa ditampilkan oleh televangelism Islam. Akibatnya, televangelism Islam hadir tidak lebih dari aspek kognitif dari ajaran agama, sementara yang afektif dan psikomotorik yang pasti akan diperlukan untuk memproduksi praktik keagamaan akan terkendala oleh ruang dan waktu jika orang Islam hanya terbatas menikmati televangelism Islam (Kitiarsa: 2008, 210).[24]
Meskipun banyak kekurangan dan
kelemahan, namun kenyataanya televangelism
Islam kian populer dan masyarakat muslim merasa enjoy dengan sajian
tersebut. Bahkan ada program khusus yang tengah berkembang yang dijalankan oleh
sebuah stasiun tv swasta yang berusaha
untuk menemukan sosok idola Da’i melalui metode audisi layaknya acara
Indonesian Idol dan Akademi pelawak Indonesia yang sedang ramai digandrungi
oleh pemirsa. Dalam menjalankan program tersebut acara dakwah Agama Islam (DAI)
atau idola da’i , TPI(MNCTv) salah satu stasiun tv penyelenggara telah
melakukan sejumlah sesi audisi untuk seseorang yang dianggap mampu bertahan
diacara tersebut sampai pada putaran terakhir dari program ini, yang akan
disiarkan secara nasional , di sejumlah ibu kota provinsi di Indonesia seperti
jakarta, bandung, semarang dan surabaya. Mereka yang akan ambil bagian dalam
sesi audisi adalah da’i muda yang potensial,
yang memiliki keterampilan komunikasi yang sangat baik.
Dapat dikatakan bahwa adanya
globalisasi melalui perluasan media dan teknologi informasi telah menyebabkan
bidang dakwah menjadi berkembang dan berubah. Sejumlah da’i dengan dibantu
media dan kemampuan dalam komunikasi massa yang baik akan mendapatkan respon
yang positif dan respon yang besar dari penonton meskipun mereka tidak memiliki
latar belakang pesantren tradisional. Alhasil
televangelism Islam tampaknya menjadi program favorit di banyak
saluran tv Indonesia. Peringkat jenis acara tv dengan muatan sisi agama telah
terbukti mendapat rating tinggi. Setelah
mendapat respon yang baik dari penonton, agama kemudian telah menjadi komoditas baru dalam
globalisasi Indonesia.
Sebagai bukti bahwa agama kini telah menjadi komoditas baru, hampir tidak ada hari untuk program tv hari selama seminggu yang tanpa televangelism Islam, seperti ditunjukkan di atas. Orang bahkan dapat melihat siaran program televangelism Islam dengan cara yang sama, seperti program acara Aa Gym, ustadz Jefry Al Bukhory, ustadz Solmed beberapa kali dalam satu hari di saluran tv yang berbeda. Dalam rangka untuk melihat lebih dekat bagaimana perubahan pandangan sosiologis dakwah yang telah terjadi dan bagaimana dakwah telah menjadi tempat komoditas dalam konteks lokal. Berikut penulis membahas juga fenomena lain terkait dengan perkembangan dakwah belakangan ini.
Sebagai bukti bahwa agama kini telah menjadi komoditas baru, hampir tidak ada hari untuk program tv hari selama seminggu yang tanpa televangelism Islam, seperti ditunjukkan di atas. Orang bahkan dapat melihat siaran program televangelism Islam dengan cara yang sama, seperti program acara Aa Gym, ustadz Jefry Al Bukhory, ustadz Solmed beberapa kali dalam satu hari di saluran tv yang berbeda. Dalam rangka untuk melihat lebih dekat bagaimana perubahan pandangan sosiologis dakwah yang telah terjadi dan bagaimana dakwah telah menjadi tempat komoditas dalam konteks lokal. Berikut penulis membahas juga fenomena lain terkait dengan perkembangan dakwah belakangan ini.
Khutbah jum’at dianggap sebagai media
dakwah, produksi dan konsumsi ajaran Islam untuk para umatnya. Hal ini
bisa dilihat pada khutbah jumat yang disampaikan mingguan di setiap shalat
Jumat. Dalam pengertian umum, seorang muslim diwajibkan untuk menghadiri
shalat ini dan untuk mendengarkan
khotbah yang merupakan bagian dari proses ritual shalat jum’at. Shalat Jumat
merupakan kesempatan terbesar untuk umat muslim untuk berkumpul di tempat
tertentu (masjid) dalam setiap minggunya. Oleh karena itu, khutbah jum’at
dirasa sebagai media yang sangat signifikan dan efektif bagi kehidupan muslim.
Beberapa dari mereka ada yang bertindak sebagai khatib untuk menyampaikan dan
menyebarkan ide-ide dari ajaran Islam dan jamaah yang lain untuk mendengarkan
dan menerima gagasan tersebut.[25]
Sejauh adanya karakteristik tentang dakwah,
dapat diambil kesimpulan tentang adanya model produksi dan konsumsi
Islam oleh umat muslim sendiri. Variasi dalam produksi dan konsumsi Islam
direpresentasikan oleh adanya khutbah yang disampaikan oleh kalangan akademisi. Lebih penting lagi
variasi ini menimbulkan perbedaan tidak hanya bagaimana cara Islam ini
diproduksi dan dikonsumsi oleh umatnya, sebagaimana dijelaskan di atas, tetapi
juga dalam hal-hal mengenai modal ekonomi dan identitas kelas sosial. Berdasarkan
fakta ini, dapat dikatakan bahwa Islam telah menjadi komoditas simbolis untuk
Muslim baik secara intelektual dan materialistis. Universitas berbasis
dakwah menggunakan khutbah Jumat sebagai
media tidak hanya untuk transmisi islam ke ruang publik sebagai realisasi
intelektual sesuai dengan bidang mereka, tetapi ironisnya khutbah jumat juga
dijadikan sebagai ajang untuk mengumpulkan kekayaan dan untuk meningkatkan
status sosial mereka,[26] Sehingga tidak asing ketika dimasjid-masjid
kampus berlabel Islam akan sulit ditemui dosen-dosen yang menjalankan shalat
jumat dikampus karena mereka sudah disibukkan dengan jadwal padat khutbah jumat diberbagai tempat.
2.
Halalisation
:Fenomena di Malaysia
Malaysia terus berbenah. Sejumlah inovasi muncul dari negara berumpun
Melayu seperti Indonesia itu. Yang terbaru adalah gebrakan mereka membuat
jaringan produk halal internasional. Artinya semua produk yang masuk ke
Malaysia harus halal, bahkan mereka juga membangun jaringan tingkat
internasional. Yang menjadi pertanyaan, ternyata mereka berani membuat gebrakan
di tengah arus pasar yang kian
mengglobal. Transformasi yang paling
signifikan selama tiga (3) dekade terakhir di
malaysia adalah terkait dengan ketersediaan
komoditi massa. Semua
aspek kehidupan sehari-hari untuk
Malaysia dipengaruhi
oleh munculnya berbagai
macam komoditas. Tidak
mengherankan, ketersediaan komoditi
massa ini telah menghasilkan kesenjangan
dan perbedaan antara orang
yang mampu membeli dan mereka
yang tidak mampu untuk melakukannya. Dalam
domain perumahan,
transportasi dan komunikasi, bahan
makanan, pakaian dan pola hidup sahri-hari mengalami
perubahan yang sangat radikal. Dengan
melihat gejal-gejala tersebut maka malaysia pun membuat strategi baru dengan
mengambila langkah halalisation. Halalisation merupakan proses untuk upaya
nasionalisasi Islam sebagai bentuk pemahaman terhadap konsumsi islam.[27]
Setidaknya upaya strategi
halalisation di malaysia adalah untuk mencari keaslian dan identitas komoditas. Pertama, pencarian
dikaitkan dengan upaya untuk status materi dan mobilitas sosial melalui praktek
konsumsi. Kedua, memanifestasikan
komoditas dengan label halal dan apakah
komoditas tersebut bersertifikat oleh negara atau tidak. Kedua tujuan tersebut
sebenarnya bermaksud untuk menyajikan komoditas dengan berbagai kualitas ganda
intrinsik, misalnya apakah komoditas tersebut mengandung kesucian-kenajisan,
halal-haram, familier-asing atau keseimbangan-berlebihan. Ini sebagai
upaya pemetaan dari dimensi moral, agama
dan sosial dari praktek konsumsi sehari-hari dan memberikan panduan pada
masyarakat dalam memilih konsumsi sehari-hari.
Langkah Malaysia yang memelopori jaringan produk halal internasional
itu, misalnya
menunjukkan betapa mereka dengan percaya diri menunjukkan jati dirinya sebagai
negara Islam. Mereka terlihat tidak takut dengan Islam fobia yang saat ini begitu
gencar dikampanyekan negara-negara maju.
C. Penutup
Kini Islamic consumption trend menjadi bagian yang terelakkan, setidaknya merupakan sisi berkah dan sisi
musibah dari adanya globalisasi. Penulis menganalisa hal tersebut dari berbagai
sudut pandang yang berbeda. Dari aspek paradigma, barangkali memang mulai
terjadi pergeseran paradigma dari rasional ke emosional hingga spiritual. Dari
aspek ilmu ekonomi islamic consumption trend menjadi salah satu upaya
strategi marketing. Kemudian dari kaca mata agama, hal tersebut sebagai
pertanda bahwa Islam sebagai agama mulai terkikis sisi sakralitasnya dan agama
mulai kehilangan substansinya, karena adanya dampak privatisasi agama sehingga
agama jadi komoditas yang bisa laris untuk diperjual belikan. Mengutip dari apa
yang pernah disampaikan oleh Prof. Taufik Abdullah bahwa secara teoritis bisa dikatakan bahwa
globalisasi mempunyai kecenderungan
untuk melemahkan agama, tetapi disisi lain fenomena ini akan semakin
mengentalkan keterikatan pada agama. Pada dasarnya industri dan religi bisa
bergandengan tangan dalam menghadapi maraknya globalisasi dan tentunya dengan
etika-etika yang sesuai dengan syari’at.
Semoga
Bermanfaat !
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan, 2007,
Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Yogjakarta: Pustaka Pelajar
Abdullah, Taufik,2011, Agama dan Masalah Integrasi Bangsa: Tantangan dan
Harapan, Artikel disampaikan pada Annual conference on Islamic studies
ke-11 di Bangka Belitung.
Arifin, Syamsul, 2003., Islam
Indonesia:Sinergi membangun Civil Islam dalam bingkai keadaban demokrasi, Malang:UMM
Press.
Fischer,
Johan,2008, Proper Islamic
Consumption: shopping among the malays in modern malaysia, Malaysia:
NIAS Press.
Kartajaya, Hermawan & Muhammad Syakir Sula,2006, Syariah Marketing, Bandung:
Mizan Pustaka.
Muhammad, 2007, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam, (Yogjakarta:
Graha Ilmu.
Pattana Kitiarsa (ed.),2008, Religious
Commodification in Asia: Marketing Gods,
London: Routledge.
Pye,
Michael, 2006, Religious harmony vol.45, Berlin: Walter de Gruyter.
Stückelberger, Christoph, 2005, Globalance: Christian perspectives on globalisation with a human face. Summary, (Switzerland: Länggass Druck AG, Berne.
Tveit , Olav Fykse The Church and Economic Globalisation (Oslo:
Church of Norway Council on Ecumenical and International Relations, 2007)
Chris
Suryohadiprodjo, 2011,KOMPAS Opini:
Industrialisasi religiusitas.
Zulfadli, Agama, Pasar dan Gaya Hidup Masyarakat, Padang:
PKSKP, 2011 http://padangekspres.co.id/?news=nberita&id=781
[1] Penulis adalah alumni program pascasarjana konsentrasi Ilmu Falak di IAIN Walisongo dan saat ini tercatat sebagai mahasiswa program
Doktor dengan konsentrasi Islamic studies di IAIN Walisongo Semarang dan asal rekomendasi dari STAIN Ponorogo dan berstatus sebagai Dosen luar biasa (DLB) pada lembaga tersebut.
[2]
Arifin, Syamsul, Islam Indonesia:Sinergi
membangun Civil Islam dalam bingkai keadaban demokrasi, (Malang:UMM Press,
2003), 93.
[3]
Stückelberger, Christoph, Globalance: Christian
perspectives on globalisation with a human face. Summary, (Switzerland: Länggass
Druck AG, Berne, 2005), 1.
[4]
Tveit
, Olav Fykse The
Church and Economic Globalisation (Oslo: Church of Norway Council on Ecumenical and International Relations, 2007), 8.
[5]
Pye, Michael, Religious
harmony vol.45, (Berlin: Walter de Gruyter, 2006),294.
[6]
Ibid, 295.
[7]
Ibid, 292.
[8]
Ibid, 291.
[9] Terdapat terminologi pasar syariah disebut dengan pasar yang emosional(emotional
market), sedangkan pasar konvensional adalah pasar yang rasional (rasional
market).
[10] Kartajaya, Hermawan & Muhammad Syakir Sula,
Syariah Marketing,(Bandung: Mizan Pustaka, 2006), 4.
[11]
Ibid, 8.
[13]
Ibid, 116.
[14] Ibid, 118.
[16] Zulfadli, Agama, Pasar dan Gaya Hidup
Masyarakat, Padang: PKSKP, 2011 http://padangekspres.co.id/?news=nberita&id=781
[18]
Jika postivitisme hanya mengenal realitas materi, maka
paradigma Islam mengenal realitas materi dan realitas lain (the others)
yang melampaui matrealisme yaitu realitas spiritualitas. Paradigma Islam tidak
dapat menerima dikotomi antara matrealisme dan spiritualisme, nominalisme, dan
realisme serta objektifisme dan subjektivisme (Muhammad, Prinsip-prinsip
Ekonomi Islam, (Yogjakarta: Graha Ilmu, 2007), 24.
[20] Kartajaya, Hermawan & Muhammad Syakir
Sula, Syariah Marketing, (Bandung: Mizan Pustaka, 2006), 144.
[21]
Pye, Michael, Religious Harmony, 307.
[22] Kitiarsa, Pattana
(ed.), Religious
Commodification in Asia: Marketing Gods, (London:
Routledge, 2008),1.
[23] Zulfadli, Agama, Pasar dan Gaya Hidup
Masyarakat, Padang: PKSKP, 2011 http://padangekspres.co.id/?news=nberita&id=781
[25]
Ibid, 212.
[26]
Ibid, 218.
[27] Fischer, Johan, Proper Islamic
Consumption: shopping among the malays in modern malaysia, Malaysia:
NIAS Press, 2008), 74.