Sabtu, 08 Desember 2012


KEARIFAN LOKAL
ANTARA BUDAYA DAN BID’AH
Oleh : Akhmad Muhaini


A.    PENDAHULUAN
Dalam kehidupan masyarakat Indonesia terdapat nilai-nilai sosial yang membentuk kearifan lokal (local wisdom) dan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Misalnya, gotong royong, kekeluargaan, musyawarah untuk mufakat, dan tepa selira (toleransi). Hadirnya kearifan lokal ini tak bisa dilepaskan dari nilai-nilai religi yang dianut masyarakat Indonesia sehingga nilai-nilai kearifan lokal ini makin melekat pada diri mereka. Tak mengherankan, nilai-nilai kearifan lokal ini dijalankan tak semata-mata untuk menjaga keharmonisan hubungan antarmanusia, tetapi juga menjadi bentuk pengabdian manusia kepada Sang Pencipta.
Kearifan lokal (Local wisdom) di Indonesia memang sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari masyarakat pribumi mulai sebelum Indonesia merdeka dan berbentuk Negara kesatuan. Hal ini menunjukkan, bahwa kemerdekaan yang sekarang kita rasakan tidak lepas dari kearifan yang sudah hidup sebelumnya contoh di Islam ada Tahlil, para penjajah sangat ketakutan ketika masyarakat pribumi melakukan kegiatan tahlil, srakalan, acara maulid Nabi dan acara-acara keagamaan yang bersifat jam’iyah, karena melalui acara-acara tersebut selain pembacaan kalimah thayibah, juga musyawarah atau sekedar diskusi yang itu akan memunculkan ide-ide kemerdekaan.
Basuswasta, dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, menjelaskan bahwa kearifan lokal berkaitan dengan nilai-nilai yang dipegang dalam kultur lokal. Yang dimaksud lokal itu bisa mencakup wilayah kabupaten, kota, provinsi, bahkan nasional. Apabila konteksnya global, kearifan lokal yang dimaksud adalah kultur Indonesia atau nasional. Kultur Indonesia itu sendiri terdiri dari banyak subkultur. Subkultur, bisa didasarkan pada suku, bisa pula didasarkan pada lingkup yang lebih luas, yaitu generasi[1].
Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam bahasa asing sering juga dikonsepkan sebagai kebijakan setempat “local wisdom” atau pengetahuan setempat “local knowledge”atau kecerdasan setempat “local genious”.
Kerifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat, berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral sampai yang profane (biasa). Di samping itu kearifan lokal dapat didekati dari nilai-nilai yang berkembang di dalamnya seperti nilai religius, nilai etis, estetis, intelektual atau bahkan nilai lain seperti ekonomi, teknologi dan lainnya. Maka kekayaan kearifan lokal menjadi lahan yang cukup subur untuk digali.
Peranan agama tidak bisa dipandang sebelah mata dalam hubungan sosial, kebudayaan, maupun peradaban. Agama menempati tempat yang sangat penting dalam kehidupan manusia, khususnya Indonesia yang dikenal sebagai masyarakat yang religius. Kenyataan pluralitas agama di Indonesia menunjukkan adanya dinamisasi sekaligus problematic yang dihadapi bangsa Indonesia untuk hidup berdampingan dalam kebersamaannya. Baik secara teoritis maupun faktual masalah ini bukanlah persolan sederhana yang hanya dapat diselesaikan dalam peta konsep teoritis dan sloganitas kerukunan umat beragama.[2]
Sikap inklusif dalam arti menerima dan  menyadari kehadiran agama lain dalam kehidupan bersama dan bernegara tidak menjadikan pemeluk-pemeluk agama kehilangan jati diri, eksistensi dan penganutnya. Apabila hal itu disadari masing-masing pihak sebagai kenyataan dan keniscayaan pluralitas, maka problematika substansial antar pemeluk agama telah selesai. Oleh karenanya inklusifitas justeru menjadi jaminan terhadap keharmonisan masing-masing agama untuk tetap eksis dalam satu kesatuan pluralitas. Sebaliknya sikap eksklusif dalam arti menutup diri terhadap kenyataan pluralitas dan mengedapankan idealitas serta egois sepihak, justeru menimbulkan ketidakseimbangan dan disharmonitas antar pemeluk agama-agama. Eksklusifitas tersebut merupakan langkah mundur peradaban manusia sekaligus pengingkaran pluralitas yang merupakan sunnatullah.[3]
Bagi Kalangan Pesantren, Wali songo merupakan tokoh penting  yang sangat dihormati karena jasanya menyebarkan Islam di Indonesia melalui jalan tengah dan moderat.   Dakwah yang di jalankan Wali Songo adalah dakwah dengan akulturasi budaya, Wali Songo dalam menjalankan dakwahnya sangat menghormati kearifan lokal, Sunan Kali Jaga misalnya,  dalam salah satu dakwahnya adalah melalui media wayang kulit, beliau mengganti cerita agama Hindu  dan digantikan dengan cerita Agama Islam. Begitu juga dengan wali yang lain.
KH. Abdurahman Wahid menggagas Islam pribumi untuk menjawab problem radikalisme Islam. Dalam “Pribumisasi Islam” tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran yang normatif berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Sehingga, tidak ada lagi pemurnian Islam atau proses menyamakan dengan praktek keagamaan masyarakat Muslim di Timur Tengah. Bukankah arabisasi atau proses mengidentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah berarti tercabutnya kita dari akar budaya kita sendiri? Dalam hal ini, pribumisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan budaya-budaya setempat, akan tetapi justru agar budaya itu tidak hilang. Inti “Pribumisasi Islam” adalah kebutuhan bukan untuk menghindari polarisasi antara agama dengan budaya, sebab polarisasi demikian memang tidak terhindarkan.
Pada konteks selanjutnya, akan tercipta pola-pola keberagamaan (Islam) yang sesuai dengan konteks lokalnya, dalam wujud “Islam Pribumi” sebagai jawaban dari “Islam Otentik” atau  “Islam Murni” yang ingin melakukan proyek Arabisasi di dalam setiap komunitas Islam di seluruh penjuru dunia. “Islam Pribumi” justru memberikan keanekaragaman interpretasi dalam praktek kehidupan beragama (Islam) di setiap wilayah yang berbeda-beda. Dengan demikian, Islam tidak lagi dipandang secara tunggal, melainkan beraneka ragam. Tidak lagi anggapan Islam yang di Timur Tengah sebagai Islam yang murni dan paling benar, karena Islam sebagai agama mengalami historisitas yang terus berlanjut. Pemurnian ajaran Islam akhir akhir ini tidak bisa 100% diterima, karena bagaimanapun juga pemurnian Islam tersebut lebih cenderung kepada Arabisasi ketimbang perjuangan nilai untuk menegakan nilai nilai Islam di bumi nusantara ini.[4]


B.     TINJAUAN UMUM TENTANG KEARIFAN LOKAL
                           1.     Pengertian kearifan local
Secara etimologi, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris-Indonesia Purwono Sastro Amijoyo dan Robert K. Cunningham, local berarti setempat[5], sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan[6]. Secara umum makna local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakat. Bisa dikatakan kearifan lokal (local wisdom) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada.
Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan maupun produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. Pada bagian lain, secara konsepsual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga.
Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius. Local genius ini merupakan istilah yang mula pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales. Unsur budaya daerah berpotensi sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri-cirinya adalah:
a.     mampu bertahan terhadap budaya luar
b.    memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar
c.     mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli
d.    mempunyai kemampuan mengendalikan
e.     mampu memberi arah pada perkembangan budaya.
Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan local merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.
Bentuk-bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa: nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Oleh karena bentuknya yang bermacam-macam dan ia hidup dalam aneka budaya masyarakat maka fungsinya menjadi bermacam-macam[7].

                           2.     Dasar hukum kearifan local
Agama Islam yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW diperuntukkan bagi seluruh umat manusia pada umumnya. Oleh sebab itu, Islam dikenal sebagai agama yang bersifat universal. Sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Anbiya’ ayat 107:
!$tBur š»oYù=yör& žwÎ) ZptHôqy šúüÏJn=»yèù=Ïj9
Artinya : “dan kami tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk rahmat bagi semesta alam”.
Dalam salah satu Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Abdullah ibn Mas’ud disebutkan :
مَا رَاَهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ
Artinya : “Apa yang dipandang baik oleh umat Islam, maka di sisi Allah pun baik”.
Hadis tersebut oleh para ahli ushul fiqh dipahami (dijadikan dasar) bahwa tradisi masyarakat yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at Islam dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan hukum Islam (fiqh). Dari hadis tersebut lahir kaidah fiqh[8]  :
اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
Artinya : Suatu adat kebiasaan bisa dijadikan pedoman hukum.
 Apabila suatu ‘urf  bertentangan dengan Kitab atau Sunnah seperti kebiasaan masyarakat melakukan sebagian perbuatan yang diharamkan semisal meminum arak atau memakan riba, maka ‘urf mereka tersebut ditolak (mardud)[9].‘Urf yang dimaksud di sini adalah ‘urf khas, yaitu ‘urf yang dikenal berlaku pada suatu negara, wilayah atau golongan masyarakat tertentu, seperti ‘urf yang berhubungan dengan perdagangan, pertanian dan lain sebagainya[10].
Pentingnya posisi urf atau adat kebiasaan dalam teori hukum Islam merupakan kesepakatan para ulama’ ushul. Posisi urf ini menjadi penting karena dalam kenyataannya urf itulah yang menjadi the living law (hukum yang hidup) dalam masyarakat. Membiarkan dalil-dalil hukum Islam menjauh dari kenyataan social sama maknanaya dengan mengebiri hukum Islam itu sendiri. Karena itulah makna teks dan konteks dipertemukan, dalil hukum dan ‘illat hukum diteliti, serta kebiasaan yang berjalan baik diakomodasi sebagai bagian dari hukum. Itulah makna kaidah al-’Adah muhakkamah.
Al-Qarafi memberikan ulasan bagus tentang tradisi ulama sebelumnya dengan pernyataannya : Aplikasi hukum yang bersumber dari adat kebiasaan harus berubah mengikuti perubahan adat itu sendiri, bahkan segala sesuatu dalam syari’at mengikuti adat kebiasaan. Hukumnya berubah mengikuti perubahan adat yang baru. Dalam Ushul Fiqih ada kaidah. : “Almuhafadhatu A’la qodimshaalih Wal Ahdu bijaadidil Ashlah (melestariakan sesuatu yang baik dan menggali nilai baru yang lebih baik.” Dalam kitabnya al-muwafaqat al-Syatibi memperhitungkan akibat hukum atau hasil akhir suatu perbuatan merupakan tujuan yang dikehendaki syara’. Ketelitian dalam hal ini menjadi penting sebab kadangkala perbuatan yang diangap baik berakhir dengan kemafsadatan, sebalikmya perbuatan yang dianggap jelek ternyata melahirkan kemaslahatan[11].
Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya bernilai baik, karena kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial yang berulang-ulang dan mengalami penguatan (reinforcement). Apabila suatu tindakan tidak dianggap baik oleh masyarakat maka ia tidak akan mengalami penguatan secara terus-menerus. Pergerakan secara alamiah terjadi secara sukarela karena dianggap baik atau mengandung kebaikan. Kearifan adat dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari pengetahuan dan diakui akal serta dianggap baik oleh ketentuan agama.

                           3.     Ragam Kearifan local Di Indonesia
Sebenarnya, hampir semua -kalau tidak bisa dikatakan seluruh- masyarakat memiliki kebijakan lokal (local wisdom) sendiri-sendiri yang bersumber dari kebudayaan masing-masing. Beberapa contoh Kearifan lokal di daerah:
a.    Kearifan lokal di Ambon ada yang disebut Pela, yaitu suatu tatanan kebersamaan mirip dengan gotong royong di Jawa. Pela ini bisa menembus batasan agama, marga, ataupun suku. Ketika Pela ini terkait dengan mata pencarian, maka bila suatu kelompok nelayan akan melaut, mereka akan mengajak anggota satu Pelanya untuk bahu-membahu menghasilkan ikan yang lebih banyak daripada jika menangkap sendiri.
b.    Papua, terdapat kepercayaan te aro neweak lako (alam adalah aku). Gunung Erstberg dan Grasberg dipercaya sebagai kepala mama, tanah dianggap sebagai bagian dari hidup manusia. Dengan demikian maka pemanfaatan sumber daya alam secara hati-hati.
c.    Serawai, Bengkulu, terdapat keyakinan celako kumali. Kelestarian lingkungan terwujud dari kuatnya keyakinan ini yaitu tata nilai tabu dalam berladang dan tradisi tanam tanjak.
d.   Dayak Kenyah, Kalimantan Timur, terdapat tradisi tana‘ ulen. Kawasan hutan dikuasai dan menjadi milik masyarakat adat. Pengelolaan tanah diatur dan dilindungi oleh aturan adat.
e.    Masyarakat Undau Mau, Kalimantan Barat. Masyarakat ini mengembangkan     kearifan lingkungan dalam pola penataan ruang pemukiman, dengan mengklasifikasi hutan dan memanfaatkannya. Perladangan dilakukan dengan rotasi dengan menetapkan masa bera, dan mereka mengenal tabu sehingga penggunaan teknologi dibatasi pada teknologi pertanian sederhana dan ramah lingkungan.
f.     Masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan, Kampung Dukuh Jawa Barat. Mereka mengenal upacara tradisional, mitos, tabu, sehingga pemanfaatan hutan hati-hati. Tidak diperbolehkan eksploitasi kecuali atas ijin sesepuh adat. Bali dan Lombok, masyarakat mempunyai awig-awig.[12]
g.    Jawa Tengah (khususnya di wilayah-wilayah keraton). Satu Muharam, yaitu peringatan tahun baru Hijriah, dirayakan dengan upacara adat. Pusaka-pusaka keraton digelar, sesajen kepada leluhur disajikan. Doa-doanya, lafal Alquran, masyarakat yang shalat dan yang tidak shalat, tuamuda, besar-kecil, sama-sama berebut sesajen,ngalap berkah dari Sinuwun. Mereka tidak pernah berpikir tentang kemusyrikan ketika saling berebut sesajian itu,yang penting berkah.
h.    Minang. Etnik ini mempunyai ungkapan : Adat basandi syarak,syarak,syarak basandi kitabullah, syarak mangato adat mamakai. Artinya : “adat tidak bisa dilepaskan dari agama (Islam), apalagi saling bertentangan”. Mereka sangat yakin itu, dan tidak ada yang ambil pusing bahwa sistem matrilineal[13] dalam adat Minang bertentangan dengan syariat Islam yang patrilineal[14]

                           4.     Simbolisasi kearifan local
Studi tentang aneka macam materi dalam ritus keagamaan bisa dimaknai sebagai upaya memahami budaya materi yang memiliki maksud umum bahwa benda juga mengkomunikasikan arti seperti halnya bahasa.[15]Dalam bentuk lain benda materi bukan hanya digunakan untuk melakukan sesuatu, melainkan juga mempunyai makna, bertindak sebagai tanda-tanda makna dalam hubungan sosial, yang sesungguhnya bagian dari fungsi yang penuh makna.[16] Dengan kata lain bahwa materi adalah Merupakan sebuah simbol yang biasanya mengandung sesuatu yang bersifat implisit seperti keinginan-keinginan, maksud-maksud, maupun tujuan-tujuan dari masyarakat penggunanya.[17] George Herbert Mead membedakan antara tanda-tanda alamiah (natural sign) dan simol-simbol yang mengandung makna (significant symbols). Tanda-tanda alamiah bersifat naluriah serta menimbulkan reaksi yang sama bagi setiap orang, sedangkan symbol yang mengandung makna tidak harus menimbulkan reaksi yang sama bagi setiap orang.[18] Artinya bahwa sebuah materi tidak saja dipahami sebagai suatu tanda alamiah yang memiliki makna lahir sesuai dengan manfaat dan fungsinya, tetapi juga dapat dipahamai sebagai suatu symbol yang memiliki banyak makna yang berbeda, yang pemaknaan ini tergantung pada tujuan dan maksud dari penggunanya.
Berikut  ini penulis mencoba memberikan makna/ta’wil terhadap beberapa ritual kearifan lokal yang mengiringi Upacara pemberangkatan jenazah dan Selamatan memasang kap/atap rumah.
a.     Upacara pemberangkatan jenazah
Beberapa amaliah yang lazim dilaksanakan dalam upacara pemberangkatan jenazah adalah memayungi keranda, menghias keranda dengan bunga, surupan/brobosan, menyiram nisan dengan air degan (kelapa muda), bendera, sapu, nisan, beras kuning & uang receh, sesaji, damar (lampu sentir).
1)        Memayungi keranda
Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa ada tiga orang yang akan mendapatkan “iyub-iyub / payung” (perlindungan) dari Allah besok di hari kiamat, yaitu : orang yang menyambung tali silaturrahmi, perempuan yang ditinggal mati suaminya dan mempunyai anak yatim, dan dia mampu menjaga dan memelihara anak yatim tersebut, dan orang yang diberi kelebihan rejeki (makan) dan dia mau membagikan sebagian rejekinya kepada anak yatim dan orang-orang miskin. Maksud dari jenazah dipayungi adalah semoga dia termasuk orang yang mendapat paying/perlindungan besok di hari kiamat.
2)        Menghias keranda dengan bunga
Ada pepatah mengatakan Gajah mati meninggalkan gading, macan mati meninggalkan belang manusia mati meninggalkan budi. Bunga adalah perkara yang indah / mempunyai bau harum, harapannya si mayit meninggalkan budi pekerti yang baik sehingga namanya menjadi harum.
3)        Surupan/brobosan
Surupan dilakukan ketika keranda telah dipikul sebelum diberangkatkan, biasanya yang melakukan brobosan ini adalah keluarga si mayit sambil menggendong anak yang masih kecil. Surupun ini berasal dari kata “sumurupono” (ketahuilah). Ritual ini sebetulnya sebagai i’tibar  untuk para pentakziah  agar “sumurupono” (ketahuilah) bahwa mereka suatu saat nanti juga akan dipikul, seakan-akan ada perintah “ketahuilah bahwa kamu pun pasti akan dipikul seperti jenazah ini” sehingga mereka mau mencari bekal kematian.
4)        Menyiram nisan dengan degan (kelapa muda)
Setelah selesai proses pengurukan liang lahat biasanya disiram dengan air kelapa muda (degan). Kita beriman bahwa di dalam alam kubur ada proses tanya jawab yang dilakukan oleh malaikat Munkar Nakir terhadap mayit . Semua pasti terkejut dan deg-degan dengan kedatangan malaikat Munkar Nakir kecuali orang yang benar-benar kuat imannya. Degan adalah sebagai lambang doa semoga si mayit tidak deg-degan dalam  menjawab semua pertanyaan malaikat, sehingga selamat menjawab semua pertanyaan.
5)        Bendera
Bendera biasanya dibawa ketika jenazah diberangkatkan ke liang kubur. Orang-orang yang membawa bendera biasanya di depan/mendahului jenazah. Dalam sebuah hadits diterangkan bahwa besok di akherat manusia akan dikelompokkan sesuai dengan amalnya sewaktu di dunia, Ada kelompok syuhada, kelompok orang yang sudah haji, kelompok orang-orang alim kelompok orang-orang dermawan (loman), dll. Setiap kelompok ada pimpinan dan benderanya sendiri-sendiri. Diharapkan si mayit masuk ke dalam salah satu dari ke empat kelompok tersebut.
6)        Nisan/paesan
Nisan atau paesan berasal dari bahasa Jawa yang berarti tempat ngilo atau bercermin, maksudnya adalah bahwa setiap orang yang ziarah agar bercermin terhadap keadaan jenazah sekarang sehingga akan timbul kesadaran bahwa suatu saat dia juga pasti akan dikubur dan dipasangi nisan. Pemasangan nisan juga ada tata caranya, yaitu saling berdekatan dan saling condong satu dengan yang lainnya, harapannya keluarga yang ditinggalkan saling berdekatan dan saling condong satu dengan yang lain tidak saling berjauhan dan bercerai berai.
7)        Beras Kuning & uang receh
Beras kuning dan uang receh ini ditabur-taburkan selama perjalanan dari rumah mayit menuju ke kuburan. Sejarah asal muasal beras kuning adalah pada zaman tabi’in adalah  sedikit sekali pentakziyah yang mau mengantarakan jenazah sampai ke kuburan, maka ada beberapa orang yang berkreasi seperti tersebut di atas, dengan harapan orang-orang mau mengantar jenazah sampai ke kuburan.
8)        Sesaji & Damar (lampu sentir)
Semenjak meninggal sampai beberapa hari biasanya keluarga menaruh sesaji dan menghidupkan damar dalam suatu kamar tertentu dan diusahakan jangan sampai mati. Ini adalah bentuk doa untuk mayit semoga dia di alam kubur mendapatkan nikmat kubur dan terang benderang alam kuburnya.

b.    Selamatan memasang kap/atap rumah.
Dalam pembangunan rumah juga terdapat beberapa ritual, biasanya diadakan ketika tahapan masang kap/atap, antara lain sebagai berikut :
1)      Menggantung Padi.
Padi yang masih dalam tangkainya diikat beberapa ikat terus dipasang di blandar, ini adalah doa yang diungkapakan dengan barang, semoga penghui rumah selalau diberi rejeki kesejahteraan pangan.
2)      Kelapa
Hampir sama dengan padi maksudnya adalah doa yang diwujudkan barang. Kelapa termasuk salah satu bumbu masak, harapannya semoga pemilik rumah tidak kekurangan dalam urusan dapur.
3)      Tebu
Tebu adalah bahan dasar (gula) air minum, harapannya semoga pemilik rumah selalu diberi kesejahteraan air minum, karena air minum adalah kebutuhan paling pokok manusia..
4)      Pisang raja
Tafaulnya adalah semoga pemilik rumah  tidak kekurangan buah-buahan, yang dipilih buah pisang raja karena termasuk buah yang awet, meskipun kulitnya sudah rusak tapi buahnya masih bagus.
5)      Bendera merah Putih
Tafaulnya adalah menumbuhkan sifat nasionalisme, agar pemilik rumah mencintai tanah air dan bangsanya, sesuai dengan perkataan “hubbul wathon minal iman” cinta tanah air adalah sebagian dari iman.
6)      Sapu tangan untuk setiap tiang (soko)
Sapu tangan adalah jenis kain yanmg melengkapi kebutuhan sandang, harapannya semoga pemilik rumah tidak kekurangn dalam hal pakaian.
7)      Jajan pasar (rakan)
Jajan pasar adalah makanan-makanan kecil (camilan) yang biasa dijual di pasar-pasar terdiri dari berbagi macam jenis, harapannya semoga pemilik rumah selalu sejahtera dalam urusan  makanan/bisa pergi berbelanja ke pasar.
8)      Bubur abang putih & suruh
Abang melambangkan darah putih melambangkan tulang, sendoknya pun pakai daun pisang (suruh) harapannya semoga pemilik rumah menjadi orang yang lemah lembut seperti bubur abang putih dan suruh daun pisang.
9)      Ayam ingkung
Harapannya adalah si pemilik rumah makmur/sejahtera, mempunyai banyak hewan piaraan (rojo koyo) dan tidak kekurangan vitamin hewani.

C.    ANALISIS HUKUM KEARIFAN LOKAL
Salah satu yang paling penting dalam ranah pluralisme social adalah sesuatu yang terkait dengan kepercayaan atau agama yang dianut masyarakat . Pluralitas agama sangat berperan mewarnai sejarah kehidupan social, tidak terkecuali mayarakat kontemporer, baik dalam skala kecil maupun skala besar, terutama di Negara-negara yang sangat mengedepankan religiusitas seperti Indonesia Dalam masyarakat Indonesia ditemukan perbedaan kepercayaan dan agama yang dianut penduduknya, sepeti Islam, Kristen, Budha dan Hindu yang masing-masing pemeluknya mengakui kebenaran agamanya. Perbedaan ini adalah bagian dari konsekwensi pluralitas agama yang terkait dengan sejarah masyarakat Indonesia dalam relevansinya masyarakat dunia. Keragamn agama sebagaimana keragaman etnisitas suku dan bangsa, juga dipahami dalam satu perspektif kemanusian yang hidup berdampingan dengan kekhasannya membangun kehidupan bersama. Indonesia menjadi lebih  unik dengan keunikan keunikan agama yang dianut oleh penduduknya tersebut. Keunikan-keunikan ini bukanlah ancaman terhadap pemeluk agama yang satu bagi eksistensi agama yang lainnya, tetapi akan lebih memperjelas keunikan tersendiri. Agama yang dianut oleh seorang pemeluknya  menjadi identitas pribadinya sekaligus cerminan kesucian agamanya.[19]
Kaidah dan prinsip dasar Islam untuk mewujudkan cita-cita Islam yang universal, yaitu: Hifdzu Din (memelihara kebebasan beragama), Hifdzu Aql (memelihara kebebasan nalar berpikir), Hifdzu Mal (memelihara/menjaga harta benda), Hifdzu Nafs (memelihara hak hidup), Hifdzu Nasl (memelihara hak untuk mengembangkan keturunan). Acuan moral dalam penerapan fiqih mu’amalah ini, pada dasarnya merupakan ciri dari sebuah ke-universalitas-an agama Islam. Kearifan local yang berjalan turun temurun tidak serta merta menafikan atau bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut.
Diskursus perbedaan keberislaman itu juga sering dikaitkan dengan perbedaan simbolik yang didasarkan pada corak ormas kegamaan dengan gaya khas lokal Indonesia dan ormas dengan corak yang bersifat internasional (transnasional). Islam lokal merupakan Islam yang lahir dan mengekspresikan Islam keindonesiaan, sedangkan Islam Transnasional merupakan Islam yang lahir dan mengekspresikan budaya luar Indonesia (Timur Tengah) khususnya pada simbol-simbol keagamaannya. Wacana Islam lokal dan Transnasional merupakan konsekuensi dari globalisasi yang mengandaikan persentuhan nilai-nilai budaya, politik, ekonomi termasuk system keyakinan yang tanpa batas antara satu negara dengan negara lainnya.
Dalam pandangan  NU perjuangan pembumian syari’at Islam adalah kewajiban agama dengan memperjuangkan sesuatu yang paling mungkin dicapai, dan sesuatu yang paling mungkin dicapai adalah yang paling tepat digunakan. Dalam konteks hukum agama (bidang muamalah) berlaku prinsip apa yang disebut dengan prinsip ‘tujuan dan cara pencapaianya” (al-ghayah wa al-wasail). Selama tujuan masih tetap, maka cara pencapaiannya menjadi sesuatu yang sekunder. Tujuan hukum akan selalu tetap, tetapi cara pencapaianya bisa berubah-rubah seiring dengan dinamika zaman.  
Prinsip dasar yang dikembangkan NU dalam merespon arus perubahan dalam berbagai dimensi kehidupan khususnya berkaitan dengan problematika hukum kontemporer (al-waqi’iyyah al-haditsah) dan perubahan kebudayaan, NU berpegang pada kaidah “al-Muhafadhatu ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhd bi al-jadid al-ashlah” yaitu memelihara tradisi lama yang masih baik (relevan) dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik.
Proses dialektika Islam dengan budaya lokal Indonesia yang menghasilkan produk budaya sintetis merupakan suatu keniscayaan sejarah sebagai hasil dialog Islam dengan system budaya local. Lahirnya berbagai ekspresi-ekspresi ritual yang nilai instrumentalnya produk budaya lokal, sedangkan muatan materialnya bernuansa religius Islam adalah sesuatu yang wajar dan sah adanya dengan syarat akulturasi tersebut tidak menghilangkan nilai fundamental dari ajaran agama.
Dalam satu riwayat diterangkan bahwa Nabi Muhammad saw pernah lewat sebuah kuburan, tiba-tiba nabi berhenti dan mengambil pelepah kurma yang masih basah. Oleh Nabi pelepah kurma tersebut dibelah/dibagi menjadi 2 bagian dan masing-masing diletakkan di atas 2 kuburan. Apakah perbuatan Nabi tersebut termasuk syirik?. Melihat Nabi berbuat seperti itu ada salah seorang sahabat penasaran terus bertanya kepada Nabi kenapa beliau berbuat seperti itu? Kemudian nabi menjelaskan bahwa siksa orang yang ada dalam kubur akan diringankan selama pelepah kurma masih hijau/belum mengering. Ternyata perbuatan Nabi adalah simbolisasi sebuah makna.
Menurut KH. Akhmad Chalwani[20] dalam beberapa kali ceramahnya beliau menerangkan bahwa kita tidak diperbolehkan tergesa-gesa memberikal label syirik terhadap suatu perkara, apabila masih bisa diberi ta’wil maka sebaiknya kita berikan ta’wil terlebih dahulu terhadap perkara tersebut. Kalau ada orang yang mengatakan kearifan lokal adalah perbuatan syirik atau bid’ah sebetulnya orang itulah yang kurang bisa menakwilkan atau memaknai kearifan local tersebut. Seperti contoh mengapa slametan[21] sedekah bumi diletakkan di perempatan jalan? Takwil yang benar adalah karena  perempatan jalan merupakan lalu lalangnya orang banyak, pemberi sedekah mengharapkan sedekahnya diambil/dimanfaatkan banyak orang, jadi siapapun yang lewat boleh mengambil sedekah tersebut. Menurut Ilmu Tafsir takwil dibagi menjadi tiga :
1.      Ta'wil li al-qaul (ta'wil perkataan)
Berarti makna sebuah perkataan dan hakekat yang dimaksudkan. Dalam bahasa Arab, perkataan terbagi menjadi dua; yaitu insya' dan khabar, bagian utama dari insya' adalah amr (perintah). Oleh karenanya, ta'wil dalam hal ini memiliki dua pengertian;
a.       Ta'wil Amr yaitu dengan mengerjakan apa yang diperintahkan, contohnya hadis riwayat Aisyah Radhiyallah 'anha bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dalam rukuk dan sujudnya banyak membaca :
  [22]سبحنك اللهم ربنا و بحمدك اللهم اغفر لي
“Maha Suci Engkau ya Allah dan segala puji bagi-Mu, ya Allah ampunilah aku” sebagai ta'wil dari firman Al-Qur'an QS. An-Nashr: 3.
b.      Ta'wil Ikhbar yaitu terjadinya suatu peristiwa sebagaimana yang dikabarkan, contohnya seperti firman Allah QS. Al-A'raf : 53.  Allah mengabarkan akan datangnya hari kiamat, sedangkan manusia menunggu ta'wil (terjadinya) yang dikabarkan Al-Qur'an.

2.      Ta'wil li al-fi'l (ta'wil perbuatan)
Seperti apa yang dikatakan oleh sahabat Nabi Musa 'Alaihissalam setelah melubangi perahu tanpa seizin pemiliknya, membunuh seorang anak, dan menegakkan kembali bangunan roboh, dalam QS. Al-Kahfi: 82.

3.      Ta'wil li ar-ru'ya (ta'wil mimpi).
Ta'wil li ar-ru'ya atau ta'wil al-ahadith (ta'wil mimpi), seperti perkatan Nabi Ya'qub kepada putranya Nabi Yusuf 'Alaihimassalam dalam QS. Yusuf : 6, dan sebaliknya pada ayat: 100.
Dari penjelasan tentang pembagian takwil di atas dapat disimpulkan bahwa ritual kearifan local dapat ditakwili sebagaimana pentakwilan terhadap perbuatan sahabat nabi Musa as.[23]
Kelompok yang kontra menuduh bahwa kearifan local adalah perbuatan bid’ah dan bahkan ada yang lebih ekstrim lagi sebagai perbuatan syirik. Mayoritas kaum muslimin membagi bid'ah menjadi dua :
1.         Bid'ah yang terpuji (mahmudah)
2.         Bid'ah yang tercela (madzmumah)
Imam Syafi’i membagi bid'ah menjadi dua macam; pertama, sesuatu yang baru yang bertentangan dengan perintah al-Qur'an, hadist atau ijma’ disebut bid'ah sesat (dhalalah), Kedua, sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi al-Qur'an, hadist atau ijma’ itu disebut bid'ah tidak tercela (hasanah). Bahkan al-Imam al-Syafi’i menafikan nama bid’ah terhadap sesuatu yang mempunyai landasan dalam syara’ meskipun belum pernah diamalkan oleh salaf. Beliau berkata  : “Setiap sesuatu yang mempunyai dasar dari dalil-dalil syara’, maka bukan termasuk bid’ah meskipun belum pernah dilakukan oleh salaf”[24]
Al-Imam Izzuddin bin Abdussalam membuat kategori bid'ah[25] menjadi lima bagian sebagai berikut :
1.         Bid’ah wajib seperti meletakkan dasar-dasar ilmu agama dan bahasa Arab yang belum ada pada zaman Rasulullah. Ini untuk menjaga dan melestarikan ajaran agama, seperti kodifikasi al-Qur'an misalnya.
2.         Bid'ah yang sunnah seperti mendirikan madrasah di masjid, atau halaqah-halaqah kajian keagamaan dan membaca al-Qur'an di dalam masjid.
3.         Bid'ah yang haram seperti melagukan al-Qur'an hingga merubah arti aslinya,
4.         Bid'ah makruh seperti menghias masjid dengan gambar-gambar
5.         Bid'ah yang mubahah, menjamah makanan dan minuman yang lezat-lezat, pakaian yang indah, tempat tinggal yang mewah, memakai baju kebesaran dan lain sebagainya. [26]
Ada pendapat yang mengatakan bahwa bid'ah terjadi hanya dalam masalah-masalah ibadah. Namun di sini juga ada kesulitan untuk membedakan mana amalan yang masuk dalam kategori masalah ibadah dan mana yang bukan. Memang agak rumit menentukan mana bid'ah yang baik dan tidak baik dan ini sering menimbulkan percekcokan dan perselisihan antara umat Islam, bahkan saling mengkafirkan. Selayaknya kita tidak membesar-besarkan masalah seperti ini, karena kebanyakan kembalinya hanya kepada perbedaan cabang-cabang ajaran (furu'iyah). Kita diperbolehkan berbeda pendapat dalam masalah cabang agama karena ini masalah ijtihadiyah (hasil ijtihad ulama). Sikap yang kurang terpuji dalam mensikapi masalah furu'iyah adalah mengklaim dirinya dan pendapatnya yang paling benar.
Perbedaan di antara kaum muslimin itu sesuatu yang wajar, akan tetapi penyimpangan akidah itu yang tidak boleh dibiarkan. Sebab, semua ulama’ Ahlus Sunnah sepakat dalam perkara-perkara ushul, tapi berbeda dalam furu’. Mereka memperbolehkan berbeda dalam urusan fiqhiyyah tapi tidak bisa didiamkan jika berdebat dalam urusan ‘aqa’idiyyah. Oleh sebab itu, seorang Sunni tidak membesar-besarkan urusan furu’iyyah.
Jika kita ingin 100% seperti zaman Nabi Muhammad SAW, apapun yang ada di sekeliling kita, jelas tidak ada di zaman Nabi. Yang menjadi prinsip kita adalah esensi. Esensi dari suatu kegiatan itulah yang harus kita utamakan. Nabi Muhammad SAW bersabda : 'Barang siapa yang melahirkan aktifitas yang baik, maka baginya adalah pahala dan (juga mendapatkan) pahala orang yang turut melakukannya'. Makna 'aktifitas yang baik' --secara sederhananya--adalah aktifitas yang menjadikan kita bertambah iman kepada Allah SWT dan Nabi-Nabi-Nya, termasuk Nabi Muhammad SAW, dan lain-lainnya.
Keanekaragaman sosial budaya masyarakat pada suatu daerah tidak terbentuk dalam jangka waktu yang singkat. Namun terbentuk melalui sejarah yang panjang, perjalanan berliku, tapak demi tapak yang terjadi secara turun temurun dari berbagai generasi. Pada titik tertentu terdapat peninggalan-peninggalan yang eksis atau terekam sampai sekarang yang kemudian menjadi warisan budaya. Dengan demikian, proses perjalanan sejarahnya pun tidak dapat dipolitisasi bahkan direkayasa. Hal ini menjadi penting agar tidak menghentikan tradisi budaya mereka yang sudah berjalan secara turun-temurun sebagai warisan.

D.    KESIMPULAN
Sebagai penutup makalah ini, penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
             1.     Kerafian local sebagai warisan budaya nenek moyang yang mempunyai nilai luhur.
             2.     Kearifan local selama tidak menabrak rambu-rambu syari’at bisa dibenarkan dan tidak termasuk bid’ah dholalah.
             3.     Hamper setiap—kalau tidak dapat dikatakan semua—suku di Indonesia memiliki acuan norma-norma dari budaya lokal masing dalam berinteraksi baik secara individu maupun kelompok dari sesama suku atau dengan suku lain dalam kehidupan sosial-keagamaan, baik intern (sesama penganut agama yang sama) maupun ekstern (antar penganut agama yang berbeda);
             4.     Kearifan lokal masing-masing suku ada yang masih fungsional, ada pula yang sudah tidak fungsional karena perkembangan zaman, adanya pergeseren nilai-nilai yang dipegangi oleh masyarakat, atau penolakan dari sebagian anggota masyarakat;
             5.     Tetap fungsionalnya kearifan lokal tentu tidak terlepas dari proses sosialisasi yang dilakukan oleh generasi tua kepada generasi penerusnya;
             6.     Kearifan lokal itu ada yang fungsional di wilayah budaya aslinya, namun ketika dibawa keluar wilayah aslinya menjadi tidak fungsional. Sebaliknya, ada norma-norma yang bersumber dari kearifan lokal suku tertentu, namun tetap fungsional di mana pun berada, bahkan menjadi acuan bagi suku-suku lain;
             7.     Ada kemungkinan munculnya kearifan lokal baru sebagai rekacipta (institutional development) dari kearifan lokal yang sudah tidak fungsional lagi, walaupun kearifan lokal yang baru tidak sama dengan bentuk asli dari kearifan lokal yang lama


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Imam Mawardi. Fiqh Minoritas, Yogyakarta : LKiS. 2010.

Al-Suyuthi, Abdu al-Rahman bin Abi Bakr. t.t. Al-Asbah wa al-Nadhoir. ttp: Daar al-Ihya al-Kutub al-Arabiyah.

Irwan Abdullah, Dkk. Agama dan KearifanLokal dalam Tantangna Global. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2008.

Muhamad Abu Zahrah. Ushul Fiqih. Jakarta : Pustaka Firdaus. 2008

Purwono Sastro Amijoyo. Kamus Inggris-Indonesia. Semarang: Widya Karya. 2007.

Ritzer. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: Rajawali Press. 1992.

Said Agil Husin Al-Munawar. Fikih Hubungan Antar Agama. Jakarta : Ciputat Press. 2003.

Tilley. C. Ethnograph and Material Culture” dalam Atkinson et al (ed) Handbook of Ethnography. London: Sage Publication. 2001.

Tim Bahtsul Masail PCNU Jember. Membongkar Kebohongan Buku “Mantan Kiai NU menggugat Sholawat & Dzikir Syirik. Surabaya: Khalista. 2008.


WEBSITE
Elly Burhainy Faizal dalam  http://www.papuaindependent.com diakses 21 Juli 2011

http://buntetpesantren.org/index.php?option=com_content&task=view&id=270&Itemid=147 21 Juli 2011

Rachmanto Aris D. Berawal dari Kearifan Lokal dalam http://swa.co.id/2010/02/berawal-dari-kearifan-lokal/  diakses 14 Juli 2011

Sarlito Wirawan Sarwono. Kearifan Lokal. dalam http://suara.okezone.com/read/2011/07/10 kearifan-lokal diakses 14 Juli 2011.




[1] Rachmanto Aris D. Berawal dari Kearifan Lokal dalam http://swa.co.id/2010/02/berawal-dari-kearifan-lokal/  diakses 14 Juli 2011
[2]  Al-Munawar, Said Agil Husin. 2003.Fikih Hubungan Antar Agma., Jakarta : Ciputat Press. Hal 99
[3] Al-Munawar, Fikih …hal 94-95
[4] http://buntetpesantren.org/index.php?option=com_content&task=view&id=270&Itemid=147 21 Juli 2011
[5] Amijoyo, Purwono Sastro.2007. Kamus Inggris-Indonesia. Semarang: Widya Karya.h al 226
[6] Amijoyo, … Hal 354.
[7] Elly Burhainy Faizal dalam  http://www.papuaindependent.com diakses 21 Juli 2011
[8] Al-Suyuthi, Abdu al-Rahman bin Abi Bakr. t.t. Al-Asbah wa al-Nadhoir. ttp: Daar al-Ihya al-Kutub al-Arabiyah. hal. 63.
[9] Abu Zahrah, Muhamad. 2008. Ushul Fiqih, Jakarta : Pustaka Firdaus, hal. 418
[10] Abu Zahrah, Ushul... hal. 419
[11] Mawardi, Ahmad Imam, 2010. Fiqh Minoritas, Yogyakarta : LKiS , hal 150.
[13] Atau disebut juga matriakal, yaitu ibu punya power yang lebih dibanding bapak. Anak-anak menurut kepada ibunya.
[14] Sarlito Wirawan Sarwono (Guru Besar Fakultas Psikologi UI). Kearifan Lokal. dalam http://suara.okezone.com/read/2011/07/10/58/478015/kearifan-lokal diakses 14 Juli 2011.
[15] Tilley. 2001. Hal : 258.
[16] Lury.1998. hal:16
[17] Abdullah, Irwan. Dkk.2008. Agama dan KearifanLokal dalam Tantangna Global. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal: 189
[18] Ritzer. 1992: 64
[19] Al-Munawar, Said Agil Husin. 2003.Fikih Hubungan Antar Agma., Jkarta : Ciputat Press.Hal 94-95
[20] Mursid Kamil thariqah Qadiriyyah Naqsabandiyyah Berjan
[21] Slametan berasal dari bahasa Jawa slamet yang berarti selamat atau terhindar dari bahaya dan malapetaka yang menimpanya
[22] HR. Bukhari, kitab Adzan, bab tasbih dan do'a dalam sujud, no. 871 dan Muslim, kitab shalat, bab bacaan dalam ruku' dan sujud, no.746.
[23] ada yang menafsirkan bahwa yang dimaksud adalah nabi Khidir as.
[24] Tim Bahtsul Masail PCNU Jember. 2008. Membongkar Kebohongan Buku “Mantan Kiai NU menggugat Sholawat & Dzikir Syirik. Surabaya: Khalista, hal 71.
[25] Untuk lebih jelas tentang pembagian dan pembahasan bid’ah silahkan baca buku “Membongkar Kebohongan Buku “Mantan Kiai NU menggugat Sholawat & Dzikir Syirik”.
[26] Al-Imam Izzudin bin Abdis Salam. Qowai’idul Ahkam. Juz 2. Hal 133 dalam Tim Bahtsul Masail PCNU Jember. 2008. Membongkar Kebohongan Buku “Mantan Kiai NU menggugat Sholawat & Dzikir Syirik. Surabaya: Khalista, hal 74-76.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar