Hukum Islam;
Studi Pemikiran Mahmud Syaltut
A. Pendahuluan
Mahmud Syaltut yang
hidup antara tahun 1893-1963 M adalah salah seorang ulama Mesir yang
berpandangan luas dan berpengetahuan mendalam dalam bidang keagamaan. Latar
belakang Syaltut adalah seorang yang berpendidikan agama tradisional namun
memiliki wawasan dan pembaharuan yang monumental pada masanya.[1]
Meskipun dalam
literatur kesarjanaan Barat kurang dikenal, Syaltut merupakan Syaikh al-Azhar
yang populer dan hingga kini namanya masih dikenal oleh kaum terpelajar muslim
di segenap penjuru dunia. Sebagai seorang ulama dan pemikir, Syaltut memiliki
pemikiran yang relevan untuk perkembangan kehidupan umat pada zamannya. Ia
seorang ahli fikih dan berwawasan luas, kedalaman ilmunya dan keluasan
pandangannya menyebabkannya mampu mengemukakan hukum Islam yang relevan dengan
kebutuhan zamannya. Di samping memiliki pandangan yang luas dalam hukum Islam,
ia juga seorang ahli tafsir yang melakukan penafsiran langsung kepada al-Qur’an
dengan mengumpulkan ayat-ayat tentang suatu masalah, lalu ayat tersebut
dijadikan jawaban atas permasalahan tersebut. Dalam hal ini ia dipandang
sebagai pelopor metode tafsir maudhu’i, metode tafsir yang dianggap
paling banyak sumbangannya dalam menangkap pesan al-Qur’an untuk menjawab
problem kemanusiaan modern.[2]
Syaltut selalu
berusaha memberantas kekakuan atau kebekuan dalam berfikir dan fanatisme mazhab
yang menjadi perpecahan umat Islam. Dengan membuka kembali pintu ijtihad, ia
menganjurkan para ulama untuk ijtihad langsung pada al-Qur’an, karena
menurutnya ada ayat al-Qur’an yang menunjukkan hukum secara tidak tegas (zanni
ad-dalalah) sehingga dapat dipahami dengan berbagai macam penafsiran.[3]
Pemikiran-pemikirannya
tentang ilmu-ilmu keislaman tertuang dalam beberapa karyanya sebagai berikut:
1. Al-Fatawa, merupakan sebuah koleksi fatwanya yang dikelompokkan dalam
beberapa bahasan; 2. Al-Islam Aqidah wa Syariah, yang sebagian besar
menyoroti tentang syariah yang membahas berbagai topik hukum serta
sumber-sumber hukum Islam; 3. Min Tawjihad al-Islam, memuat
tentang berbagai artikel dan tulisan mengenai topik-topik Islam yang beragam;
4. Al-Qur’an wa al-Mar’ah (al-Qur’an dan wanita); 5. Fiqh al-Qur’an
wa as-Sunnah (Memahami al-Qur’an dan Sunnah); 5. Al-Qur’an wa al-Qital (al-Qur’an
dan peperangan); 6. Kitab Muqaranah al-Mazahib (Perbandingan Mazhab); 7.
Al-Mas’uliyyah al-Madaniyyah (Tanggung jawab Perdata dan Pidana Dalam
Hukum Islam); 8. Al-Islam wa al-wujuh ad-Duali li al-Islam (Islam dan
Eksistensi Agama bagi Islam); 9. Tanzim al-‘Alaqah ad-Dualiyyah fi al-Islam (Pengaturan
Hubungan Internasional Dalam Islam); 10. Tanzim al-Nasl (Keluarga
Berencana) .[4]
Mengingat latar
belakang Mahmud Syaltut yang demikian menarik kiranya untuk mengungkap
pemikirannya seputar hukum Islam, khususnya tentang dinamisasi ijtihad terhadap
permasalahan aktual pada masa itu. Namun sebelum mengkaji beberapa permasalahan
hukum hasil ijtihad Mahmud Syaltut terlebih dulu mengupas sumber-sumber hukum
yang dia gunakan, sebab melalui sumber hukum inilah yang menjadi dasar ijtihad
yang dia tempuh.
B. Sumber Hukum Islam Menurut Mahmud Syaltut
Berbeda dengan
kesepakatan ulama klasik yang menjelaskan tentang urutan sumber hukum terdiri
dari al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Mahmud Syaltut menampilkannya dalam
tiga sumber saja, yaitu: al-Qur’an, Sunnah, dan Ra’yu. Sedangkan Ijma’ dan
Qiyas menurut Mahmud Syaltut dimasukkan dalam kategori Ra’yu.[5]
1)
Al-Qur’an
Sebagai sumber
hukum yang pertama, al-Qur’an memuat ayat-ayat hukum yang relatif sedikit dan
sangat terbatas jumlahnya. Dengan keterbatasannya itu jelas tidak memuat
permasalahan-permasalahan yang baru (laisa muta’akhiran fi kulli ma ja a min
ahkam). Karena komunitas Arab yang disapa al-Qur’an pun telah memiliki
tradisi dan norma yang dirujuk dalam kehidupannya. Ayat-ayat ini hanyalah
berfungsi sebagai konfirmasi, modifikasi, abolisi, dan baru legislasi (aqarra,
hadzdhaba, alqha, dan yadullu). Sikap al-Qur’an ini menurut Syaltut
didasarkan kepada semangat ajaran al-Qur’an untuk selalu mengelola kesejahteraan
manusia, mewujudkan keadilan, dan memelihara hak-hak manusia. Oleh karenanya,
kehadiran Islam tidaklah menghancurkan unsur-unsur yang telah tertanam dalam
kehidupan komunitas suatu masyarakat.[6]
Kandungan hukum
yang dalam al-Qur’an tidak semuanya disampaikan dengan menggunakan
lafadh-lafadh yang jelas dan pasti maknanya, namun adakalanya ayat itu tampil
dalam bentuk yang memerlukan pemahaman seksama. Model
yang pertama dikualifikasikan sebagai ayat-ayat qath’i yang tidak menjadi
wilayah ijtihad. Sedangkan model
yang kedua membutuhkan otoritas penjelasan yang dalam hal ini diperankan oleh
Sunnah. Namun demikian karena zaman terus berganti dengan segala konsekuensi
perubahannya, secara tekstual al-Qur’an berikut Sunnahpun tidak lagi menyentuh
dinamika perubahan tersebut. Menurut Syaltut, melalui bingkai kaedah-kaedah
universal (Qawaid al-Kulliyah) dan tujuan-tujuan umum (Maqashid
al-Ammah), ijtihad terhadap permasalahan-permasalahan baru harus dilakukan.[7]
2)
Sunnah
Menurut pandangan
Syaltut, muatan hukum yang terkandung dalam Sunnah memiliki fungsi sebagai
berikut; pertama, menjelaskan kemujmalan al-Qur’an, mentakhsis keumuman
al-Qur’an, memberi batasan (taqyid) makna mutlaq al-Qur’an, dan secara
mandiri menjelaskan tentang ibadah, halal dan haram, akidah, dan akhlak.
Peraturan hukum yang terkandung dalam Sunnah yang demikian itu berlaku abadi. Kedua,
menjelaskan perilaku Nabi saw sebagai pemimpin umat Islam yang ditampilkan
dalam bentuk kepemimpinan Nabi, misalnya dalam hal mengatur pemeritahan,
mengangkat hakim dan gubernur, membagi ghanimah, melaksanakan berbagai
perjanjian-perjanjian, menjadi pemimpin perang, dan permasalahan-permasahan
publik lainnya. Sunnah jenis ini tidak menjadi peraturan hukum yang berlaku
umum. Ia hanya tasyri’ khas yang hanya dijalankan lewat petunjuk Imam. Ketiga,
menjelaskan perilaku Nabi saw sebagai hakim yang memutuskan berbagai
perkara. Sebagaimana halnya jenis Sunnah yang kedua, jenis yang ketiga inipun
hanya bernilai tasyri’ khas yang hanya bisa berlaku lewat
petunjuk Imam.
Berdasarkan
pejelasan di atas, aspek hukum yang terkandung dalam Sunnah memuat unsur-unsur
berikut:Pertama, akidah yang membedakan antara Iman dan kufur,
sifat-sifat Allah, Rasul-rasul, wahyu dan hari akhir;Kedua, akhlak yang
berisi pesan-pesan moral dan kebijaksanaan; Ketiga, hukum-hukum praktis
(al-Ahkam al-‘Amaliyah) yang berkaitan dengan peraturan-peraturan
ibadat, mengurusi masalah muamalah, pemerataan hak dan keadilan hukum di antara
manusia.[8]
Unsur yang ketiga inilah Sunnah
dikategorikan sebagai sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an. Sedangkan hukum-hukum yang diperoleh dari hadits ini
disebut sebagai fiqhus sunnah . Sebagaimana halnya fiqhul qur’an diistilahkan
untuk hukum-hukum ibadah dan muamalah yang diistinbatkan dari ayat-ayat
al-Qur’an. Berkaitan dengan hal ini Syaltut mengatakan bahwa hukum-hukum amali
yang berkaitan dengan seputar permasalahan kemanusiaan baik sebagai individu
maupun masyarakat diselesaikan dengan mengambil secara langsung dari al-Qur’an
dan Sunnah.[9] Ini diungkapkan ketika Syaltut memperkenalkan fiqhul
qur’an dan fiqhul sunnah sebagai metode ijtihad.
3)
Ra’yu
Mahmud Syaltut tidak mendefinisakan secara jelas apa yang
dimaksud ra’yu. Namun dengan menggunakan pendekatan historis, Syaltut
mengedepankan bukti bahwa ra’yu telah dipraktekkan sejak masa Rasul saw.
kemudian pada masa Sahabat realisasi ra’yu muncul dalam dua bentuk; pertama,
bentuk ijma’ yang mekanismenya dilakukan melalui musyawarah yang diwakili oleh
para tokoh otoritatif (ulul amri).
Kedua, bentuk fardi yang mekanismenya dikemukakan dengan menggunakan
kebebasan pendapat bagi individu.[10]
Menurut Syaltut,
ijma’ yang menjadi bagian dari ra’yu yang dapat dijadikan sumber hukum adalah
kesepakatan para ahli pikir terhadap berbagai macam kasus yang dibahas oleh
para tokoh Syura berdasarkan pertimbangan kemaslahatan manusia. Keputusan
hukum yang dihasilkan oleh ijma’ dapat dihapus oleh kesepakatan ijma’ yang
datang kemudian. Ini didasarkan pada
logika penentuan adanya maslahat yang berkaitan dengan suatu permasalahan bisa
berbeda berdasarkan perbedaan waktu, tempat, dan kondisi.[11]
Sedangkan ijtihad fardi terbuka bagi siapa saja dari
kalangan umat Islam yang memiliki kualifikasi dibidang penelitian hukum.[12] Meskipun Syaltut tidak menyebutkan secara khusus model
ra’yu dalam metodologinya selain ijma’, namun dalam fatwa-fatwanya ditemukan
bahwa ra’yu yang dimaksud adalah qiyas dan maslahah mursalah. Berkaitan dengan
permasalahan-permasalahan baru yang menuntut pemecahan hukumnya, Syaltut
mengatakan bahwa ketiga sumber itu harus dioperasionalkan dengan menggunakan
skala prioritas. Jika ayat-ayat al-Qur’an dapat mencakup kasus tersebut, maka
ayat tersebut yang diberlakukan. Jika tidak dijumpai baru menggunakan Sunnah.
Sedangkan ra’yu digunakan sebagai pilihan terakhir dalam mencari ketentuan
hukum dan tidak terpisahkan dari semangat kedua sumber di atas.[13]
C. Ijtihad Mahmud Syaltut
Terdapat berbagai
macam rumusan yang dikemukakan ulama berkaitan tentang ijtihad. Namun dari
rumusan-rumusan tersebut dapat diambil beberapa esensi yang menjadi syarat bagi
terwujudnya ijtihad, yaitu: pertama, ijtihad merupakan upaya pencurahan
kemampuan secara maksimal yang dilakukan oleh ulama; kedua, tujuan
ijtihad adalah untuk mendapatkan kepastian hukum yang sifatnya zanni; ketiga,
ijtihad dilakukan terhadap hukum yang sifatnya amali; keempat, dilakukan
dengan melalui istinbat; kelima, obyek ijtihad hanyalah dalil-dalil yang
zanni atau yang tidak ada dalilnya sama sekali.[14] Berdasarkan prinsip-prinsip inilah ijtihad dilakukan,
sebagaimana halnya dapat kita lihat dari berbagai macam ijtihad Mahmud Syaltut
terhadap berbagai macam permasalahan aktual yang terjadi pada masanya.
1)
Masalah Poligami
Masalah poligami
menjadi perhatian Mahmud Syaltut ketika dia menjumpai pandangan masyarakat
Mesir ada yang terpengaruh pola pikir Barat yang mulai mengotak atik dan
mempermainkan ayat-ayat al-Qur’an.[15] Dalam hal ini Syaltut berpendapat bahwa pada dasarnya
hukum poligami adalah mubah dan tetap dapat dipraktekkan hingga saat ini.
Dengan berdasarkan pada surat an-Nisa ayat 3 dan an-Nisa ayat 129 dengan
penjelasan relatif klasik Syaltut mengatakan bahwa "Berkaitan dengan
masalah poligami, Islam tidaklah memunculkan sesuatu yang baru akan tetapi
menetapkan apa yang telah berlaku secara alami di masyarakat. Dengan
memperbaiki apa yang dipandang perlu, sehingga menjamin sikap moderat yang
menjaga watak alamiah manusia serta memelihara berbagai penyelewengan dalam
masyarakat. Sebagaimana perkawinan yang sudah lama dikenal dalam masyarakat,
poligami pun sebenarnya sudah dipraktekkan sejak dahulu. Poligami juga telah
dikenal dalam tradisi agama-agama samawi dan meluas sedemikian rupa”.[16]
Sesuai dengan
metode ijtihad yang ia gunakan, di sini Syaltut berijtihad dengan mendasarkan
kepada ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan kepada permasalahan tersebut,
yaitu surat an-Nisa ayat 3 yang membicarakan tentang kebolehan poligami dan
ayat 129 yang berbicara tentang persyaratan bagi yang hendak melakukan
poligami. Fatwa ini menjadi penting di saat para ulama disekelilingnya telah
banyak yang beralih pendapat terutama dari pengaruh pemikiran Barat yang
seakan-akan menutup pintu poligami.
Pendapat Syaltut di
atas bukanlah hal baru tentang seputar permasalahan poligami. Melalui
pendekatan historis ia menjelaskan bahwa ayat ini tidak membuat peraturan tentang
poligami sebagai sesuatu yang baru karena telah dikenal dan dipraktekkan oleh
berbagai agama serta adat istiadat masyarakat sebelum turunnya ayat ini. Ayat
ini juga tidak mewajibkan atau menganjurkan poligami namun hanya berbicara
tentang bolehnya poligami dan itupun hanya pintu keciul bagi yang amat
membutuhkan dengan persyaratan yang tidak ringan. Dengan demikian pembahasan
tentang poligami hendaknya tidak ditinjau dari segi ideal atau baik buruknya
tetapi harus dilihat dari sudut pandang penetapan hukum dalam aneka kondisi
yang mungkin terjadi.[17]
2)
Bersalaman dengan Perempuan Tidak Membatalkan Wudlu
Mahmud Syaltut
berpendapat bahwa bersalaman dengan perempuan tidak menyebabkan batalnya wudlu.
Pendapat ini dikemukakan berkaitan dengan pengertian (Lamastumun Nisa) dalam surat al-Maidah ayat 6. Di antara
argumentasi yang dikemukakan Syaltut berdasarkan hadits-hadits yang menunjukkan
tidak batalnya wudlu ketika tangan laki-laki dan perempuan bersentuhan. Selain
itu tiadanya kebutuhan wudlu saat bersentuhan tangan dengan perempuan merupakan
kemudahan (rukshoh) yang diajarkan oleh syariat.[18]
Dalam hal ini Syaltut memperluas pemahaman tentang makna
“Lamastumunnisa” tidak hanya bermakna menyentuh, namun berhubungan
seksual dengan lawan jenis. Pendapat ini dikokohkan Syaltut dengan dasar hadits
yang berbicara tentang hal tersebut. Berdasarkan metode ijtihad yang Syaltut
gunakan dalam hal ini peran memiliki porsi yang kuat dalam menjelaskan makna
ayat al-Qur’an.
3)
Keharaman Narkoba
Syaltut berpendapat
bahwa mengkonsumsi narkoba haram hukumnya. Keharaman narkoba diqiyaskan dengan
keharaman minum khamer. Dia berpendapat illat keharaman khamer itu
adalah karena merugikan orang yang meminumnya baik secara mental, fisik,
spiritual, ekonomi, bahkan sosial. Unsur-unsur perusak yang terdapat dalam
khamer terdapat pula dalam narkoba. Karena adanya kesamaan illat inilah
yang menjadikan narkoba haram hukumnya.[19]
Pendapat ini kalau
dikaitkan dengan prinsip ijtihad tampaknya Syaltut menggunakan metode qiyas,
dengan mengambil persamaan illat hukum dari khamer yang sudah jels
hukumnya dengan narkoba yang merupakan masalah kontemporer yang tidak
disebutkan hukumnya dalam al-Qur’an.
4) Ar-Riqab
(Memerdekakan Budak)
Penafsiran
konvensional terhadap ar-Riqab (memerdekakan budak) sebagai kalangan
yang berhak menerima zakat, yakni tuan si budak yang akan menjual budak
tersebut kepada orang yang akan membelinya untuk dimerdekakan atau orang yang
akan menerima ganti kemerdekaan budak itu . Untuk itulah para pihak yang berbuat demikian itu yang
berhak mendapatkan bagian zakat.[20]
Menurut Mahmud Syaltut, dalam konteks
ini penafsiran ar-Riqab perlu diperluas tidak melulu menyangkut
membebaskan budak tetapi merupakan upaya membebaskan negara-negara yang masih
dikuasai negara adikuasa yang bertindak zalim baik secara politik, ekonomi,
maupun ideologis. Negara-negara semacam ini masuk dalam cengkeraman perbudakan
dan mengekang kebebasan warganya sehingga bagi kemanusiaan secara global
dampaknya lebih mengerikan daripada sekedar perbudakan hamba sahaya. Lagi pula lanjut Syaltut perbudakan yang ditunjuk dalam
surat at-Taubah ayat 60 itu sudah tidak ditemukan lagi faktanya di dunia
sekarang ini.[21]
Lebih lanjut Syaltut menjelaskan bahwa
negara-negara yang masih diperbudak ini umumnya adalah negara yang warganya
mayoritas beragama Islam. Oleh karena itu, ia menegaskan, alangkah pantasnya
jika perbudakan semacam ini dibebaskan lewat perlawanan dan perjuangan guna
melepaskan penjajahan negara adikuasa yang jelas menimbulkan dampak kerugian
bagi kemanusiaan. Untuk usaha
pembebasan ini, Syaltut berpendapat tidak hanya dengan zakat saja namun juga
melibatkan jiwa dan raga.[22]
Dalam kasus
memerdekakan budak (ar-Riqab), Syaltut menggunakan pendekatan qiyas. Dia
menganalogikan penjajahan atas bangsa dengan perbudakan pada masa awal Islam.
Walaupun Syaltut tidak menjelaskan illat-nya, namun hal itu bisa
dipastikan dengan merujuk lanngsung kepada surat at-Taubah ayat 60 di atas.
Kiranya illat yang mengikat antara memerdekakan budak pada masa awal
Islam dengan memerdekakan bangsa yang terjajah adalah menyingkirkan kesulitan
dan menjauhkan nestapa manusia.
5)
Fi Sabilillah
Para ulama klasik
sepakat bahwa yang dimaksud fi sabilillah adalah orang-orang yang terlibat peperangan
dalam rangka membela agama Allah.[23]
Mahmud Syaltut menegaskan bahwa dengan membaca pendapat dalam literatur
kitab-kitab fiqh terhadap permasalahan tersebut tidaklah memuaskan. Dalam
pandangannya, fi sabilillah dalam ayat yang terangkai dengan mustahiq
zakat adalah berkaitan dengan maslahah al-ammah (kemaslahatan umum)
yang tidak bisa ditafsiri hak milik individu. Yang dimaksud dengan kemaslahatan umum di sini adalah
pembentukan pasukan perang yang kuat untuk persiapan pertahanan negara dan
membela kehormatan bangsa meliputi bidang personil, akomodasi, dan peralatan.
Di samping itu pengembangan infra struktur dalam suatu negara guna meningkatkan
kesejahteraan bagi warganya meliputi pembangunan rumah sakit, jembatan,
sekolahan, sarana transportasi, serta segala perlengkapan yang berhubungan
dengan syiar Islam yang perlu disosialisasikan secara massal termasuk kebutuhan
juru dakwah yang handal juga merupakan bagian dari upaya kemaslahatan umum.[24]
Pendapat Syaltut tentang fi
sabilillah di atas didasarkan pada
perluasan makna sabilillah yang secara esensial meliputi segala sesuatu
yang dapat memelihara kehormatan bangsa baik dalam hal materiil maupun
spirituil sekaligus menampilkan jatidiri bangsa sebagai identitas pembeda
dengan bangsa yang lainnya.[25] Apabila dilihat dari sudut pandang prinsip-prinsip
ijtihad tampaknya Syaltut menggunakan pendekatan maslahah ketika menafsirkan
makna sabilillah. Berdasarkan berprinsip maslahah esensi suatu hukum
tampak lebih hidup dan memberi jawaban nyata terhadap realitas masyarakat.
Dari beberapa
pemikiran Mahmud Syaltut di atas menunjukkan, bahwa apa yang diungkapkan
Syaltut tidak lain merupakan salah satu bentuk upaya mengembangkan pemahaman
terhadap permasalahan hukum terkait dengan perubahan sosial sehingga hukum
Islam tampak dinamis dalam menyikapi permasalahan kontemporer yang disebabkan
perkembangan zaman. Hakekat dinamisasi ditunjukkan Syaltut dengan merumuskan
kembali ketentuan hukum dengan mengedepankan relasi teks dengan konteks.
Terlebih tujuan utama disyariatkan hukum adalah untuk kemaslahatan umat
manusia. Kemaslahatan tersebut bersifat dinamis dan fleksibel. Maksudnya,
pertimbangan kemaslahatan tersebut seiring dengan perkembangan zaman. Sebagai
konsekuensinya, bisa jadi yang dianggap maslahat pada masa lalu belum tentu
dianggap maslahat pada masa sekarang.[26]
Ketika memahami
kasus hukum, Syaltut tidak hanya terpaku pada normativitas suatu teks.
Pendekatan historis ia gunakan dalam memahami kasus hukum, seperti poligami. Di
samping itu Syaltut juga menggunakan pendekatan sosiologis ketika membahas
tentang permasalahan memerdekakan budak (ar-Riqab) dan makna fi
sabilillah. Dalam hal ini Syaltut mengkaitkan bunyi teks dengan
konteks sosial pada masa itu. Dengan keluasan pandangan dan pemikirannya
tentang hukum Islam tidak lantas menghiraukan teks. Pendekatan tekstual dengan
menekankan aspek kebahasaan tetap juga ia pergunakan terhadap kasus-kasus
tertentu, seperti pada permasalahan bersalaman dengan perempuan tidak
membatalkan wudlu. Dalam hal ini ia memahami
lafazd Lamastumun Nisa’ dengan pendekatan kebahasaan dengan
mencari hadits-hadits pendukung. Dengan pemahaman demikian, hukum Islam
ditangan Syaltut tampil dinamis sesuai dengan
konteks zamannya.
D. Kesimpulan
Apa yang
ditampilkan Syaltut merupakan bagian mata rantai ijtihad yang dikobarkan para
pemikir Islam tentang pentingnya mengembangkan pemahaman Islam sesuai dengan
konteks zamannya. Meskipun belum terpetakan secara menyeluruh, Mahmud Syaltut
termasuk tokoh pembaharu pada masanya yang menawarkan formulasi metode ijtihad
yang disebutnya sebagai fiqhul qur’an wa fiqhul sunnah dan ar-ra’yu.
Fighul Qur’an dan Sunnah dimaksudkannya sebagai pendekatan langsung terhadap
lafal-lafal keduanya, sedangkan ar-ra’yu adalah model ijtihad untuk berbagai
persoalan yang tidak dijumpai nashnya dalam al-Qur’an dan Sunnah yang
dipraktekkan melalui ijma’, qiyas, dan maslahah mursalah.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Ishaq
asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari’ah, Vol IV,(Beirut: Darul
Kutub al-Ilmiyyah, tt).
Ahmad Mustofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid IV (Darul Fikr,
tt).
Amir Muallim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum
Islam, (Yogyakarta: UII Press, 1999).
Asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, (Kairo: Dar al-Tab’ah al-Munirah,
tt).
Ensiklopedi Islam, jilid IV
(Jakarta:PT.Ichtiar Van Hoeve, 1993).
H.M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara
Tradisi dan Liberasi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998).
Ibnu Katsir, Tafsir Ibn Katsir, Jilid II (Darul Fikr, 1980).
Kate Zabiri, “Syaikh Mahmud Syaltut Antara Tradisi dan Modernitas”, dalam Al-Hikmah No.
12/Januari-Maret 1994.
M. Jawad Maghniyyah, Tafsir al-Kasysyaf, Jilid IV, (Darul Ilmi Lil
A’lamin, tt).
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid IV, (Jakarta: Lentera
Hati, 2002).
Mahmud Syaltut, Al-Fatawa, (Beirut: Dar asy-Syuruq, 1972).
Mahmud Syaltut, Al-Islam Aqidah wa Syariah, (Darul
Qalam: 1966).
Muhammad al-Bahi, Pengantar dalam Al-Fatawa (al-Idarah
al-Ammah li ats-Tsaqafah al-Islamiyah bi al-Azhar, 1959).
Muhammad
al-Ghazali, al-Musytasyfa Min Ilmi al-Ushul, (al-Maktabah al-Jadidah:
tt).
[1] Kate Zabiri, “Syaikh Mahmud Syaltut
Antara Tradisi dan
Modernitas”, dalam Al-Hikmah No. 12/Januari-Maret 1994, hal.57.
[4] Ibid.
dan lihat Muhammad
al-Bahi, Pengantar dalam Al-Fatwa (al-Idarah al-Ammah li ats-Tsaqafah
al-Islamiyah bi al-Azhar, 1959), hal. Alif dan ba’.
[5] Seluruh
penjelasan Mahmud Syaltut tercantum dalam Al-Islam Aqidah wa Syariah, bab
Mashadir Asy-Syariah, (Darul Qalam: 1966), hal. 479-559.
[12] Ibid.,
hal. 555. Dalam perspektif hukum Islam, Ra’yu biasa
dikenal dengan ijtihad. Penjelasan mengenai ijtihad dapat dilihat dalam
Muhammad al-Ghazali, al-Musytasyfa Min Ilmi al-Ushul, (al-Maktabah
al-Jadidah: tt), hal. 478. Abu Ishaq asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul
asy-Syari’ah, Vol IV,(Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, tt), hal. 64.
Asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, (Kairo: Dar al-Tab’ah al-Munirah, tt),
hal. 250.
[14] H.M.
Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, (Yogyakarta:
Titian Ilahi Press, 1998), hal. 60.
[17] Lihat
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid IV, (Jakarta: Lentera Hati,
2002), hal. 324-326.
[20] Lihat
M. Jawad Maghniyyah, Tafsir al-Kasysyaf, Jilid IV, (Darul Ilmi Lil A’lamin,
tt), hal. 60. Ibnu Katsir, Tafsir Ibn Katsir, Jilid II (Darul Fikr,
1980), hal. 366. Ahmad Mustofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid IV
(Darul Fikr, tt), hal. 144 .
[21] Lihat
Mahmud Syaltut, Al-Islam…, hal. 111. Bandingkan dengan M. Quraish Shihab
dalam Tafsir al-Misbah, Jilid V, hal. 598-599.
[23] Lihat
Tafsir Ibnu Katsir, Jilid II, hal. 367. Tafsir al-Maraghi, Jilid
IV, hal. 145. Tafsir al-Kasysyaf, IV, hal. 60.
[24] Mahmud
Syaltut, Al-Islam…,hal.111. Bandingkan dengan M. Quraish Shihab dalam Tafsir
al-Misbah, Jilid V, hal.599.
[26] Amir
Muallim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, (Yogyakarta: UII
Press, 1999), hal. 38.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar