KONSEP
INFAK DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI MASYARAKAT KECIL
[Sebuah
Tawaran Baru]
Oleh:
Dede Wahyudin*)
Pendahuluan
Salah satu
risalah Islam yang teragung adalah keadilan. Saking agungnya, keadilan menurut
mazhab Syi’ah merupakan salah satu dari rukun iman. Jika prinsip keadilan dalam
syi’ah itu dalam konteks kepemimpinan, maka prinsip keadilan yang diusung dalam
tulisan ini adalah keadilan dalam pemerataan akses pembangunan perekonomian bagi
masyarakat kecil.
Infak, sebagai
sebuah konsep strategis dalam Islam tidak banyak disentuh oleh kalangan
akademisi ekonomi syari’ah. Hal ini berawal dari sebuah pemahaman (baca; fikih)
yang masih mendikotomikan antara zakat, ifak dan shodaqoh. Padahal, banyak hal
yang bisa dikembangkan menjadi sebuah nilai atau konsep untuk membangun
perekonomian masyarakat kecil.
Masyarakat kecil
yang dimaksud dalam tulisan ini adalah masyarakat sebagai pelaku ekonomi
dengan pemilikan asset
yang sedikit, skala
usaha kecil, tingkat pendidikan rendah,
sehingga keikutsertaan mereka
dalam proses pembangunan tidak optimal
dan menjadikan perbedaan
(kesenjangan) diantara pelaku
ekonomi yang maju dengan produktivitas tinggi.[1]
Sedianya, tulisan ini hendak menggali pesan moral dan sosial dalam perintah
infak.
A. Pengertian Infak
Kata infak lazim
digunakan dan sudah menjadi peristilahan dalam Bahasa Indonesia. Kata infak
dalam Kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai; pemberian (sumbangan) harta dan
sebagainya untuk kebaikan.[2]
Asal kata infak sesungguhnya berasal dari bahasa Arab (infâq/إنفاق) derivasi dari نفق-ينفق-نفقا
أو نفاقا و إنفاق yang berarti sesuatu yang habis.[3]
Atau arti lain selain itu sebagaimana yang dijelaskan dalam Kamus al-Munjid
bahwa نفق-نفاق dapat berarti dua lubang atau berpura-pura dan didalam agama ia
dikenal dengan istilah munafiq.[4]
Secara
etimologi, istilah infak memiliki dua makna pokok, yaitu, pertama, terputusnya
sesuatu atau hilangnya sesuatu. Kedua, tersembunyinya sesuatu atau samarnya
sesuatu.[5]
Dari definisi tersebut, pengertian infak dalam hal ini adalah sesuatu yang
terputus atau hilang. Karena makna kedua dari dua pengertia di atas mengarah
kepada pengertian munafiq.
Dari sini, dapat
dipahami bahwa seseorang yang menafkahkan hartanya secara lahiriyah, akan
hilang hartanya di sisinya dan tidak ada lagi hubungan antara harta dengan
pemiliknya. Sehingga pengertian infak secara etimologi adalah pemberian harta
benda kepada orang lain yang akan habis atas hilang dan terputus dari pemilikan
orang yang memberi.
Sementara itu,
dalam “Ensiklopedi Islam di Indonesia” dijelaskan bahwa infak secara bahasa berasal
dari kata anfaqa, yunfiqu, infaaqan
yang berarti membelanjakan, mengeluarkan atau mempergunakan harta.[6]
Al Jurjani dalam kitabnya At-Ta’rifaat
menjelaskan bahwa infak adalah penggunaan harta untuk memenuhi kebutuhan (sharful
maal ilal haajah)[7].
Dalam
terminologi syari’at, infak berarti mengeluarkan atau memberikan sebagian
pendapatan untuk suatu kepentingan yang diperintahkan ajaran Islam.[8]
Sebagaimana yang termaktub dalam firman Allah Surat al-Baqarah ayat 2-3, yang
berbunyi:
y7Ï9ºs Ü=»tGÅ6ø9$# w |=÷u ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`É)FßJù=Ïj9 ÇËÈ tûïÏ%©!$# tbqãZÏB÷sã Í=øtóø9$$Î/ tbqãKÉ)ãur no4qn=¢Á9$# $®ÿÊEur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZã ÇÌÈ
Artinya: “Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan
padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, 3. (yaitu) mereka yang beriman
kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang
Kami anugerahkan kepada mereka”.
Namun, dalam
prakteknya, istilah infak sering juga disebut dengan istilah nafkah (nafakah). Penggunaan
kata nafkah dalam masyarakat tersebut, sesungguhnya menunjukkan katagori infak sebagai
nafkah umum, sedangkan pengeluaran (baca; infak) untuk diri sendiri dan
keluarga disebut nafkah khusus. Pengertian infak tersebut didasarkan pada sebuah
hadis Nabi saw. yang berbunyi “ ... satu dinar yang engkau nafkahkan di jalan
Allah, satu dinar yang engkau nafkahkan untuk membebaskan budak, satu dinar
yang engkau nafkahkan untuk orang miskin, atau satu dinar yang engkau nafkahkan
kepada keluargamu, yang paling besar pahalanya adalah yang engkau nafkahkan
kepada keluargamu”.
Tentang infak
ini, dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 215 dijelaskan:
tRqè=t«ó¡o #s$tB tbqà)ÏÿZã ( ö@è% !$tB OçFø)xÿRr& ô`ÏiB 9öyz ÈûøïyÏ9ºuqù=Î=sù tûüÎ/tø%F{$#ur 4yJ»tGuø9$#ur ÈûüÅ3»|¡pRùQ$#ur Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# 3 $tBur (#qè=yèøÿs? ô`ÏB 9öyz ¨bÎ*sù ©!$# ¾ÏmÎ/ ÒOÎ=tæ ÇËÊÎÈ
Artinya:
“Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja
harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam
perjalanan." dan apa saja kebaikan yang kamu buat, Maka Sesungguhnya Allah
Maha mengetahuinya”.
Dalam asbabun
nuzul ayat ini, terdapat dua pendapat.
1. Pendapat pertama mengatakan bahwa ayat ini
turun lebih dahulu dari pada ayat tentang zakat, karenanya ayat ini kemudian
dinasakhkan oleh ayat-ayat tentang zakat.
2. pendapat kedua berpendapat bahwa ayat
ini tetap muhkamat, artinya tidak dinasakhkan. Adapun argumennya didasari oleh
pertanyaan yang diajukan oleh Amr Ibn Jumuh kepada Rasulullah, ”Apa yang akan
kami nafkahi dari harta kami? dan kepada siapa kami berikan? Maka kemudian
turunlah ayat ini. Oleh sebab itu posisi ayat ini tetap dalam ke-muhkamat-nya
meskipun turun ayat tentang zakat yang posisi hukumnya adalah wajib.
Adapun tujuan infak
itu sendiri, al-Qur’an menjelaskannya dalam surat al-Baqarah ayat 265:
ã@sWtBur tûïÏ%©!$# cqà)ÏÿYã ãNßgs9ºuqøBr& uä!$tóÏGö/$# ÅV$|ÊötB «!$# $\GÎ7ø[s?ur ô`ÏiB öNÎgÅ¡àÿRr& È@sVyJx. ¥p¨Yy_ >ouqö/tÎ/ $ygt/$|¹r& ×@Î/#ur ôMs?$t«sù $ygn=à2é& Éú÷üxÿ÷èÅÊ bÎ*sù öN©9 $pkö:ÅÁã ×@Î/#ur @@sÜsù 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? îÅÁt/ ÇËÏÎÈ
Artinya:
“Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya Karena mencari
keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang
terletak di dataran Tinggi yang disiram oleh hujan lebat, Maka kebun itu
menghasilkan buahnya dua kali lipat. jika hujan lebat tidak menyiraminya, Maka
hujan gerimis (pun memadai). dan Allah Maha melihat apa yang kamu perbuat.
Dari sini, dapat
diketahui bahwa sesungguhnya infak itu semata hanya untuk memperoleh ridha
Allah dan sebagai penguat jiwa. Sehingga, dengan berinfak kondisi kejiwaan
(baca; keyakinan) seorang mukmin akan semakin mantap dalam menjalankan seruan
agama. Dalam hal ini, Quraish Shihab mengibaratkan infak sebagai sebuah benih
yang ditanam di kebun yang subur dan memiliki kecukupan air.[9]
Dari landasan
normatif tersebut memunculkan beragam status hukum tentang infak, yaitu bahwa
infak ada yang wajib, sunnah dan mubah. Infak wajib di antaranya adalah zakat,
kafarat, infak untuk keluarga dan sebagainya. Infak sunnah adalah infak yang
sangat dianjurkan untuk melaksanakannya namun tidak menjadi kewajiban, seperti
infak untuk dakwah, pembangunan masjid dan sebagainya
Dalam hal ini, Wahbah
al-Zuhayli berpendapat bahwa infak merupakan pemberian harta benda untuk
kebaikan, misalnya menolong orang-orang sengsara, fakir miskin dan anak yatim
piatuyang terlantar atau uintuk kemaslahatan umum dan kepentingan keagamaan.[10]
B. Konsep Infak Dalam Al-Qur’an
Dari paparan tentang
pengertian infak di atas, baik secara etimologi atau pun terminologi, dapat
dipahami bahwa infak memiliki arti lebih luas dari zakat sebagai kewajiban
personal terhadap harta yang dimiliki, karena infak memiliki makna mengeluarkan
atau menafkahkan harta yang dimiliki baik terhadap keluarga yang menjadi
tanggung jawab akibat perkawinan maupun untuk masyarakat yang membutuhkan
nafkah.
Perintah perihal
infak ini terdapat dalam Q.S al-Baqarah ayat 267-268, yang berbunyi:
$ygr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä (#qà)ÏÿRr& `ÏB ÏM»t6ÍhsÛ $tB óOçFö;|¡2 !$£JÏBur $oYô_t÷zr& Nä3s9 z`ÏiB ÇÚöF{$# ( wur (#qßJ£Jus? y]Î7yø9$# çm÷ZÏB tbqà)ÏÿYè? NçGó¡s9ur ÏmÉÏ{$t«Î/ HwÎ) br& (#qàÒÏJøóè? ÏmÏù 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# ;ÓÍ_xî îÏJym ÇËÏÐÈ ß`»sÜø¤±9$# ãNä.ßÏèt tø)xÿø9$# Nà2ããBù'tur Ïä!$t±ósxÿø9$$Î/ ( ª!$#ur Nä.ßÏèt ZotÏÿøó¨B çm÷ZÏiB WxôÒsùur 3 ª!$#ur ììźur ÒOÎ=tæ ÇËÏÑÈ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari
hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari
bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu
menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan
dengan memincingkan mata terhadapnya. dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya
lagi Maha Terpuji. Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan
dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu
ampunan daripada-Nya dan karunia. dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha
Mengatahui.”
Firman Allah di
atas mengisyaratkan supaya umat muslim agar mengeluarkan Infak
dari sebagian rezeki
hasil usaha (bekerja),
dan selalu mengeluarkan Infak
dari yang baik-baik.
Selain itu kita
juga harus waspada, karena
syaitan senantiasa mengoda
kita dengan kemiskinan ketika
kita akan atau sedang mengeluarkan infak. Padahal ketika kita berinfak, maka
pahalanya akan kembali kepada kita. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt.
dalam Q.S. as-Saba ayat 39, yang berbunyi:
ö@è% ¨bÎ) În1u äÝÝ¡ö6t s-øÎh9$# `yJÏ9 âä!$t±o ô`ÏB ¾ÍnÏ$t7Ïã âÏø)tur ¼çms9 4 !$tBur OçFø)xÿRr& `ÏiB &äóÓx« uqßgsù ¼çmàÿÎ=øä ( uqèdur çöyz úüÏ%κ§9$# ÇÌÒÈ
Artinya:
“Katakanlah: "Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezki bagi siapa yang
dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang
dikehendaki-Nya)". dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, Maka Allah
akan menggantinya dan Dia-lah pemberi rezki yang sebaik-baiknya.”
Ayat
tersebut mengambarkan bahwa harta
yang kita nafkahkan tidak
akan merugikan kita,
karena sesunguhnya apa yang
kita lakukan di
dunia akan mendapat
ganjaran di akhirat
nanti, dan Allah sekali-kali tidak akan mengingkari janji-janji-Nya dan
Allah Maha Mengetahui. Dengan perkataan lain, Allah swt. menjamin terhadap orang yang mengeluarkan hartanya
untuk infak itu akan beruntung.
Dari sudut
pandang sosiologi, perintah infak pada ayat ini dapat dimaknai sebagai modal
sosial bagi orang yang berinfak. Karena, secara
tidak langsung orang yang berinfak akan
lebih mudah berinteraksi dengan masyarakat sosial nya dan
akan lebih dekat dengan mereka. Selain itu, dengan berinfak akan meminimalisir
atau bahkan mencegah terjadinya sebuah kesenjangan sosial.
Sedangkan bila
dilihat dari terminologi ekonomi, infak merupakan kekuatan dan peluang bagi
pembangunan ekonomi masyarakat kecil yang memliki etos kerja atau pemberdayaan
untuk kaum marjinal (baca; dhu’afa). Dan, secara tidak langsung akan
meningkatkan daya beli mereka, ketika daya beli masyarakat meningkat jelas
akan meningkatkan pula permintaan barang
dan jasa, sehingga pada gilirannya roda perekonomian, baik dalam skala lokal
dan skala global, akan lebih berkembang.
C. Potret Angka Kemiskinan di Indonesia
Dari data yang
terhimpun, pada dekade 1976-1996, persentase penduduk miskin pernah mengalami
penurunan yaitu dari 40% menjadi 11,3%, namun pada periode 1996-1998 persentase
mereka menjadi 24,29% atau 49,5 juta jiwa. Bahkan International Labour
Organization (ILO) memperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia mencapai
129,6 juta atau sekitar 66,3% (BPS, 1999). Pada tahun 2002, persentase
kemiskinan telah mengalami penurunan, namun secara absolut jumlah mereka masih
tergolong tinggi, yaitu 43% atau sekitar 15,6% juta. [11]
Pada tahun 2007,
jumlah penduduk miskin adalah 37,17 juta orang atau 16,58% dari total penduduk
Indonesia. Satu tahun
sebelumnya, jumlah penduduk
miskin Indonesia sebanyak
39,30 juta atau sebesar 17,75% dari total jumlah
penduduk Indonesia tahun tersebut (TKPK, 2007). Ini berarti jumlah orang miskin
turun sebesar 2,13
juta jiwa. Meskipun
terjadi penurunan, secara
absolut angka ini tetap saja besar dan melampaui
keseluruhan jumlah penduduk Selandia Baru (4 juta), Australia (12 juta), dan
Malaysia (25 juta).
Angka kemiskinan ini
menggunakan poverty line
dari BPS sekitar Rp.5.500 per
kapita per hari.2
Jika menggunakan poverty line dari
Bank Dunia sebesar
US$2 per kapita per
hari, diperkirakan jumlah
orang miskin di
Indonesia berkisar antara
50-60% dari total penduduk.[12]
Selain itu,
daya saing sumber
daya manusia (SDM)
Indonesia juga secara
umum masih berada
di peringkat bawah. Sebelum krisis multidimensi (1997) World
Competitiveness Yearbook menempatkan Indonesia di urutan ke-39. Pada awal
abad ke-21 ini, posisi Indonesia merosot pada urutan ke-46 dari 47 negara yang
disurvei. Maknanya, setelah hampir 10 tahun reformasi berjalan,
daya saing SDM
Indonesia di tingkat
dunia belum mengalami
kemajuan yang berarti.
Terlepas dari
Indonesia yang merupakan mayoritas penduduknya adalah Muslim terbesar di
dunia dan fakta bahwa penduduk
Indonesia banyak yang
miskin, serta masih banyaknya negara
Muslim yang juga miskin,
karena memang, hampir semua kajian masalah kemiskinan masih berporos pada
paradigma modernisasi (modernisation paradigm) dan the product cantered model
yang kajiannya didasari oleh teori
pertumbuhan ekonomi kapital dan ekonomi neo-klasik ortodoks (suharto, 2002).
Hal ini tercermin dari tolak ukur yang digunakan untuk melihat garis kemiskinan
pada beberapa pendekatan seperti Gross National Product (GNP), Human
Development Index (HDI) dan Human Proverty Index (HPI), Social
Accounting Matrix (SAM), Physical Quality of LIfe Index (PQLI).
Jika dicermati,
pendekatan yang dipergunakan masih melihat kemiskinan sebagai individual
proverty dan bukan structural and social proverty. Sistem pengukuran serta
indikator yang digunakan terpusat untuk meneliti kondisi atau keadaan
kemiskinan berdasarkan variabel sosial-ekonomi yang dominan. Pendekatan
dimaksud belum menjangkau variabel yang menunjukkan dinamika kemiskinan dan
berporos pada outcomes sehingga kurang memperhatikan aktoro atau pelaku
kemiskinan serta sebab-sebab yang memperngaruhinya. [13]
Sampai di sini,
pemberdayakan masyarakat kecil jangan sampai berhenti pada sebuah konsep
ajaran, melainkan perlu wujud konkrit dalam implementasinya agar distribusi
kekayaan berputar secara normal atu tidak timpang. sebagaimana pesan Allah swt.
dalam surat al-Hasyr ayat 7, yang berbunyi:
!$¨B uä!$sùr& ª!$# 4n?tã ¾Ï&Î!qßu ô`ÏB È@÷dr& 3tà)ø9$# ¬Tsù ÉAqߧ=Ï9ur Ï%Î!ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ös1 w tbqä3t P's!rß tû÷üt/ Ïä!$uÏYøîF{$# öNä3ZÏB 4 !$tBur ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ßÏx© É>$s)Ïèø9$# ÇÐÈ
Artinya: “Apa saja harta rampasan yang diberikan
Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota.
Maka itu semua semata hanya untuk Allah, rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu
jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. apa yang
diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka
tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras
hukumannya”.
Masih satu tarikan nafas dengan ayat tersebut,
di samping agar terjadi keadilan ekonomi sosial, juga agar menjadi kekuatan
untuk terlepas dari jejaring-jejaring kapitalis yang senantiasa menghisap
keringat kaum marjinal tersebut.
D. Infak: Solusi Untuk Memberdayakan Ekonomi
Masyarakat Kecil
Agar ajaran
Islam memiliki fungsi strategis dalam menciptakan kestabilan perekonomian
umatnya, menurut hemat penulis, konsep infak yang selama ini dipahami secara
normatif (baca; fiqh) perlu dikembangkan. Karena, infak dalam fiqh (baca; hukum
Islam) kurang diperhitungkan sebagai sebuah alternatif bagi pemberdayaan kaum
mustadh’afin. Sehingga, perintah infak kurang memiliki daya ikat terhadap
golongan orang kaya. Padahal, jika ditelusur lebih dalam, peran infak sangat
vital bagi jalannya roda perekonomian masyarakat bawah yang kekurangan akses,
baik akses kapital (baca; modal), akses sosial (baca; pendidikan), akses
informasi (baca; market), dan seterusnya.
Untuk menjadikan
daya ikat terhadap golongan agniya, perlu meminjam teori sosial dan mengimplementasikan
gagasan ekonomi Islam secara holistik.
Pertama,
teori sosial. Dalam teori sosial dikatakan bahwa kemiskinan merupakan salah
satu permasalahan kesejahteraan sosial yang krusial. Dalam hal ini, teori
fungsi dapat dijadikan alat bedah untuk mengurai persoalan kesenjangan sosial
yang sesungguhnya. Seperti, faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhinya, bagaimana
karakteristik dan persoalan kemiskinan ini bisa terjadi, dan seberapa tingkat
potensi yang dapat dikembangkan atau diberdayakan melalui konsep infak.
Terkait dengan
ini, perlu juga mempertimbangkan gagasan Fukuyama tentang modal sosial.
Dalam bukunya yang
terkenal, Trust: The Social
Virtues and The Creation of Prosperity, Fukuyama telah menunjukkan bahwa
modal sosial memiliki kekuatan tersendiri dalam kemajuan ekonomi dan
kesejahteraan sosial sebuah negara. Menurutnya, negara-negara yang high trust societies cenderung
memiliki keberhasilan ekonomi yang mengagumkan. Sebaliknya, negara-negara yang low trust societies cenderung
memiliki kemajuan dan perilaku ekonomi yang lebih lamban dan inferior.
Sebagai seperangkat norma atau nilai informal
yang dimiliki bersama oleh para anggota suatu kelompok, modal sosial sangat
memungkinkan menjadi trust (keyakinan) dalam kerjasama yang dibangunnya.
Dengan keyakinan ini, atau trust dalam istilah yang digunakan Fukuyama, maka
ada kesediaan diantara mereka untuk menempatkan kepentingan bersama di atas
kepentingan pribadi, sehingga orang-orang dapat bekerjasama dengan baik.
Keyakinan yang
kuat bagaikan energi yang dapat membuat kelompok masyarakat atau organisasi
dapat bertahan. Sedangkan keyakinan yang lemah acap kali memicu konflik,
sehingga kehabisan energi pada saat dibutuhkan untuk pertahanan ekonominya.
Kedua,
teori ekonomi Islam. Dalam hal ini, teori ekonomi Islam yang sedang marak
diperbincangkan akhir-akhir ini perlu diimplementasikan secara holistik. Dalam
arti, menyeluruh dan mengakar hingga ke masyarakat marjinal. Karena secara prinsip,
sistem ekonomi islam berlandaskan pada multitype ownership, freedom to act,
dan social juctice. Beberapa pemikir ekonomi Islam, seperti Abdullah Zaky
Al Kaaf, mengemukakan bahwa prinsip deripatif itu ada 5 (lima), yakni:
kewajiban berusaha (freedom to act), membasmi pengangguran, mengakui hak
milik (multitype ownership), kesejahteraan sosial (social juctice),
dan iman kepada Allah Swt.[14]
Sedangkan Saefudin mengatakan bahwa prinsip ekonomi Islam itu meliputi ownership,
equilibrium, dan justice.[15]
Dengan demikian,
di samping sebagai kekuatan iman, infak juga (sekaligus) menjadi penguat
jalannya roda perekonomian. Dengan menggerakkan konsep infak dalam penguatan
ekonomi kaum miskin, maka si miskin dapat mengembangkan modal usahanya tanpa
harus memiliki agunan dalam besaran tertentu sehingga menjadi beban atau
kesulitan. Tentu, sebelumnya dilakukan pendalaman kapasitas terlebih dahulu,
sehingga si kaya / lembaga keuangan yang ada dapat menjamin keberlangsungan
putaran pinjaman tersebut. Sehingga akan terbangun interes bersama tentang penetapan
hak dan kewajiban bagi orang yang memiliki harta di luar konteks zakat sebagai
bentuk sebuah tanggung jawab sosial.
Jika hak dan
kewajiban ini terlaksana, maka akan melahirkan kekuatan tersendiri, bahkan
dapat berubah menjadi sebuah kebijakan pemerintah, seperti BMT atau yang
lainnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Quraisy Shihab, bahwa dengan terbentuknya
hak dan kewajiban dapat menimbulkan ”paksaan” kepada yang berkewajiban
melaksanakan.[16]
Pada posisi ini,
infak dapat dijadikan sebagai instrumen untuk jaminan sosial terhadap
orang-orang yang kurang beruntung. Dengan infak yang pengeluarannya tidak mesti
dihabiskan setiap tahun memberi peluang dana infak digunakan pada masa-masa
yang sangat dibutuhkan.
KESIMPULAN
Islam menjamin
penghidupan orang-orang faqir dan orang-orang yang tidak mampu untuk menghidupi
diri sendiri. Perintah infak dalam ajaran Islam berisi pada seruan untuk semua
umat manusia agar dapat menjamin jalannya roda kehidupan sehingga mereka yang
lemah secara finansial tidak harus menunggu dari kemurahan hati mereka yang
berkecukupan.
Kandungan ayat
dalam al-Quran telah banyak menyeru kepada umat manusia terutama umat Islam
agar menjadi pioner dalam memperjuangkan nilai-nilai keadilan sosial dan
keadilan perekonomian secara menyeluruh. Baik dalam kondisi politik yang stabil
ataupun labil, perintah infak selalu diprioritaskan.
Lembaga keuangan
baik dari pemerintah, swasta atau pun perorangan, harus sudah mulai memikirkan
konsep infak sebagai solusi mengatasi kesenjangan sosial. Terlebih, Indonesia
sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Maka, sudah saatnya
membudayakan infak untuk kaum marjinal, lemah dan papa.
DAFTAR PUSTAKA
Al Jurjani, tt, at-Ta’rifat,
Beirut: Dar al-Bayan Li at-Turats.
Al Kaaf, Abdullah Zaky, 2002, Ekonomi Dalam
Perspektif Islam, Bandung: Pustaka Setia.
Badan
Pusat Statistik dan Departemen Sosial. 2002. Penduduk Fakir Miskin Indonesia,
BPS: Jakarta Indonesia.
Departemen
Agama RI., Ensiklopedia Islam di Indonesia, Jilid 2,
Hafidhuddin,
Didin, 1998, Dakwah Aktual, Jakarta: Gema Insani Press.
Ibn
Fâris, bin Zakariyah, 1972, Mu’jam Maqâyis al-Lughah, Juz V, Cet.II,
Mesir: Mustâfa al-Bâby al-Halaby Wa Awlâduh.
Ma’luf, Louis, 1977, Al-Munjid Fiy al-Lughah,
Bairût: Dâr al-Masyriq.
Muhammad, A. A dan Karim, F.A.A., 1999,
Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam. Alih Bahasa: Imam Saefuddin,
Bandung: CV. Pustaka Sejati,.
Poerwadarminta,
W.J.S., 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet.II; Jakarta: Balai
Pustaka.
Shihab, M. Quraish, 2000, Tafsir al-Misbah,
Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jilid 1, Ciputat: Lentera Hati.
Suharto, Edi, 2008, Islam, Modal Sosial dan
Pengentasan Kemiskinan, Makalah disampaikan pada ”Indonesia Social Economic
Outlook”, Dompet Dhuafa, Jakarta 8 Januari 2008.
Sumodiningrat, Gunawan, 1997, Pembangunan Daerah
Dan Pemberdayaan Masyarakat,
Jakarta: PT. Bina Rena Pariwara.
Wahbah
al-Zuhayli, 1989, Al-Fiqh
al-Islam wa Adillatuh, Cet. III,
Beirut: Dar al-Fikr.
Yunus, Mahmud, 1992, Kamus Arab Indonesia,
Jakarta: Hidakarya Agung.
[1] Sumodiningrat,
Gunawan. 1997. Pembangunan Daerah
Dan Pemberdayaan Masyarakat,
Jakarta: PT. Bina Rena Pariwara, hlm. 167
[2] W.J.S.
Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet.II; Jakarta: Balai
Pustaka, 1989), h. 330.
[3] Lihat Mahmud Yunus,
Kamus Arab Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1992), h. 463.
[4] Lihat Louis Ma’lûf, Al-Munjid
Fiy al-Lughah (Bairût: Dâr al-Masyriq, 1977), h. 828
[5] Lihat
Ibn Fâris bin Zakariyah, Mu’jam Maqâyis al-Lughah, juz V (Cet.II; Mesir:
Mustâfa al-Bâby al-Halaby Wa Awlâduh, 1972), h. 454.
[6] Departemen Agama RI., Ensiklopedia Islam
di Indonesia: Jilid 2, h. 461
[8] Didin Hafidhuddin, Dakwah
Aktual, h. 22
[9] M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jilid 1, Ciputat: Lentera
Hati, 2000, hal. 536.
[10] Wahbah al-Zuhayli, Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, Dar al-Fikr, Cet. III, 1989,
hal. 765.
[11] Badan Pusat Statistik
dan Departemen Sosial. 2002. Penduduk Fakir Miskin Indonesia, BPS:
Jakarta Indonesia.
[12] Edi Suharto, Islam, Modal
Sosial dan Pengentasan Kemiskinan, Makalah disampaikan pada ”Indonesia Social
Economic Outlook”, Dompet Dhuafa, Jakarta 8 Januari 2008. hlm. 2
[13] Edi Suharto, Ibid.
[14] Abdullah Zaky Al Kaaf, Ekonomi
Dalam Perspektif Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2002, hlm. 82-83.
[15] Muhammad, A. A dan F.A.A
Karim, Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam. Alih Bahasa: Imam
Saefuddin, Bandung: CV. Pustaka Sejati, 1999, hlm. 22.
[16] M. Quraish Shihab,
Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Jilid 1, Ciputat:Lentera
Hati, 2002, hal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar