Sabtu, 08 Desember 2012


KONSEP INFAK DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI MASYARAKAT KECIL
[Sebuah Tawaran Baru]
Oleh: Dede Wahyudin*)
Pendahuluan
Salah satu risalah Islam yang teragung adalah keadilan. Saking agungnya, keadilan menurut mazhab Syi’ah merupakan salah satu dari rukun iman. Jika prinsip keadilan dalam syi’ah itu dalam konteks kepemimpinan, maka prinsip keadilan yang diusung dalam tulisan ini adalah keadilan dalam pemerataan akses pembangunan perekonomian bagi masyarakat kecil.
Infak, sebagai sebuah konsep strategis dalam Islam tidak banyak disentuh oleh kalangan akademisi ekonomi syari’ah. Hal ini berawal dari sebuah pemahaman (baca; fikih) yang masih mendikotomikan antara zakat, ifak dan shodaqoh. Padahal, banyak hal yang bisa dikembangkan menjadi sebuah nilai atau konsep untuk membangun perekonomian masyarakat kecil.
Masyarakat  kecil  yang dimaksud dalam tulisan ini adalah masyarakat sebagai pelaku  ekonomi  dengan  pemilikan  asset  yang  sedikit,  skala  usaha  kecil,  tingkat pendidikan  rendah,  sehingga  keikutsertaan  mereka  dalam  proses  pembangunan tidak  optimal  dan  menjadikan  perbedaan  (kesenjangan)  diantara  pelaku  ekonomi yang maju dengan produktivitas tinggi.[1] Sedianya, tulisan ini hendak menggali pesan moral dan sosial dalam perintah infak.
A.    Pengertian Infak
Kata infak lazim digunakan dan sudah menjadi peristilahan dalam Bahasa Indonesia. Kata infak dalam Kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai; pemberian (sumbangan) harta dan sebagainya untuk kebaikan.[2] Asal kata infak sesungguhnya berasal dari bahasa Arab (infâq/إنفاق) derivasi dari نفق-ينفق-نفقا أو نفاقا و إنفاق  yang berarti sesuatu yang habis.[3] Atau arti lain selain itu sebagaimana yang dijelaskan dalam Kamus al-Munjid bahwa نفق-نفاق dapat berarti dua lubang atau berpura-pura dan didalam agama ia dikenal dengan istilah munafiq.[4]
Secara etimologi, istilah infak memiliki dua makna pokok, yaitu, pertama, terputusnya sesuatu atau hilangnya sesuatu. Kedua, tersembunyinya sesuatu atau samarnya sesuatu.[5] Dari definisi tersebut, pengertian infak dalam hal ini adalah sesuatu yang terputus atau hilang. Karena makna kedua dari dua pengertia di atas mengarah kepada pengertian munafiq.
Dari sini, dapat dipahami bahwa seseorang yang menafkahkan hartanya secara lahiriyah, akan hilang hartanya di sisinya dan tidak ada lagi hubungan antara harta dengan pemiliknya. Sehingga pengertian infak secara etimologi adalah pemberian harta benda kepada orang lain yang akan habis atas hilang dan terputus dari pemilikan orang yang memberi.
Sementara itu, dalam “Ensiklopedi Islam di Indonesia” dijelaskan bahwa infak secara bahasa berasal dari kata anfaqa, yunfiqu, infaaqan  yang berarti membelanjakan, mengeluarkan atau mempergunakan harta.[6] Al Jurjani dalam kitabnya At-Ta’rifaat menjelaskan bahwa infak adalah penggunaan harta untuk memenuhi kebutuhan (sharful maal ilal haajah)[7].
Dalam terminologi syari’at, infak berarti mengeluarkan atau memberikan sebagian pendapatan untuk suatu kepentingan yang diperintahkan ajaran Islam.[8] Sebagaimana yang termaktub dalam firman Allah Surat al-Baqarah ayat 2-3, yang berbunyi:
y7Ï9ºsŒ Ü=»tGÅ6ø9$# Ÿw |=÷ƒu ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`ŠÉ)­FßJù=Ïj9 ÇËÈ tûïÏ%©!$# tbqãZÏB÷sムÍ=øtóø9$$Î/ tbqãKÉ)ãƒur no4qn=¢Á9$# $®ÿÊEur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZムÇÌÈ
Artinya: “Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, 3. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka”.
Namun, dalam prakteknya, istilah infak sering juga disebut dengan istilah nafkah (nafakah). Penggunaan kata nafkah dalam masyarakat tersebut, sesungguhnya menunjukkan katagori infak sebagai nafkah umum, sedangkan pengeluaran (baca; infak) untuk diri sendiri dan keluarga disebut nafkah khusus. Pengertian infak tersebut didasarkan pada sebuah hadis Nabi saw. yang berbunyi “ ... satu dinar yang engkau nafkahkan di jalan Allah, satu dinar yang engkau nafkahkan untuk membebaskan budak, satu dinar yang engkau nafkahkan untuk orang miskin, atau satu dinar yang engkau nafkahkan kepada keluargamu, yang paling besar pahalanya adalah yang engkau nafkahkan kepada keluargamu”.
Tentang infak ini, dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 215 dijelaskan:
štRqè=t«ó¡o #sŒ$tB tbqà)ÏÿZム( ö@è% !$tB OçFø)xÿRr& ô`ÏiB 9Žöyz ÈûøïyÏ9ºuqù=Î=sù tûüÎ/tø%F{$#ur 4yJ»tGuŠø9$#ur ÈûüÅ3»|¡pRùQ$#ur Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# 3 $tBur (#qè=yèøÿs? ô`ÏB 9Žöyz ¨bÎ*sù ©!$# ¾ÏmÎ/ ÒOŠÎ=tæ ÇËÊÎÈ

Artinya: “Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." dan apa saja kebaikan yang kamu buat, Maka Sesungguhnya Allah Maha mengetahuinya”.

Dalam asbabun nuzul ayat ini, terdapat dua pendapat.
1.      Pendapat pertama mengatakan bahwa ayat ini turun lebih dahulu dari pada ayat tentang zakat, karenanya ayat ini kemudian dinasakhkan oleh ayat-ayat tentang zakat.
2.      pendapat kedua berpendapat bahwa ayat ini tetap muhkamat, artinya tidak dinasakhkan. Adapun argumennya didasari oleh pertanyaan yang diajukan oleh Amr Ibn Jumuh kepada Rasulullah, ”Apa yang akan kami nafkahi dari harta kami? dan kepada siapa kami berikan? Maka kemudian turunlah ayat ini. Oleh sebab itu posisi ayat ini tetap dalam ke-muhkamat-nya meskipun turun ayat tentang zakat yang posisi hukumnya adalah wajib.
Adapun tujuan infak itu sendiri, al-Qur’an menjelaskannya dalam surat al-Baqarah ayat 265:
ã@sWtBur tûïÏ%©!$# šcqà)ÏÿYムãNßgs9ºuqøBr& uä!$tóÏGö/$# ÅV$|ÊötB «!$# $\GÎ7ø[s?ur ô`ÏiB öNÎgÅ¡àÿRr& È@sVyJx. ¥p¨Yy_ >ouqö/tÎ/ $ygt/$|¹r& ×@Î/#ur ôMs?$t«sù $ygn=à2é& Éú÷üxÿ÷èÅÊ bÎ*sù öN©9 $pkö:ÅÁム×@Î/#ur @@sÜsù 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÅÁt/ ÇËÏÎÈ
Artinya: “Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya Karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran Tinggi yang disiram oleh hujan lebat, Maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. jika hujan lebat tidak menyiraminya, Maka hujan gerimis (pun memadai). dan Allah Maha melihat apa yang kamu perbuat.

Dari sini, dapat diketahui bahwa sesungguhnya infak itu semata hanya untuk memperoleh ridha Allah dan sebagai penguat jiwa. Sehingga, dengan berinfak kondisi kejiwaan (baca; keyakinan) seorang mukmin akan semakin mantap dalam menjalankan seruan agama. Dalam hal ini, Quraish Shihab mengibaratkan infak sebagai sebuah benih yang ditanam di kebun yang subur dan memiliki kecukupan air.[9]
Dari landasan normatif tersebut memunculkan beragam status hukum tentang infak, yaitu bahwa infak ada yang wajib, sunnah dan mubah. Infak wajib di antaranya adalah zakat, kafarat, infak untuk keluarga dan sebagainya. Infak sunnah adalah infak yang sangat dianjurkan untuk melaksanakannya namun tidak menjadi kewajiban, seperti infak untuk dakwah, pembangunan masjid dan sebagainya
Dalam hal ini, Wahbah al-Zuhayli berpendapat bahwa infak merupakan pemberian harta benda untuk kebaikan, misalnya menolong orang-orang sengsara, fakir miskin dan anak yatim piatuyang terlantar atau uintuk kemaslahatan umum dan kepentingan keagamaan.[10]
B.     Konsep Infak Dalam Al-Qur’an
Dari paparan tentang pengertian infak di atas, baik secara etimologi atau pun terminologi, dapat dipahami bahwa infak memiliki arti lebih luas dari zakat sebagai kewajiban personal terhadap harta yang dimiliki, karena infak memiliki makna mengeluarkan atau menafkahkan harta yang dimiliki baik terhadap keluarga yang menjadi tanggung jawab akibat perkawinan maupun untuk masyarakat yang membutuhkan nafkah.
Perintah perihal infak ini terdapat dalam Q.S al-Baqarah ayat 267-268, yang berbunyi:
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä (#qà)ÏÿRr& `ÏB ÏM»t6ÍhŠsÛ $tB óOçFö;|¡Ÿ2 !$£JÏBur $oYô_t÷zr& Nä3s9 z`ÏiB ÇÚöF{$# ( Ÿwur (#qßJ£Jus? y]ŠÎ7yø9$# çm÷ZÏB tbqà)ÏÿYè? NçGó¡s9ur ÏmƒÉÏ{$t«Î/ HwÎ) br& (#qàÒÏJøóè? ÏmÏù 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# ;ÓÍ_xî îŠÏJym ÇËÏÐÈ ß`»sÜø¤±9$# ãNä.ßÏètƒ tø)xÿø9$# Nà2ããBù'tƒur Ïä!$t±ósxÿø9$$Î/ ( ª!$#ur Nä.ßÏètƒ ZotÏÿøó¨B çm÷ZÏiB WxôÒsùur 3 ª!$#ur ììźur ÒOŠÎ=tæ ÇËÏÑÈ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengatahui.”

Firman Allah di atas mengisyaratkan supaya umat muslim agar mengeluarkan  Infak  dari  sebagian  rezeki  hasil  usaha  (bekerja),  dan selalu  mengeluarkan  Infak  dari  yang  baik-baik.  Selain  itu  kita  juga harus  waspada,  karena  syaitan  senantiasa  mengoda  kita  dengan kemiskinan ketika kita akan atau sedang mengeluarkan infak. Padahal ketika kita berinfak, maka pahalanya akan kembali kepada kita. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt. dalam Q.S. as-Saba ayat 39, yang berbunyi:
ö@è% ¨bÎ) În1u äÝÝ¡ö6tƒ s-øÎh9$# `yJÏ9 âä!$t±o ô`ÏB ¾ÍnÏŠ$t7Ïã âÏø)tƒur ¼çms9 4 !$tBur OçFø)xÿRr& `ÏiB &äóÓx« uqßgsù ¼çmàÿÎ=øƒä ( uqèdur çŽöyz šúüÏ%꧍9$# ÇÌÒÈ

Artinya: “Katakanlah: "Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)". dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, Maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah pemberi rezki yang sebaik-baiknya.”

Ayat tersebut  mengambarkan bahwa  harta  yang kita  nafkahkan  tidak  akan  merugikan  kita,  karena  sesunguhnya  apa yang  kita  lakukan  di  dunia  akan  mendapat  ganjaran  di  akhirat  nanti, dan Allah sekali-kali tidak akan mengingkari janji-janji-Nya dan Allah Maha Mengetahui. Dengan perkataan lain, Allah swt. menjamin  terhadap orang yang mengeluarkan hartanya untuk infak itu akan beruntung.
Dari sudut pandang sosiologi, perintah infak pada ayat ini dapat dimaknai sebagai modal sosial bagi orang yang berinfak. Karena, secara  tidak  langsung  orang yang berinfak  akan  lebih  mudah  berinteraksi dengan masyarakat sosial nya dan akan lebih dekat dengan mereka. Selain itu, dengan berinfak akan meminimalisir atau bahkan mencegah terjadinya sebuah kesenjangan sosial.
Sedangkan bila dilihat dari terminologi ekonomi, infak merupakan kekuatan dan peluang bagi pembangunan ekonomi masyarakat kecil yang memliki etos kerja atau pemberdayaan untuk kaum marjinal (baca; dhu’afa). Dan, secara tidak langsung akan meningkatkan daya beli mereka, ketika daya beli masyarakat meningkat jelas akan  meningkatkan pula permintaan barang dan jasa, sehingga pada gilirannya roda perekonomian, baik dalam skala lokal dan skala global, akan lebih berkembang.
C.    Potret Angka Kemiskinan di Indonesia
Dari data yang terhimpun, pada dekade 1976-1996, persentase penduduk miskin pernah mengalami penurunan yaitu dari 40% menjadi 11,3%, namun pada periode 1996-1998 persentase mereka menjadi 24,29% atau 49,5 juta jiwa. Bahkan International Labour Organization (ILO) memperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 129,6 juta atau sekitar 66,3% (BPS, 1999). Pada tahun 2002, persentase kemiskinan telah mengalami penurunan, namun secara absolut jumlah mereka masih tergolong tinggi, yaitu 43% atau sekitar 15,6% juta. [11]
Pada tahun 2007, jumlah penduduk miskin adalah 37,17 juta orang atau 16,58% dari total penduduk Indonesia.  Satu  tahun  sebelumnya,  jumlah  penduduk  miskin  Indonesia  sebanyak  39,30  juta  atau sebesar 17,75% dari total jumlah penduduk Indonesia tahun tersebut (TKPK, 2007). Ini berarti jumlah orang  miskin  turun  sebesar  2,13  juta  jiwa.  Meskipun  terjadi  penurunan,  secara  absolut  angka  ini tetap saja besar dan melampaui keseluruhan jumlah penduduk Selandia Baru (4 juta), Australia (12 juta),  dan  Malaysia  (25  juta).  Angka  kemiskinan  ini  menggunakan  poverty  line  dari  BPS  sekitar Rp.5.500  per  kapita  per  hari.2  Jika  menggunakan  poverty line  dari  Bank  Dunia  sebesar  US$2  per kapita  per  hari,  diperkirakan  jumlah  orang  miskin  di  Indonesia  berkisar  antara  50-60%  dari  total penduduk.[12]
Selain  itu,  daya  saing  sumber  daya  manusia  (SDM)  Indonesia  juga  secara  umum  masih  berada  di peringkat bawah. Sebelum krisis multidimensi (1997) World Competitiveness Yearbook menempatkan Indonesia di urutan ke-39. Pada awal abad ke-21 ini, posisi Indonesia merosot pada urutan ke-46 dari 47 negara yang disurvei. Maknanya, setelah hampir 10 tahun reformasi  berjalan,  daya  saing  SDM  Indonesia  di  tingkat  dunia  belum  mengalami  kemajuan  yang berarti. 
Terlepas dari Indonesia yang merupakan mayoritas penduduknya adalah  Muslim terbesar  di  dunia dan fakta  bahwa  penduduk  Indonesia  banyak  yang  miskin,  serta  masih banyaknya  negara  Muslim  yang  juga  miskin, karena memang, hampir semua kajian masalah kemiskinan masih berporos pada paradigma modernisasi (modernisation paradigm) dan the product cantered model yang kajiannya didasari oleh  teori pertumbuhan ekonomi kapital dan ekonomi neo-klasik ortodoks (suharto, 2002). Hal ini tercermin dari tolak ukur yang digunakan untuk melihat garis kemiskinan pada beberapa pendekatan seperti Gross National Product (GNP), Human Development Index (HDI) dan Human Proverty Index (HPI), Social Accounting Matrix (SAM), Physical Quality of LIfe Index (PQLI).
Jika dicermati, pendekatan yang dipergunakan masih melihat kemiskinan sebagai individual proverty dan bukan structural and social proverty. Sistem pengukuran serta indikator yang digunakan terpusat untuk meneliti kondisi atau keadaan kemiskinan berdasarkan variabel sosial-ekonomi yang dominan. Pendekatan dimaksud belum menjangkau variabel yang menunjukkan dinamika kemiskinan dan berporos pada outcomes sehingga kurang memperhatikan aktoro atau pelaku kemiskinan serta sebab-sebab yang memperngaruhinya. [13]
Sampai di sini, pemberdayakan masyarakat kecil jangan sampai berhenti pada sebuah konsep ajaran, melainkan perlu wujud konkrit dalam implementasinya agar distribusi kekayaan berputar secara normal atu tidak timpang. sebagaimana pesan Allah swt. dalam surat al-Hasyr ayat 7, yang berbunyi:
!$¨B uä!$sùr& ª!$# 4n?tã ¾Ï&Î!qßu ô`ÏB È@÷dr& 3tà)ø9$# ¬Tsù ÉAqߧ=Ï9ur Ï%Î!ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ös1 Ÿw tbqä3tƒ P's!rߊ tû÷üt/ Ïä!$uŠÏYøîF{$# öNä3ZÏB 4 !$tBur ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$# ÇÐÈ
Artinya: “Apa saja harta rampasan yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota. Maka itu semua semata hanya untuk Allah, rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”.
 Masih satu tarikan nafas dengan ayat tersebut, di samping agar terjadi keadilan ekonomi sosial, juga agar menjadi kekuatan untuk terlepas dari jejaring-jejaring kapitalis yang senantiasa menghisap keringat kaum marjinal tersebut.

D.    Infak: Solusi Untuk Memberdayakan Ekonomi Masyarakat Kecil
Agar ajaran Islam memiliki fungsi strategis dalam menciptakan kestabilan perekonomian umatnya, menurut hemat penulis, konsep infak yang selama ini dipahami secara normatif (baca; fiqh) perlu dikembangkan. Karena, infak dalam fiqh (baca; hukum Islam) kurang diperhitungkan sebagai sebuah alternatif bagi pemberdayaan kaum mustadh’afin. Sehingga, perintah infak kurang memiliki daya ikat terhadap golongan orang kaya. Padahal, jika ditelusur lebih dalam, peran infak sangat vital bagi jalannya roda perekonomian masyarakat bawah yang kekurangan akses, baik akses kapital (baca; modal), akses sosial (baca; pendidikan), akses informasi (baca; market), dan seterusnya.
Untuk menjadikan daya ikat terhadap golongan agniya, perlu meminjam teori sosial dan mengimplementasikan gagasan ekonomi Islam secara holistik.
Pertama, teori sosial. Dalam teori sosial dikatakan bahwa kemiskinan merupakan salah satu permasalahan kesejahteraan sosial yang krusial. Dalam hal ini, teori fungsi dapat dijadikan alat bedah untuk mengurai persoalan kesenjangan sosial yang sesungguhnya. Seperti, faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhinya, bagaimana karakteristik dan persoalan kemiskinan ini bisa terjadi, dan seberapa tingkat potensi yang dapat dikembangkan atau diberdayakan melalui konsep infak.
Terkait dengan ini, perlu juga mempertimbangkan gagasan Fukuyama tentang modal sosial. Dalam  bukunya  yang  terkenal,  Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity, Fukuyama telah menunjukkan bahwa modal sosial memiliki kekuatan tersendiri dalam kemajuan ekonomi dan kesejahteraan  sosial  sebuah negara. Menurutnya, negara-negara  yang high trust societies cenderung memiliki keberhasilan ekonomi yang mengagumkan. Sebaliknya, negara-negara  yang low trust societies cenderung memiliki kemajuan dan perilaku ekonomi yang lebih lamban dan inferior. 
 Sebagai seperangkat norma atau nilai informal yang dimiliki bersama oleh para anggota suatu kelompok, modal sosial sangat memungkinkan menjadi trust (keyakinan) dalam kerjasama yang dibangunnya. Dengan keyakinan ini, atau trust dalam istilah yang digunakan Fukuyama, maka ada kesediaan diantara mereka untuk menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi, sehingga orang-orang dapat bekerjasama dengan baik.
Keyakinan yang kuat bagaikan energi yang dapat membuat kelompok masyarakat atau organisasi dapat bertahan. Sedangkan keyakinan yang lemah acap kali memicu konflik, sehingga kehabisan energi pada saat dibutuhkan untuk pertahanan ekonominya. 
Kedua, teori ekonomi Islam. Dalam hal ini, teori ekonomi Islam yang sedang marak diperbincangkan akhir-akhir ini perlu diimplementasikan secara holistik. Dalam arti, menyeluruh dan mengakar hingga ke masyarakat marjinal. Karena secara prinsip, sistem ekonomi islam berlandaskan pada multitype ownership, freedom to act, dan social juctice. Beberapa pemikir ekonomi Islam, seperti Abdullah Zaky Al Kaaf, mengemukakan bahwa prinsip deripatif itu ada 5 (lima), yakni: kewajiban berusaha (freedom to act), membasmi pengangguran, mengakui hak milik (multitype ownership), kesejahteraan sosial (social juctice), dan iman kepada Allah Swt.[14] Sedangkan Saefudin mengatakan bahwa prinsip ekonomi Islam itu meliputi ownership, equilibrium, dan justice.[15]
Dengan demikian, di samping sebagai kekuatan iman, infak juga (sekaligus) menjadi penguat jalannya roda perekonomian. Dengan menggerakkan konsep infak dalam penguatan ekonomi kaum miskin, maka si miskin dapat mengembangkan modal usahanya tanpa harus memiliki agunan dalam besaran tertentu sehingga menjadi beban atau kesulitan. Tentu, sebelumnya dilakukan pendalaman kapasitas terlebih dahulu, sehingga si kaya / lembaga keuangan yang ada dapat menjamin keberlangsungan putaran pinjaman tersebut. Sehingga akan terbangun interes bersama tentang penetapan hak dan kewajiban bagi orang yang memiliki harta di luar konteks zakat sebagai bentuk sebuah tanggung jawab sosial.
Jika hak dan kewajiban ini terlaksana, maka akan melahirkan kekuatan tersendiri, bahkan dapat berubah menjadi sebuah kebijakan pemerintah, seperti BMT atau yang lainnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Quraisy Shihab, bahwa dengan terbentuknya hak dan kewajiban dapat menimbulkan ”paksaan” kepada yang berkewajiban melaksanakan.[16]
Pada posisi ini, infak dapat dijadikan sebagai instrumen untuk jaminan sosial terhadap orang-orang yang kurang beruntung. Dengan infak yang pengeluarannya tidak mesti dihabiskan setiap tahun memberi peluang dana infak digunakan pada masa-masa yang sangat dibutuhkan.
KESIMPULAN
Islam menjamin penghidupan orang-orang faqir dan orang-orang yang tidak mampu untuk menghidupi diri sendiri. Perintah infak dalam ajaran Islam berisi pada seruan untuk semua umat manusia agar dapat menjamin jalannya roda kehidupan sehingga mereka yang lemah secara finansial tidak harus menunggu dari kemurahan hati mereka yang berkecukupan.
Kandungan ayat dalam al-Quran telah banyak menyeru kepada umat manusia terutama umat Islam agar menjadi pioner dalam memperjuangkan nilai-nilai keadilan sosial dan keadilan perekonomian secara menyeluruh. Baik dalam kondisi politik yang stabil ataupun labil, perintah infak selalu diprioritaskan.
Lembaga keuangan baik dari pemerintah, swasta atau pun perorangan, harus sudah mulai memikirkan konsep infak sebagai solusi mengatasi kesenjangan sosial. Terlebih, Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Maka, sudah saatnya membudayakan infak untuk kaum marjinal, lemah dan papa.














DAFTAR PUSTAKA

Al Jurjani, tt, at-Ta’rifat, Beirut: Dar al-Bayan Li at-Turats.

Al Kaaf, Abdullah Zaky, 2002, Ekonomi Dalam Perspektif Islam, Bandung: Pustaka Setia.

Badan Pusat Statistik dan Departemen Sosial. 2002. Penduduk Fakir Miskin Indonesia, BPS: Jakarta Indonesia.

Departemen Agama RI., Ensiklopedia Islam di Indonesia, Jilid 2,

Hafidhuddin, Didin, 1998, Dakwah Aktual, Jakarta: Gema Insani Press.

Ibn Fâris, bin Zakariyah, 1972, Mu’jam Maqâyis al-Lughah, Juz V, Cet.II, Mesir: Mustâfa al-Bâby al-Halaby Wa Awlâduh.

Ma’luf, Louis, 1977, Al-Munjid Fiy al-Lughah, Bairût: Dâr al-Masyriq.

Muhammad, A. A dan Karim, F.A.A., 1999, Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam. Alih Bahasa: Imam Saefuddin, Bandung: CV. Pustaka Sejati,.

Poerwadarminta, W.J.S., 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet.II; Jakarta: Balai Pustaka.

Shihab, M. Quraish, 2000, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jilid 1, Ciputat: Lentera Hati.

Suharto, Edi, 2008, Islam, Modal Sosial dan Pengentasan Kemiskinan, Makalah disampaikan pada ”Indonesia Social Economic Outlook”, Dompet Dhuafa, Jakarta 8 Januari 2008.

Sumodiningrat, Gunawan, 1997, Pembangunan  Daerah  Dan  Pemberdayaan Masyarakat, Jakarta: PT. Bina Rena Pariwara.

Wahbah al-Zuhayli,  1989, Al-Fiqh al-Islam  wa Adillatuh, Cet. III, Beirut: Dar al-Fikr.

Yunus, Mahmud, 1992, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung.




*)Penulis adalah dosen Institut Studi Islam Fahmina ( ISIF ) Cirebon
[1] Sumodiningrat, Gunawan.  1997.  Pembangunan  Daerah  Dan  Pemberdayaan Masyarakat, Jakarta: PT. Bina Rena Pariwara, hlm. 167
[2] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet.II; Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 330.
[3] Lihat Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1992), h. 463.
[4] Lihat Louis Ma’lûf, Al-Munjid Fiy al-Lughah (Bairût: Dâr al-Masyriq, 1977), h.  828
[5] Lihat Ibn Fâris bin Zakariyah, Mu’jam Maqâyis al-Lughah, juz V (Cet.II; Mesir: Mustâfa al-Bâby al-Halaby Wa Awlâduh, 1972), h. 454.
[6]  Departemen Agama RI., Ensiklopedia Islam di Indonesia: Jilid 2, h. 461
[7]  (Al Jurjani, tt : 39).
[8] Didin Hafidhuddin, Dakwah Aktual, h. 22
[9] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jilid 1, Ciputat: Lentera Hati, 2000, hal. 536.
[10] Wahbah al-Zuhayli,  Al-Fiqh al-Islam  wa Adillatuh, Dar al-Fikr, Cet. III, 1989, hal. 765.
[11] Badan Pusat Statistik dan Departemen Sosial. 2002. Penduduk Fakir Miskin Indonesia, BPS: Jakarta Indonesia.

[12] Edi Suharto, Islam, Modal Sosial dan Pengentasan Kemiskinan, Makalah disampaikan pada ”Indonesia Social Economic Outlook”, Dompet Dhuafa, Jakarta 8 Januari 2008. hlm. 2
[13] Edi Suharto, Ibid.
[14] Abdullah Zaky Al Kaaf, Ekonomi Dalam Perspektif Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2002, hlm. 82-83.
[15] Muhammad, A. A dan F.A.A Karim, Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam. Alih Bahasa: Imam Saefuddin, Bandung: CV. Pustaka Sejati, 1999, hlm. 22.
[16] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Jilid 1, Ciputat:Lentera Hati, 2002, hal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar