Bioetika dalam Perspektif Hukum Islam
(sebuah telaah ulang status bayi tabung)
A. Pendahuluan
Pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan di berbagai bidang telah mampu merangsang manusia
sebagai khalīfah fī al-ard untuk mencapai berbagai kemajuan yang
nantinya diharapkan mampu melampaui batas kuasa Sang Pencipta-makhluk, sehingga
tidak heran jika atheis menjadi salah satu pilihan yang terus meningkat karena
memang memikat, menurut beberapa orang.
Ironisnya,
perkembangan yang sedemikian pesat tersebut dapat menimbulkan masalah,
benar-benar masalah besar, manakala agama dan norma tidak dapat menjalankan
fungsi sebagaimana mestinya. Berbagai “pelanggaran” akibat penyalahgunaan
kemajuan ini pun mulai bermunculan dan disinyalir akan terus bermunculan entah
sampai kapan, sehingga dirasa perlu membentuk komite yang menata dan mengatur
pola penyaluran, penggunaan, dan pemanfaatan kemajuan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Bioetika jawabannya.
Dilatar belakangi oleh adanya masalah-masalah yang timbul dari kecerobohan
manusia seperti polusi lingkungan yang berkembang cepat, sehingga menyebabkan
lingkungan bumi beserta sistem ekologinya dalam bahaya. Masalah lingkungan ini mengancam kelestarian manusia di muka bumi. Pada
saat itu bioetika merupakan ilmu untuk mempertahankan hidup dalam mengatasi
kepunahan lingkungan dan mengatasi kepunahan manusia.
Dalam perkembangannya bioetika
cenderung mengarah pada penanganan issu-issu tentang nilai-nilai dan etika yang
timbul karena perkembangan ilmu dan teknologi serta biomedis yang cepat selama
15 tahun terakhir. Misalnya di bidang medis, bioetika hanya mengarah pada
ketentuan atau kode-kode tentang hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan
dalam tindakan medis seperti transplantasi, kloning, aborsi, bayi tabung dan
lain-lain. Jadi pengertian bioetika di atas berbeda dengan konsep awal yang
diperkenalkan oleh Potter, yaitu etika yang diterapkan dalam menghadapi
masalah-masalah lingkungan.
Dalam tulisan ini bioetika yang akan dibahas bukanlah merupakan konsep Potter yang memaparkan etika
manusia terhadap lingkungan hayati, melainkan konsep yang digagas kemudian,
seputar penanganan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan jika pada tulisan
sebelumnya permasalahan yang dingkat meliputi kloning, euthanasia, dan
inseminasi buatan (bayi tabung), maka pada kesempatan kali ini penulis
akan fokus dengan hanya membahas
inseminasi buatan. Karena dirasa pada isu inilah banyak menimbulkan suara-suara pro dan
kontra (crusial).
Selanjutnya, isi tulisan ini memaparkan tentang seluk
beluk sejarah bioetika disertai dengan perkembangannya. Setelah itu dilanjutkan
dengan pemaparan yang berkenaan dengan inseminasi buatan, dimulai dari
pengertian, bagaimana, dan seperti apa proses inseminasi buatan itu. Dan yang
terakhir tentunya mengeksplor kembali bagaimana permasalahan inseminasi buatan
ini ditanggapi ketika bertemu bersinggungan dengan agama.
Bioetika sebagai kata dan konsep;
definisi dan sejarah perkembangannya
1.
Definisi
Secara leksikal, bioetika berasal dari kata bios yang berarti hidup atau segala sesuatu yang menyangkut
kehidupan, dan kata ethicos yang
berhubungan dengan etika atau moral.[2]
Adapun dalam perkembangannya, istilah ini mengalami perubahan dan penjabaran
yang berbeda-beda. V.R. Potter, yang dianggap sebagai pencetus istilah ini,
mendefinisikan bioetika sebagai suatu disiplin ilmu baru yang menggebungkan
pengetahuan biologi dengan pengetahuan mengenai sistem nilai manusia, yang akan
menjadi jembatan antara ilmu pengetahuan dan kemanusiaan, mempertahankan dan
memperbaiki dunia beradab. Sedangkan definisi yang muncul kemudian lebih
bersifat melengkapi nilai-nilai yang telah digagas sebelumnya.
UNESCO sendiri, di dalam Preliminary Draft Declaration on Universal
Norms on Bioethics pada tahun 2005 menyatakan bahwa bioetika mengacu pada
kajian sistematis, plural, dan interdisiplin dalam penyelesaian masalah etika
yang timbul dari ilmu-ilmu kedokteran, hayati, dan sosial sebagaimana yang
diterapkan pada manusia dan hubungannya dengan biosfera, termasuk masalah yang
terkait dengan ketersediaan dan keterjangkauan perkembangan keilmuan dan
keteknologian serta penerapannya.[3]
2. Sejarah kemunculan
Orang yang biasanya disebut untuk kali pertama
menciptakan istilah bioethics adalah Van Rensselaer Potter, peneliti
biologi di bidang kanker dan guru besar di Universitas Wisconsin. Awal tahun
1971 ia menerbitkan buku Bioethics: Bridge to the Future. Tahun
sebelumnya ia sudah menulis sebuah artikel yang menyebut istilah yang sama: Bioethics,
the Science of Survival. Kemudian Potter mengakui bahwa istilah ini
tiba-tiba timbul dalam pemikirannya, semacam "ilham". Ia memaksudkan
bioetika sebagai ilmu baru yang menggabungkan pengetahuan ilmu-ilmu hayati
dengan pengetahuan tentang sistem-sistem nilai manusiawi dari etika. Dengan
demikian, dua kebudayaan ilmiah yang senantiasa terpisah dapat memperkuat dan
memperkaya satu sama lain. Hal itu perlu supaya bangsa manusia dapat bertahan
hidup. Sebagai tujuan terakhir bidang baru ini ia melihat "not only to
enrich individual lives but to prolong the survival of the human species in an
acceptable form of society".
Tidak lama kemudian André Hellegers dan kawan-kawan mulai memakai juga
kata bioethics. Hellegers adalah ahli kebidanan, fisiologi fetus, dan
demografi yang berasal dari Belanda dan bekerja di Universitas Georgetown,
Washington DC. Ia berpikir bahwa dia sendiri (bersama rekan-rekannya)
menciptakan istilah itu untuk kali pertama dan memang mungkin terjadi demikian,
tak tergantung dari Potter. Namun, lebih probabel adalah Hellegers membaca kata
itu dalam artikel atau buku Potter, lalu melupakan asal-usul itu dan secara
spontan memberi isi baru kepada istilah ini. Yang pasti adalah Hellegers
memakai kata bioetika seperti dimengerti kemudian. Ia memaksudkan bioetika
sebagai kerja sama antara ilmu-ilmu hayati, ilmu sosial, dan etika dalam
memikirkan masalah-masalah kemasyarakatan dan moral yang timbul dalam
perkembangan ilmu-ilmu biomedis.
Pada tahun 1971 Hellegers mendirikan The Joseph and Rose Kennedy
Institute for the Study of Human Reproduction and Bioethics di kampus
Universitas Georgetown, Washington DC, kemudian namanya diubah menjadi Kennedy
Institute of Ethics. Pendirian institut ini dimungkinkan karena sumbangan besar
keluarga Kennedy. Hellegers menjadi direktur pertama. Dalam hal ini ia terutama
tampil sebagai organisator dan inspirator yang menggerakkan orang lain. Ia
sendiri hanya menerbitkan sedikit publikasi. Di antara staf selama tahun-tahun
pertama terdapat ahli-ahli filsafat dan etika: Edmund Pellegrino (juga dokter),
Tom Beauchamp, James Childress, Robert Veatch. Melalui ceramah, kursus,
publikasi ilmiah serta populer, partisipasi dalam komisi-komisi, dan lain-lain
mereka memberi kontribusi besar dalam mengembangkan bioetika sebagai suatu
bidang intelektual dan akademis yang khusus. Antara lain mereka menerbitkan
Encyclopedia of Bioethics, 1978, empat jilid, di bawah redaksi Warren Reich.
Ada yang berpendapat bahwa ensiklopedi itu memainkan peranan penting
dalam menciptakan kesatuan, koherensi, dan arah jelas bagi bioetika sebagai
suatu bidang ilmiah yang baru. Edisi kedua keluar pada tahun 1995 dalam lima
jilid, dengan isi yang 80 persennya baru. L Walters dan TJ Kan memimpin proyek
Bibliography of Bioethics, yang menginventarisasi semua literatur internasional
di bidang bioetika. Dengan mengikuti perkembangan teknologi informasi, proyek
ini kemudian dikomputerasi lagi. Proyek khusus dari dua anggota staf adalah
buku Beauchamp/Childress, The Principles of Biomedical Ethics, 1979. Buku ini
menjadi buku pegangan yang paling banyak dipakai dalam dunia berbahasa Inggris
di bidang bioetika. Edisi- edisi berikutnya mengalami banyak revisi. Edisi
kelima keluar pada tahun 2001. Setelah berdiri 20 tahun, institut ini baru
memiliki majalah ilmiah sendiri: Kennedy Institute of Ethics Journal (sejak
1991), dan segera menjadi salah satu majalah terkemuka di bidangnya.
Kennedy Institute bukan lembaga pertama di
bidang bioetika. Dua tahun sebelumnya di Hastings-on-the-Hudson, New York,
sudah didirikan Institute of Society, Ethics, and the Life Sciences (1969) yang
kemudian dikenal dengan nama singkat Hastings Center. Pusat Bioetika ini
didirikan oleh Daniel Callahan, ahli filsafat, dan Willard Gayling, profesor
psikiatri di Universitas Columbia, New York. Mereka mendirikan lembaga baru ini
sebagai "an independent, nonpartisan, nonprofit organization that
addresses fundamental ethical issues in the areas of health, medicine and the
environment". Jadi, nama dan program inti mereka tidak memakai nama
bioetika. Namun, dalam kenyataan mereka berkecimpung dalam usaha yang tidak
lama sesudahnya dimengerti sebagai bioetika. Dan kadang-kadang mereka memakai
istilah bioetika juga, seperti misalnya Callahan dalam artikelnya yang terkenal
Bioethics as a discipline (1973). Hastings Center ini menerbitkan Hastings
Center Report (sejak 1971) yang berulang kali dipuji sebagai majalah paling
bermutu mengenai bioetika. Di samping itu mereka menerbitkan juga IRB: A Review
of Human Subjects Research, jurnal khusus untuk komisi-komisi etika penelitian.
Dari semula pusat mereka berstatus independen dan tidak berafiliasi dengan
perguruan tinggi, tetapi mereka banyak membantu sekolah tinggi dan universitas
merancang program- program pengajaran bioetika atau etika profesi.
3.
Globalisasi Perkembangan
Dengan demikian, gerakan bioetika lahir di
Amerika Serikat. Dua lembaga perintis di Washington dan New York itu cepat
sekali diikuti oleh pusat-pusat lain di Amerika. Tidak lama kemudian, di luar
Amerika bioetika menarik perhatian. Mulai tumbuh pusat-pusat bioetika di Eropa,
Australia, Amerika Selatan, dan banyak tempat lain lagi. Pada tahun 1985
pusat-pusat Bioetika di Eropa bergabung dalam ikatan kerja sama yang disebut
European Association for Centres of Medical Ethics. Nama ini merupakan semacam
kompromi. Rencana pertama memakai nama bioetika, tetapi anggota dari Perancis
keberatan. Karena itu, disetujui nama yang lebih tradisional. Namun, tampaknya
di Perancis juga kini istilah bioéthique sudah diterima sebagai suatu
hal yang biasa saja.
Sementara itu, globalisasi gerakan bioetika berkembang terus. Tidak bisa
dihindarkan lagi, perlu dibentuk juga suatu organisasi internasional yang dapat
memfasilitasi komunikasi global antara peminat-peminat bioetika. Hal itu
terwujud dengan didirikannya International Association for Bioethics. Mereka
mengadakan kongres perdana di Amsterdam pada tahun 1992. Sebagai ketua pertama
dipilih Peter Singer, ahli bioetika terkenal dari Australia yang kemudian
menjadi profesor di Amerika Serikat dan Kanada. Singer juga menjadi penggerak
dan organisator utama untuk asosiasi internasional ini. Setiap dua tahun mereka
menyelenggarakan kongres besar. Kongres Dunia yang ke-7 berlangsung di Sydney,
Australia, November 2004. Jurnal resmi mereka berjudul Bioethics, yang sejak
2001 didampingi oleh Developing World Bioethics, menyoroti secara khusus
masalah bioetika di negara-negara berkembang dan terbit dua nomor setahun.
Jika kita memandang gerakan bioetika sebagaimana sudah bergulir sejak
kira-kira 35 tahun ini, ada terutama tiga ciri yang menonjol. Bioetika bersifat
interdisipliner, internasional, dan pluralistis. Hal itu dapat dijelaskan lagi
sebagai berikut.
Pertama, interdisiplinaritas sering disebut
sebagai cita-cita ilmu pengetahuan, tetapi dalam kenyataan tidak begitu mudah
untuk direalisasikan. Namun, bioetika dalam hal ini cukup berhasil. Bioetika
menjadi semacam "meja bundar" yang mengumpulkan berbagai ilmu yang
menaruh perhatian khusus untuk masalah kehidupan (bios): ilmu-ilmu biomedis,
hukum, teologi, ilmu-ilmu sosial, tapi tempat utama diduduki oleh ahli-ahli
etika filosofis. Jika kita melihat pusat-pusat bioetika atau forum-forum
bioetika internasional, yang terutama menjadi penggerak dalam dialog
interdisipliner ini adalah para etikawan. Hal itu hanya dimungkinkan karena
etika filosofis sudah lama meninggalkan menara gadingnya dan para etikawan
tentu harus bersedia memasuki betul bidang ilmiah yang mereka bicarakan, yang
kadang-kadang sangat kompleks.
Kedua, internalisasi merupakan suatu ciri yang
menandai bioetika sejak permulaannya. Para etikawan Amerika sering pergi ke
luar negeri dan menerima tamu dari berbagai bangsa di pusat-pusat bioetika
mereka. Ilmu pengetahuan menurut kodratnya bersifat internasional. Karena itu,
problem-problem etis yang ditimbulkan dalam perkembangan ilmu-ilmu hayati
bersifat internasional pula. Dengan demikian, mudah terjadi globalisasi
bioetika yang dilukiskan tadi.
Ketiga, pluralisme merupakan ciri lain. Dalam
dialog sekitar bioetika, sebanyak mungkin golongan dan pandangan
diikutsertakan. Moral keagamaan didengar, bukan saja moral agama mayoritas, tapi
juga moral agama-agama minoritas (kalau ada). Moral sekuler juga tidak
diabaikan. Dialog bioetika diwarnai keterbukaan dan suasana demokratis. Di
negara-negara yang punya peraturan hukum mengenai masalah kontroversial seperti
aborsi atau eutanasia, sebelum keputusan diambil, diadakan diskusi luas untuk
mendengarkan pendapat semua pihak yang berkepentingan. Akhirnya tercapai
kesepakatan dalam parlemen meski barangkali tidak disetujui beberapa pihak
agama. Namun, sebelumnya mereka sempat mengemukakan pendapatnya. Dalam
demokrasi mau tidak mau harus terjadi demikian.
Kalau ditanyakan lagi mengenai agenda yang dikerjakan bioetika selama
ini, barangkali dapat dibedakan tiga wilayah besar.
Pertama, masalah yang menyangkut hubungan
antara para penyedia layanan kesehatan dan para pasien. Di sini termasuk banyak
tema dari etika kedokteran tradisional. Namun, konteksnya sering berbeda juga
karena dalam suasana modern, diberi tekanan besar pada otonomi pasien. Etika
keperawatan bisa mendapat juga tempatnya di sini.
Kedua, masalah keadilan dalam alokasi layanan
kesehatan. Bagi orang sakit, layanan kesehatan merupakan suatu hak asasi
manusia. Kalau di Indonesia kita menganggap serius keadilan sosial (last but
not least dalam urutan Pancasila), wilayah permasalahan yang kedua ini menjadi
sangat penting.
Ketiga, wilayah
paling luas adalah topik-topik etika yang ditimbulkan oleh kemajuan dramatis
dalam ilmu dan teknologi biomedis. Di sini pertama-tama etika penelitian
mendapat tempatnya. Di antara topik-topik etika yang paling menonjol saat ini
boleh disebut masalah kloning, penelitian tentang sel-sel induk embrio dan
banyak persoalan dalam konteks reproduksi teknologis. Misalnya, boleh kita
ciptakan saviour siblings? Artinya, embrio yang melalui skrining genetik sudah
dipastikan cocok untuk menjadi donor sumsum bagi saudaranya (nanti) yang
menderita leukemia dan diimplantasi dalam rahim ibu semata-mata untuk
menyelamatkan saudaranya yang sakit. [4]
B. Al-Qur’an vis a vis Prinsip Bioetika
Dalam bioetika, moral dan etika itu sendiri merupakan prinsip dasar
yang benar-benar harus dijadikan pijakan dalam pemanfaatan teknologi yang
sedang berkembang pesat kini. Al-Qur’an dan Hadis memang tidak membahas permasalahan
bioetika secara jelas, hal ini juga diperparah dengan ketidakjelasan prinsip
bioetika beserta batasannya. Namun, rasanya cukuplah apa yang dinyatakan oleh
Umar Anggara Jenie:
“Istilah bioetik muncul dengan tujuan memberikan solusi kepada konflik
moral yang kian meningkat seiring semakin majunya ilmu pengetahuan di bidang
medis dan biologi. Prinsip bioetik ialah respek kepada otonomi, keadilan,
kebermanfaatan dan antikejahatan. Bioetik tidak bermaksud untuk menghalangi dan
menghambat pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan sekadar
memberikan rambu-rambu agar tidak terjadi manipulasi."[5]
Jika memang prinsip bioetik adalah sebagaimana
yang telah disebutkan di atas, sesungguhnya al-Qur’an telah jauh-jauh hari
menyinggungnya. Dan dapat segera kita sadari bahwa bioetika memiliki scope
yang sangat luas, kompleks, dan problematis. Otonomi yang dianggap sebagai
prinsip bioetik tidak hanya terbatas pada lingkup aspek kemanusiaan saja
(manusia sebagai makhluk), tetapi juga aspek keilahian Tuhan sebagai al-Khāliq
(Q.S. 2:255, 260; Q.S. 67:2; Q.S. 4: ; Q.S. 5:3,151; Q.S. al-Jāśiyah: 23; Q.S.
33:72; Q.S. 49:10; dan lain-lain), sedangkan keadilan (Q.S. 4:58; Q.S. 7:29;
Q.S. 16:90; Q.S. 42:15; dan lain sebagainya), kebermanfaatan (Q.S. 5:3; Q.S.
6:105, 108; Q.S. 7:18; Q.S. 47:144; dan lain-lain), dan anti kejahatan (Q.S.
2:148, 158, 165; Q.S. 16:53; Q.S. 28:77; dan lain-lain) merepresentasikan
posisi etika sebagi prinsip dasar manusia.[6] Dari
sudut pandang lain, dapat kita lihat pula dalam pembahasan konsep al-Furqān
Muhammad Syahrūr yang menyitir surat al-An’ām ayat 151-153 dan
memposisikannya sebagai pilar moral umum (al-furqān al-‘āmm) dalam
bentuk sepuluh wasiat yang merupakan inti dari ketakwaan sosial.[7]
C.
Respon
cendikiawan muslim seputar permasalahan bioetika
Perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan
teknologi yang juga telah memicu munculnya penemuan-penemuan baru berikut
akibatnya ternyata menimbulkan berbagai respon dari berbagai kalangan;
akademisi, rohaniawan/agamawan, bahkan orang-orang biasa (baca: awam) pun turut
berpartisipasi memberikan respon yang nantinya, mungkin dianggap, membidani
kelahiran komisi bioetika di berbagai belahan dunia. Tak ketinggalan para
cendikiawan muslim pun turut serta memberikan responnya. Beberapa di antaranya
memang tidak menyebut istilah bioetika secara tersurat, tapi dari apa yang
mereka paparkan tampak adanya kesesuaian dengan problem seputar bioetika. Abul
Fadl Mohsin Ebrahim dalam bukunya yang berjudul Kloning, Eutanasia,
Transfusi Darah, Transplantasi Organ, dan Eksperimen Pada Hewan, Guru Besar
Studi Islam ini menjelaskan hal-hal yang terkait dengan isu-isu bioetika. Gaya
tutur khas ulama fikih yang terkesan “hitam-putih” sepertinya memang sulit
dilepaskan dari ranah kajian tersebut meskipun beliau tetap berusaha bersikap
moderat dengan turut menghadirkan sudut pandang bioetika yang lebih
mengedepankan rasa kemanusian.
Di dalam bukunya itu pula dapat diketahui gagasan beliau dalam
menyikapi isu-isu bioetika yang marak bermunculan. Beliau menyatakan bahwa
dalam segala hal, pertama, manusia diberi wilayah kekuasaan yang
mencakup segala sesuatu di dunia ini dan ini terekam di dalam beberapa ayat
al-Qur’an, di antaranya:
t¤yur /ä3s9 $¨B
Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû
ÇÚöF{$# $YèÏHsd çm÷ZÏiB 4 ¨bÎ) Îû
Ï9ºs
;M»tUy
5Qöqs)Ïj9 crã©3xÿtGt ÇÊÌÈ
Artinya: “dan Dia
telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya,
(sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.” (Q.S.
al-Jāśiyah: 13)
Menurut
beliau, ayat ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa manusia memiliki kekuasaan
mutlak untuk berbuat sekehendak hatinya dan tidak pula memiliki hak tanpa batas
untuk menggunakan alam sehingga merusak keseimbangan ekologisnya. Lebih lanjut,
signifikansi mendasar ayat ini adalah mengingatkan umat manusia bahwa Pencipta
mereka telah menjadikan semua yang ada di alam ini sebagai amanah yang harus
mereka jaga.
D. Inseminasi buatan: Isu seputar bioetika
Dalam perkembangannya, banyak isu yang dianggap berkaitan dengan
bioetika mulai bermunculan. Isu-isu tersebut pun direspon dengan berbagai
tanggapan, sebagian besar mengkhawatirkan adanya pelanggaran dalam
pemanfaatannya, karena menurut sebagian orang pencapaian tersebut disinyalir
berpotensi disalahgunakan. Dalam kesempatan kali ini, penulis membatasi
permasalahan hanya dalam ranah kasus yang berkaitan dengan inseminasi buatan.
Pengertian inseminasi buatan merupakan terjemahan dari artificial
insemination. Artificial artinya buatan atau tiruan, sedangkan insemination
artinya pemasukan. Dalam kamus, kata ini dimaknai dengan pembuahan buatan. Dan
istilah bayi tabung muncul sebagai hasil dari pembuahan tiruan itu.[8]
Salah
satunya adalah pelayanan terhadap bayi tabung yang dalam dunia kedokteran
dikenal dengan istilah fertilisasi-in-vitro dan memiliki pengertian sebagai
berikut : Fertilisasi-in-vitro adalah pembuahan sel telur oleh sel sperma di
dalam tabung petri yang dilakukan oleh petugas medis. Inseminasi buatan pada
manusia sebagai suatu teknologi reproduksi berupa teknik menempatkan sperma di
dalam vagina wanita, pertama kali berhasil dipraktekkan pada tahun 1970. Awal
berkembangnya inseminasi buatan bermula dari ditemukannya teknik pengawetan
sperma. Sperma bisa bertahan hidup lama bila dibungkus dalam gliserol yang
dibenamkan dalam cairan nitrogen pada temperatur -321 derajat Fahrenheit.
Pada mulanya program pelayanan ini bertujuan untuk menolong pasangan suami istri yang tidak mungkin memiliki keturunan secara alamiah disebabkan tuba fallopi istrinya mengalami kerusakan yang permanen. Namun kemudian mulai ada perkembangan dimana kemudian program ini diterapkan pula pada pasutri yang memiliki penyakit atau kelainan lainnya yang menyebabkan tidak dimungkinkan untuk memperoleh keturunan.
Pada mulanya program pelayanan ini bertujuan untuk menolong pasangan suami istri yang tidak mungkin memiliki keturunan secara alamiah disebabkan tuba fallopi istrinya mengalami kerusakan yang permanen. Namun kemudian mulai ada perkembangan dimana kemudian program ini diterapkan pula pada pasutri yang memiliki penyakit atau kelainan lainnya yang menyebabkan tidak dimungkinkan untuk memperoleh keturunan.
Di satu sisi bayi tabung merupakan suatu hikmah. Karena dengan proses ini dapat membantu pasangan suami istri yang subur tetapi karena suatu gangguan pada organ reproduksi, mereka tidak dapat mempunyai anak. Dalam kasus ini, sel telur istri dan sperma suami dipertemukan di luar tubuh dan zigot yang terjadi ditanam dalam kandungan istri. Pada hal ini kiranya tidak ada pendapat pro dan kontra terhadap bayi yang lahir karena merupakan keturunan genetik suami dan istri itu sendiri. Oleh karena itu, anak tersebut baik secara biologis ataupun yuridis mempunyai satus sebagai anak sah (keturunan genetik) dari pasangan tersebut. Sehingga memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan lainnya.
Akan tetapi seiring perkembangannya, mulai timbul persoalan dimana semula program ini dapat diterima oleh semua pihak karena tujuannya yang “mulia” menjadi pertentangan. Terkhusus bagi kasus bayi tabung yang berasal dari sperma pendonor, dalam artian bukan dari sperma suami sendiri. Karena nantinya akan timbul pertanyaan yang bernada bagaimanakah status keperdataan dari bayi yang dilahirkan melalui proses inseminasi buatan? lebih lanjut lagi, bagaimanakah hubungan perdata bayi tersebut dengan surogate mother-nya (dalam kasus terjadi penyewaan rahim) dan orang tua biologisnya? darimanakah ia memiliki hak mewaris?
Di bawah ini adalah tinjauan segi hukum perdata terhadap inseminasi buatan (bayi tabung).[9]
1. Jika benihnya berasal dari Suami Istri
· Jika ketika embrio
diimplantasikan ke dalam rahim ibunya di saat ibunya telah bercerai dari
suaminya maka jika anak itu lahir sebelum 300 hari perceraian mempunyai status
sebagai anak sah dari pasangan tersebut. Namun jika dilahirkan setelah masa 300
hari, maka anak itu bukan anak sah bekas suami ibunya dan tidak memiliki
hubungan keperdataan apapun dengan bekas suami ibunya. Dasar hukum ps. 255
KUHPer.
· Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami, maka secara yuridis status anak itu adalah anak sah dari pasangan penghamil, bukan pasangan yang mempunyai benih. Dasar hukum ps. 42 UU No. 1/1974 dan ps. 250 KUHPer. Dalam hal ini suami dari istri penghamil dapat menyangkal anak tersebut sebagai anak sah-nya melalui tes golongan darah atau dengan jalan tes DNA. (Biasanya dilakukan perjanjian antara kedua pasangan tersebut dan perjanjian semacam itu dinilai sah secara perdata barat, sesuai dengan ps. 1320 dan 1338 KUHP)
2. Jika salah satu benihnya berasal dari donor
· Jika suami mandul dan istrinya subur, maka dapat dilakukan
fertilisasi-in-vitro transfer embrio dengan persetujuan pasangan tersebut. Sel
telur Istri akan dibuahi dengan sperma dari pendonor di dalam tabung petri dan setelah terjadi
pembuahan diimplantasikan ke dalam rahim istri. Anak yang dilahirkan memiliki status anak
sah dan memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan lainnya sepanjang si
suami tidak menyangkalnya dengan melakukan tes
golongan darah atau tes DNA. Dasar hukum ps. 250 KUHP.
3. Jika semua benihnya dari donor.
· Jika sel sperma maupun
sel telurnya berasal dari orang yang tidak terikat pada perkawinan, tapi embrio
diimplantasikan ke dalam rahim seorang wanita yang terikat dalam perkawinan
maka anak yang lahir mempunyai status anak sah dari pasangan suami istri
tersebut karena dilahirkan oleh seorang perempuan yang terikat dalam perkawinan
yang sah.
· Jika diimplantasikan ke
dalam rahim seorang gadis maka anak tersebut memiliki status sebagai anak luar
kawin karena gadis tersebut tidak terikat perkawinan secara sah dan pada
hakekatnya anak tersebut bukan pula anaknya secara biologis kecuali sel telur
berasal darinya. Jika sel
telur berasal darinya maka anak tersebut sah secara yuridis dan biologis
sebagai anaknya.
Memang, dirasa tidak cukup
jika masalah status bayi tabung ini hanya dicukupkan dengan undang-undang yang
telah dipaparkan sebelumnya. Pernyataan inilah yang dilontarkan oleh mayoritas
kaum agamawan. Tidak hanya agama Islam, tetapi juga agama lainnya. Karena masih
ada polemik lainnya yang memenuhi kancah pemikiran di sekitar kita seperti, apakah
dengan menggunakan sperma donor itu berarti secara tidak langsung telah
melakukan zina?
Hal ini telah dibicarakan
oleh banyak kalangan umat Islam seperti Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam
muktamarnya pada tahun 1980, Lembaga Fiqh Islam Organisasi Konferensi Islam
atau yang lebih dikenal dengan OKI dalam sidangnya di Amman menyebutkan bahwa haram
hukumnya apabila melakukan inseminasi buatan dengan menggunakan sperma dari pendonor. Vatikan sendiri
menganggap hal ini sebagai sesuatu yang jauh dari moral dan bertentangan dengan
harkat manusia.[10]
Menurut petulisan sendiri, sebelum kita jauh
berbicara mengenai apakah termasuk zina bagi pasangan yang mengambil program
bayi tabung melalui sperma pendonor, sekarang kita akan tinjau kembali apa makna
dari kata zina?
Zina pada dasarnya yaitu
melakukan hubungan badan dengan tanpa
adanya ikatan tali pernikahan (hal ini terlepas dari adanya beberapa pengertian
bahwa aktivitas seperti memandang dan menyentuh tangan juga termasuk zina).
Mengapa hal ini dianggap suatu cela? Karena dibalik motivasi zina sendiri
terselip sebuah kenyataan yang ditujukan hanya untuk mendapatkan kenikmatan
sesaat tanpa menghiraukan lagi adanya suatu ikatan suci yang seharusnya dilalui
seseorang melalui gerbang pernikahan. Padahal Allah sendiri telah jelas dan
tegas menjadikan pernikahan sebagai sarana kita untuk menyalurkan nafsu dengan
halal tentunya.
Sedangkan klaim yang
diutarakan bahwa inseminasi buatan haram hukumnya jika diambil dari sperma
pendonor menurut kami perlu dipertimbangkan kembali. Karena sebenarnya hal ini
mempunyai tujuan semata-mata hanya menghasilkan keturunan bagi pasangan yang susah
untuk mendapatkan momongan, tidak lebih. Dan jika memang sperma pendonor
dianggap sepadan dengan kasus zina, maka sesungguhnya kedua hal ini memiliki
sisi yang berbeda (baca:latar belakang). Zina dilakukan atas dasar pencarian
kenikmatan semata, sedangkan pemakaian sperma pendonor dalam kasus inseminasi
buatan dilakukan karena memang faktor dari sebuah pasangan yang benar-benar
telah divonis tidak bisa memiliki keturunan.
Dan bisa dikatakan, toh
kalau memang kedua hal ini tetap keukeuh (baca:dipertahankan) untuk disamakan, maka ada satu hal yang
menjadi pertanyaan kembali yaitu, apakah si penerima sperma donor juga sama
merasakan kenikmatan orang yang melakukan zina? Tentu saja jawabannya tidak. Lalu
mengapa keduanya dianggap setara?
Sedangkan dari segi dikhawatirkannya
akan kaburnya status sang bayi juga nasabnya, hal ini setidaknya sudah
diantisipasi dengan adanya undang-undang seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
Walaupun di Indonesia sendiri untuk penanganan bayi tabung sejauh ini memang
belum ada yang menggunakan sperma dari pendonor (yang terupdate adalah bayi
tabung milik artis dangdut Inul Daratista).
Dan nantinya, jika kita
bandingkan dengan pasal 42 UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 yaitu, “Anak yang sah
adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah” juga
masih bisa disejalankan dengan adanya
peraturan yang disusun khusus untuk mengatur status hasil dari bayi tabung. Hal
ini juga sejalan dengan hadits nabi yang
menyerukan bahwa perlunya untuk menjaga hubungan nasab.[11]
Karena dengan
dicanangkannya peraturan-peraturan di atas, diharapkan sang bayi selayaknya juga
mendapat hak-haknya seperti yang lainnya. Dengan memperhatikan hal-hal
tersebut, maka kita juga telah menghormati martabat kita sebagai manusia yang
telah diciptakan Allah dengan sebaik-baiknya.
Bukankah dengan adanya
teknologi ini telah banyak membantu banyak pasangan yang memang kecil
kemungkinan untuk bisa memiliki keturunan menjadi bisa memperoleh keturunan.
Dan bukankah hal ini menjadi suatu kebaikan, karena pada hakikatnya mempunyai keturunan adalah tujuan dari
pernikahan. Fenomena yang sering terjadi disekitar kita yaitu banyak pihak yang
merasa dipersalahkan apabila dalam suatu rumah tangga tidak terasa akan
hadirnya sebuah celoteh dari sang buah hati? Dan tidak jarang hal ini berujung
pada perceraian. Maka kemudian apa tidak sama baiknya jika kita mempertahankan
dan menjaga mahligai rumah tangga kita daripada melepaskannya?.
Terlepas dari semua ini,
bukan maksud penulis untuk tidak memperhatikan peran agama mengenai
persinggungannya dengan ranah teknologi.
Penulis sendiri bertendensi dengan peraturan-peraturan yang telah dicanangkan
dalam masalah status bayi tabung. Melalui peraturan-peraturan ini, maka hal-hal
yang dikhawatirkan seperti ketidak jelasan status bayi tabung (baik dalam
hak-hak perdata, nasab, dan warisan) akan dapat dilalui.
Dan di lain pihak memang
harus ada ketegasan dari pemerintah sendiri dalam menentukan sebuah peraturan.
Agar nantinya segala peraturan dapat terlaksana dengan baik. Sehingga, jika
dihubungkan dengan kasus bayi tabung ini, kelak nantinya sang bayi yang lahir
akan benar-benar mendapat hak-haknya sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Karena tidak pelak kita temukan bahwa suatu peraturan berjalan tanpa adanya
kontrol dan jaminan dari pemerintah sendiri.
Dan yang terpenting
adalah, semua pihak dapat mencegah terjadinya pelanggaran akibat penyalahgunaan
kemajuan dari suatu teknologi. Sehingga
bioetikpun dapat memerankan perannya, karena memang tugas dari bioetik sebagai penata dan
pengatur pola penyaluran, penggunaan dan pemanfaatan kemajuan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dan pada akhirnya, agama dan norma dapat menjalankan
fungsinya sebagaimana mestinya.
Tetapi kemudian, tidak
hanya karena hal-hal tersebut inseminasi buatan dengan cara mengambil sperma
dari orang lain kemudian menjadi sebuah
lampu hijau untuk dilaksanakan semata-mata karena sudah diatur melalui
peraturan yang telah dicanangkan.
Ada beberapa faktor yang
perlu kita singgung yaitu, bagaimana kondisi psikologi bagi pasangan yang mengambil
program inseminasi buatan melalui donor (dalam hal ini yang mandul dari pihak
suami) dan melalui penitipan rahim (dalam hal ini yang mandul dari pihak istri).
Bagi suami yang sah,
kehadiran anak hasil dari inseminasi buatan tersebut akan mengganggu
pikirannya. Sang suami akan merasa lemah dan kerdil, jika anak tersebut tumbuh
dan berparas sempurna, sebab dia tidak dapat membohongi dirinya sendiri, bahwa
anak itu bukanlah anaknya yang sebenarnya.
Dan bagi istri yang telah
menimang seorang bayi pada umumnya akan semakin mencintai suaminya, karena
telah memberinya generasi penerus. Tetapi jika anak tersebut adalah hasil dari
meminjam rahim wanita lain dikarenakan dirinya sendiri tidak dapat mengandung,
maka sudah sewajarnya jika ada perasaan untuk tidak memungkkiri bahwa pada
hakikatnya itu bukanlah anaknya, walau secara hukum sudah dianggap sebagai
anaknya sendiri.
Menanggapi hal-hal
tersebut, maka untuk pertama kalinya memang dibutuhkan obrolan panjang yang
melibatkan suatu pasangan ketika memang harus mengambil keputusan memperoleh
momongan melalui inseminasi buatan. Agar nantinya tidak terjadi ha-hal yang
seharusnya tidak terjadi dan tidak diinginkan kemudian kelak.
E. Kesimpulan
Sudah selayaknyalah jika
bioetika mendapatkan porsi tersendiri sebagai sebuah disiplin keilmuan dan
konsep yang matang. Ketika dihadapkan dalam permasalahan inseminasi buatan, sudah
sepantasnya jika beberapa hal penting juga perlu diperhatikan. Intinya, ketika
aturan memang sudah dicanangkan, beberapa faktor juga harus dijadikan
pertimbangan bersama-sama. Agar nantinya antara agama, sosial, moral dan juga
hkum dapat disejalankan. Dan akhirnyapun, prinsip bioetika yang respek kepada
otonomi, keadilan, kebermanfaatan, dan anti kejahatan dapat terlihat tanpa bermaksud untuk menghalangi dan
menghambat pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan hanya sekedar
memberikan rambu-rambu agar nantinya tidak terjadi manipulasi.
Daftar Pustaka
biologi.fsaintek.unair.ac.id
Ebrahim, Abu
Fadl Hosen. Kloning, Eutanasia, Transfusi Darah, Tranplantasi Organ, dan
Eksperimen Pada Hewan; Telaah Fikih dan Bioetika Islam terj. Mujiburohman.
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004.
Hasan, M. Ali. Masail
Fiqhiyyah al-Haditsah. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.
Shannon, Thomas
A. Pengantar Bioetika terj. K. Bertens. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1995.
Syahrūr, Muhammad.
Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer terj. Sahiron
Syamsuddin dan Burhanudin Dzikri. Yogyakarta: eLSAQ Press, 2007.
Syarif, M.M.
(ed.). Esensi al-Qur’an; Filsafat, Politik, Ekonomi, Etika terj. Ahmad
Muslim. Bandung: Mizan, 1984.
www.fai.uhamka.ac.id
www.ipb.ac.id
www.mediaindonesia.com
Zubair, A.
Charis. Etika Rekayasa Menurut Konsep Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1997.
[2] Fitmawati (dkk.),
“Bioetika Dalam Pemanfaatan Plasma Nutfah Tumbuhan,” Tulisan Program Pacsa
Sarjana Falsafah Sains IPB, Bogor, dalam www.ipb.ac.id,
diakses tanggal 3 Maret 2009.
[3] Tien R. Muhtadi,
“Perkembangan Bioetika Nasional,” Tulisan Seminar Etika Penelitian di Budang
Kesehatan Reproduksi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, 2007,
dalam biologi.fsaintek.unair.ac.id, diakses tanggal 3 Maret 2009.
[4] Lihat, K. Bertens, “Bioetika
dan Globalisasinya,” dalam www.kompas.com,
diakses tanggal 3 Maret 2009. Lihat juga, Tien R. Muhtadi, “Perkembangan
Bioetika Nasional,” dalam biologi.fsaintek.unair.ac.id, diakses tanggal 3 Maret
2009.
[5] Kolom Humaniora, “Sains
dan Agama Seiring; Ilmu dan Penelitian Haruslah Berlapiskan Nilai-nilai
Spiritual,” dalam www.kompas.com diakses
tanggal 18 Februari 2009.
[6] B.A. Dar, “Ajaran-ajaran
al-Qur’an Tentang Etika” dalam M.M. Syarif (ed.), Esensi al-Qur’an;
Filsafat, Politik, Ekonomi, Etika terj. Ahmad Muslim (Bandung: Mizan,
1984), hlm. 35-44.
[7] Muhammad Syahrūr,
Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer terj. Sahiron
Syamsuddin dan Burhanudin Dzikri (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2007), hlm. 82-83.
[8] M. Ali Hasan, Masail
Fiqhiyyah al-Haditsah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 71.
[9] Data ini diambil dari http://202.57.9.147/elib/modules.php?name=Forums&file=viewtopic&t=22
pada tanggal 20 Mei 2009.
nderek copy paste pak Hajir ,.
BalasHapus