Mengurai Kemiskinan Melalui
Etika Ekonomi Islam
Oleh:
H. Muh. Arif Royyani, Lc, MSI[1]
A. Pendahuluan
Salah satu
persoalan kemanusiaan yang krusial sejak awal peradaban manusia hingga sekarang
adalah persoalan kemiskinan. Dalam banyak hal, kemiskinan seringkali disebabkan
oleh ketamakan, ketidakadilan, eksploitasi, kurangnya pengetahuan,
ketidaksamaan pemerataan, korupsi, kesenjangan sosial, budaya, pendidikan,
sejarah, kebijakan penguasa, gender, penyalahgunaan distribusi pemasukan
ataupun faktor-faktor politik, sosial, lingkungan, ekonomi maupun pemahaman
terhadap sebuah doktrin teologi.
Dari berbagai
penyebab tersebut, Gunawan Sunodiningrat membedakannya menjadi tiga kategori
yaitu kemiskinan absolut, kemiskinan relatif atau struktural, dan kemiskinan
kultural. Namun menurut Baydhawy Zakiyuddin, determinasi penyebab kemiskinan
lebih banyak berasal dari kebijakan dan ketimpangan struktural. Artinya
kebijakan-kebijakan pemerintah suatu negara tentang pertumbuhan ekonomi,
pembangunan dan kesejahteraan rakyat yang tidak tepat, koruptif, disorder,
tidak profesional dan tidak konsisten termasuk mengenai pungutan pajak dan
pendistribusiannya adalah penyebab utama kesengsaraan dan kemiskinan rakyat.[2]
Tulisan ini akan mengurai berbagai macam bentuk kemiskinan melalui pendekatan
ekonomi Islam.
B. Definisi Kemiskinan dalam Berbagai
Perspektif
Pemikiran tentang
kemiskinan selalu dinamis dan seiring dengan masa dan tempat, tetapi secara
prinsip kemiskinan akan berkaitan dengan ketidakmampuan dalam kerangka
pemenuhan kebutuhan dasar.[3]
Kemiskinan menunjukkan situasi serba
kekurangan yang terjadi bukan karena dikehendaki oleh si miskin, melainkan
karena tidak bisa dihindari dengan kekuatan yang dimilikinya.[4]
Sar A. Levitan
menyatakan bahwa kemiskinan adalah kekurangan barang-barang dan
pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standar hidup yang
layak. [5]
Sedangkan menurut Badan Pusat Statistik dan Departemen Sosial kemiskinan adalah
ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimum untuk hidup
layak.[6]
Kemiskinan terjadi ketika seseorang atau sekelompok orang, baik laki-laki dan
perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan
mengembangkan kehidupan yang bermartabat. [7]
Sementara itu, John
Friedman (1979) mengatakan bahwa ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasi
basis kekuatan sosial yang meliputi: aset, sumber-sumber keuangan, organisasi
dan jaringan sosial, pengetahuan dan informasi untuk memperoleh pekerjaan menjadikan
seseorang menjadi miskin.[8]
Dari uraian
tersebut, definisi kemiskinan dapat ditinjau dari tinjauan ekonomi, sosial dan
politik. Secara ekonomi kemiskinan adalah kekurangan sumber daya yang dapat
digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan. Secara sosial kemiskinan diartikan
kekurangan jaringan sosial dan struktur untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan
meningkatkan produktivitas. Sedangkan secara politik kemiskinan diartikan
kekurangan akses terhadap kekuasaan.[9]
Tinjauan yang sama dengan dengan penjelasan berbeda dikemukakan Nugroho dan
Dahuri. Dari aspek ekonomi, kemiskinan merupakan kesenjangan antara lemahnya
daya pembelian (positif) dan keinginan untuk memenuhi kebutuhan dasar
(normatif). Dari aspek sosial, kemiskinan mengindikasikan potensi perkembangan
masyarakat yang rendah. Sedangkan dari aspek politik, kemiskinan berhubungan
dengan rendahnya kemandirian masyarakat.[10]
Lebih jauh, Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (2003:25) memberikan definisi kemiskinan
dengan basis keluarga. Keluarga yang termasuk kategori miskin adalah keluarga
pra sejahtera dan keluarga sejahtera I alasan ekonomi. Keluarga Pra Sejahtera,
yaitu keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasar secara minimal,
seperti kebutuhan pengajaran agama, pangan, sandang, papan dan kesehatan.
Sedangkan Keluarga Sejahtera I, yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi
kebutuhan dasar secara minimal tetapi belum memenuhi seluruh kebutuhan sosio
psikologinya seperti kebutuhan pendidikan, interaksi dalam keluarga dan
lingkungan dan transportasi.
Untuk mendedar
sebuah definisi tentang kemiskinan, menurut Rusli dkk harus dibedakan antara
kemiskinan, ketidakmerataan, keterisolasian dan keterbelakangan. Kemiskinan
adalah suatu kondisi dimana orang atau sekelompok orang tidak dapat memenuhi
standar kebutuhahan minimum tertentu. Sedangkan ketidakmerataan lebih
menekankan pada standar hidup relatif diantara anggota masyarakat. Dan, keterisolasian
menyangkut ketidakmampuan sekelompok orang untuk berhubungan secara teratur dan
mudah dengan masyarakat lainnya, sedangkan keterbelakangan menyangkut kurangnya
kesadaran dan pengetahuan mengenai kebutuhan serta kondisi kehidupan yang lebih
baik. [11]
Selaras dengan
itu, dalam ajaran Islam sendiri ketika berbicara mengenai status kemiskinan
seseorang, setidaknya ada tiga faktor. Pertama, harta benda yang dimiliki
secara sah dan berada di tempat (Ma>l Mamlu>k h}a>d}ir).
Kedua, pekerjaan tetap yang dibenarkan oleh hukum (al-Kasb
al-H}ala>l). Ketiga,
kecukupan akan kehidupan hidup yang pokok. Atas landasan tersebut kemudian
dirumuskan definisi miskin adalah barang siapa yang memiliki harta benda atau
mata pencahariaan tetap, hal mana salah satunya atau kedua-duanya hanya
menutupi seperdua atau lebih dari kebutuhan pokoknya.[12]
Sedangkan dalam ekonomi, kemiskinan sering diartikan sebagai suatu kondisi
dimana hanya ada sedikit kekayaan materi atau pendapatan untuk memenuhi
kebutuhan pokok. Dalam Ensiklopedia Ilmu Ekonomi, kemiskinan didefinisikan
dengan pemasukan uang yang berkaitan dengan standar kemiskinan.[13]
Dari
pengertian-pengertian tersebut di atas, menentukan standar batas kemiskinan
masih belum pasti, perlu ada patokan angka pendapatan secara kuantitatif oleh
lembaga tertentu yang konsen terhadap masalah-masalah kemiskinan dan
berkompeten di bidang kemisinan.
C. Kemiskinan dalam Potret Dunia Islam
Jika mendasarkan
angka kemiskinan di belahan dunia Islam secara kuantitatif Persatuan Bangsa Bangsa
(PBB), yakni seseorang dikategorikan miskin apabila penghasilannya di bawah US$2
per hari, maka wilayah konsentrasi tertingi umat Islam yang miskin terdapat di
Asia Selatan, Asia Tenggara dan Afrika. Setelah melalui beberapa dekade
pertumbuhan global, kondisi kemiskinan umat Islam tetap sama bahkan lebih
memburuk lagi di beberapa wilayah di Sub Sahara Afrika dan Asia Selatan. Di
beberapa negara, kemiskinan jauh lebih parah dari negara-negara lainnya dengan
proporsi yang lebioh besar dari keseluruhan populasinya. Sebagai contoh, di
Mali jumlah orang yang hidup di bawah pendapatan US$ 1 per harinya,
diperkirakan 72%, di Nigeria mencapai 70,2%, di Burkina Faso 61,2% dan di
Gambia 59,3%. Kondisi demikian sebagian diakibatkan dari konflik internal,
peperangan regional, wabah penyakit, bencana lingkungan dan ketidakstabilan
politik.[14] Kondisi
demikian sepertinya akan terus berlangsung hingga beberapa waktu mendatang,
sebab faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan masih menyelimuti dunia Islam.
D. Perintah Mengentaskan Kemiskinan dalam
Ajaran Islam
Dari uraian
sketsa kemiskinan di dunia Islam tersebut di atas, maka terbersitlah sebuah
pertanyaan mengapa umat Islam yang lebih banyak berada di bawah garis
kemiskinan? Padahal, doktrin teologi Islam sangat membenci kefakiran bahkan
kemiskinan. Doktrin teologis dalam
Islam yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Pertama, Islam
sangat membenci kefakiran bahkan kemiskinan sebagaimana hadis nabi yang
berbunyi:
كاد الفكر ان
يكون الكفر
Artinya: “kemiskinan mengakibatkan kekafiran”.
HR. Baihaqi dan Tabrani)
Kedua, Islam melarang
hidup boros sebagaimana firman Allah swt dalam Q.S. Al-A'raf ayat 31 yang
berbunyi:
ûÓÍ_t6»t tPy#uä
(#räè{
ö/ä3tGt^Î
yZÏã
Èe@ä.
7Éfó¡tB (#qè=à2ur
(#qç/uõ°$#ur
wur (#þqèùÎô£è@ 4
¼çm¯RÎ)
w =Ïtä tûüÏùÎô£ßJø9$#
ÇÌÊÈ
Artinya: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)
mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
Ayat
ini dapat dipahami sebagai keseimbangan antara spiritual dan moral, yang
keduanya dibutuhkan untuk menjaga kelestarian hidup yang damai dan sejahtera.
Kehidupan yang damai, tentu tidak adanya ketimpangan kelas sosial. Dan,
kehidupan yang sejahtera dapat dibangun melalui hidup hemat.
Ketiga,
Islam melarang konsentrasi
peredaran harta kekayaan. Sebagaimana
firmana Allah dalam Q.S. al-Hadid ayat 7, yang berbunyi:
(#qãZÏB#uä
«!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur (#qà)ÏÿRr&ur $£JÏB
/ä3n=yèy_
tûüÏÿn=øÜtGó¡B
ÏmÏù
(
tûïÏ%©!$$sù
(#qãZtB#uä óOä3ZÏB
(#qà)xÿRr&ur öNçlm; Öô_r& ×Î7x.
ÇÐÈ
Artinya: “Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian
dari hartamu yang Allah Telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu
dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.
Pesan
yang dapat ditangkap pada ayat ini adalah bahwa kita diperintahkan menafkahkan
harta yang dimiliki agar tercipta kehidupan yang tidak timpang. Karena
ketimpangan sosial acap mengakibatkan kecarut-marutan baik sosial ataupun
politik. Dan, kondisi demikian sangat dicela oleh Allah swt.
Keempat,
Islam mengecam terhadap penimbunan, mengutamakan
penegakan keadilan ssebagaimana
firman Allah swt dalam Q.S. al-A'raf ayat 29 yang berbunyi:
ö@è%
zsDr& În1u ÅÝó¡É)ø9$$Î/ (
(#qßJÏ%r&ur öNä3ydqã_ãr
yZÏã
Èe@à2
7Éfó¡tB çnqãã÷$#ur
úüÅÁÎ=øèC
ã&s! tûïÏe$!$#
4
$yJx.
öNä.r&yt/ tbrßqãès? ÇËÒÈ
Artinya: “Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan". dan (katakanlah):
"Luruskanlah muka (diri)mu di setiap sembahyang dan sembahlah Allah dengan
mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. sebagaimana dia Telah menciptakan kamu
pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali kepadaNya)".
Selanjutnya,
firman Allah swt dalam Q.S. An-Nisa ayat 135 yang berbunyi:
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#qãYtB#uä (#qçRqä. tûüÏBº§qs% ÅÝó¡É)ø9$$Î/ uä!#ypkà ¬! öqs9ur #n?tã öNä3Å¡àÿRr&
Írr& ÈûøïyÏ9ºuqø9$#
tûüÎ/tø%F{$#ur
4
bÎ)
ïÆä3t $ÏYxî
÷rr& #ZÉ)sù ª!$$sù 4n<÷rr& $yJÍkÍ5
(
xsù (#qãèÎ7Fs?
#uqolù;$# br&
(#qä9Ï÷ès?
4
bÎ)ur
(#ÿ¼âqù=s? ÷rr& (#qàÊÌ÷èè?
¨bÎ*sù ©!$# tb%x.
$yJÎ/
tbqè=yJ÷ès?
#ZÎ6yz ÇÊÌÎÈ
Artinya:
“Wahai
orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan,
menjadi saksi Karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan
kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu
kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu Karena ingin
menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan
menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang
kamu kerjakan”.
Dan,
firman Allah swt dalam Q.S. Al-Maidah
ayat 8 yang
berbunyi:
$pkr'¯»t úïÏ%©!$#
(#qãYtB#uä (#qçRqä. úüÏBº§qs% ¬! uä!#ypkà ÅÝó¡É)ø9$$Î/ (
wur öNà6¨ZtBÌôft ãb$t«oYx©
BQöqs% #n?tã wr& (#qä9Ï÷ès?
4
(#qä9Ïôã$#
uqèd Ü>tø%r& 3uqø)G=Ï9
(
(#qà)¨?$#ur
©!$# 4
cÎ) ©!$# 7Î6yz
$yJÎ/
cqè=yJ÷ès?
ÇÑÈ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku
tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan
bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan”.
Pesan
dari ketiga firman Allah swt tersebut diatas adalah bahwa Allah swt
memerintahkan kepada kita untuk senantiasa berbuat adil dalam segala aspek
kehidupan. Baik ekonomi, sosial, bahkan politik. Lebih lanjut, ayat ini
mengisyaratkan bahwa keadilan yang kita lakukan semata diperuntukkan demi
menjalanlkan perintahnya dan mendapat ridho-Nya.
E. Implementasi Ajaran Islam dalam
Mengentaskan Kemiskinan: Belajar
dari Kebijakan Umar bin Abdul Aziz
Islam diyakini
oleh pemeluknya sebagai agama
yang universal yang meliputi setiap
sendi kehidupan manusia. Jika ditelusur secara seksama, padahal kekayaan minyak
bumi sebagai komoditi paling banyak diperdagangkan di pasar global melimpah
justru di wilayah-wilayah atau negara yang berpenduduk muslim. Negara-negara
muslim menguasai 80% sumber daya alam tersebut, sedangkan negara-negara Arab
mempunyai investasi US$ 1,3 trilyun di berbagai negara kaya di Eropa dan Amerika
Utara. Para elit muslim di Indonesia sampai Afrika utara berduyun-duyun membawa
keluar dari negaranya jutaan dolar setiap tahun untuk disimpan di bank-bank
Barat.[15]
Kondisi umat
Islam yang demikian seharusnya dapat diminimalisir bahkan dihilangkan sama
sekali dengan mengoptimalkan berbagai instrumen sosial-ekonomi Islam, seperti
zakat, infak, shadaqah, hibah dan wakaf serta good will dari pemerintah
negeri muslim yang dikehendaki dalam upaya meningkatkan kesejahteraan dan taraf
hidup warga negaranya.
Memang,
sepanjang sejarah kehidupan manusia di dunia, status miskin ataupun kaya
selamanya akan tetap ada dan musthail dapat dihilangkan. Tetapi memperpendek
jarak kesenjangan ekonomi dan dan sosial atau menghilangkan status miskin dalam
suatu negeri bukan hal yang mustahil untuk diwujudkan. Dalam sejarah tata
sosial, politik, dan ekonomi Islam, angka kemiskinan pernah dapat ditekan
sampai pada titik 0% yakni pada masa pemerintah Umar bin Abdul Aziz semasa
dinasti Umayah.
Salah satu
keberhasilan menghilangkan angka kemiskinan tersebut adalah dengan optimalisasi
pengelolaan instrumen sosio-ekonomi (baca; zakat/ pajak negara Muslim) Islam
yang berlandaskan pada al-Qur'an dan hadis. Indikator hilangnya kemiskinan pada
masa pemerintahan nya sangat sederhana, yakni tidak ada asatu warga negara pun
yang mau menerima dana distribusi zakat/pajak negara untuk pemenuhan kebutuhan
hidupnya. Pada masa kepemimpinan dia lah rakyat kekhalifahan dinasti Umayyah
betul-betul dalam kondisi sejahtera (welfare state).
Selama
masa pemerintahannya, Umar bin Abdul Aziz menerapkan kembali ajaran Islam secara holistik (syumul)
di segala sektor dengan memulai pada dirinya sendiri, yakni menyerahkan seluruh
harta kekayaan diri dan keluarganya yang tidak wajar kepada kepada kaum
muslimin melalui bait al-mal, mulai dari tanah-tanah perkebunan di Maroko, berbagai
tunjangan yang berada di Yamamah, Mukaedes, Jabal al-Wars, Yaman dan Fadak
hingga cincin berlian pemberian al-Walid.[16]
Umar bin Abdul
Aziz memprioritaskan pembangunan dalam negeri. Menurutnya,
memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan negara-negara Islam adalah lebih
baik dari pada menambah perluasan wilayah. Dalam kerangka ini, Umar
bin Abdul Aziz menjaga hubungan baik
dengan pihak oposisi dan memberikan hak kebebasan beribadah kepada penganut
agama lain.[17]
Dalam
melakukan berbagai kebijakannya, Umar bin
Abdul Aziz konsisten untuk
melindungi dan meningkatkan kemakmuran taraf hidup masyarakat secara
menyeluruh. Seperti mengurangi beban pajak yang dipungut dari kaum Nasrani,
menghapus pajak terhadap kaum muslimin, membuat aturan takaran dan timbangan, membasmi
cukai dan kerja paksa, memperbaiki tanah pertanian, penggalian sumur-sumur,
pembangunan jalan, pembuatan tempat-tempat penginapan para musafir, dan
menyantuni fakir miskin. Salah satu bukti kesungguhannya dalam menegakkan
keadilan, Umar bin Abdul Aziz pernah
membelanjakan seluruh kekayaan baitul mal di Irak untuk membayar ganti rugi
kepada orang-orang yang diperlakukan semena-semena oleh para penguasa
sebelumnya. Karena tidak mencukupi, Umar bin Abdul Aziz dari kekayan
baitul mal di Syam.[18]
Khalifah
Umar
bin Abdul Aziz juga pernah menetapkan gaji
pejabat sebesar 300 dinar dan larangan melakukan pekerjaan sampingan. Selain
itu, pajak yang dikenakan kepada non-muslim hanya berlaku pada tiga profesi,
yakni pedagang, petani dan tuan tanah.
Dalam
bidang pertanian, khalifah Umar bin Abdul Aziz melarang penjualan tanah garapan agar tidak ada
penguasaan lahan. Umar bin Abdul Aziz memerintahkan amirnya untuk memanfaatkan semaksimal
mungkin lahan pertanian yang ada. Dalam menetapkan sewa tanah, khalifah Umar
bin Abdul Aziz menerapkan prinsip-prinsip
keadilan dan kemurahan hati. Beliau melarang memungut sewa terhadap tanah yang
tidak subur dan jika tanah tersebut subur, pengambilan sewa harus memperhatikan
tingkat kesejahteraan hidup petani yang bersangkutan.[19]
Selain
itu, khalifah Umar bin Abdul Aziz menerapkan kebijakan otonomi daerah. Setiap wilayah
Islam mempunyai wewenang untuk mengelola zakat dan pajak secara sendiri-sendiri
dan tidak diharuskan menyerahkan upeti kepada pemerintah pusat. Bahkan
sebaliknya, pemerintah pusat akan memberikan bantuan subsidi kepada setiap
wilayah Islam yang minim pendapatan zakat dan pajaknya.[20]
Dengan demikian, masing-masing wilayah Islam diberi kekuasaan untuk mengelola
kekayaannya. Jika terdapat surplus, khalifah Umar
bin Abdul Aziz menyarankan agar wilayah
tersebut memberikan bantuan kepada wilayah yang minim pendapatannya. Untuk
menunjang hal ini, Umar bin Abdul Aziz mengangkat Ibn Jahdam sebagai Amil Shadaqah yang
bertugas menerima dan mendistribusikan hasil shadaqah secara merata ke seluruh
wilayah Islam.[21]
Dalam
mewujudkan negara yang adil dan makmur, khalifah Umar
bin Abdul Aziz menjadikan jaminan sosial
sebagai landasan pokok. Menurut khalifah Umar bin Abdul
Aziz hak seseorang yang telah meninggal dunia tidak akan
hilang karena akan tetap diberikan kepada hak warisnya. Begitu pula hak para
tahanan. Hal ini berlaku secara universal, tanpa membeda-bedakan apakah ia
seorang muslim atau bukan. Beliau juga mendirikan rumah makan khusus untuk para
fakir miskin. Sementara itu, jika terdapat berlebihan harta setelah digunakan
untuk memenuhi kebutuhan kaum muslimin, pendapatan baitul mal didistribusikan
kepoada orang-orang dzimmi. Tidak hanya itu, bahkan orang-orang dzimmi tersebut
juga diberikan pinjaman tanah-tanah pertanian sebagai lahan pekerjaan mereka.[22]
Fakta sejarah
tersebut menunjukkan ketidakmustahilan bahwa menekan angka kemiskinan sampai
pada titik nol persen pada suatu negara atau daerah tertentu dalam lingkup yang
lebih kecil dapat direalisasikan, dengan optimalisasi pengelolaan zakat (pajak
negara dan campur tangan kekuasaan serta pembenahan berbagai sektor dengan
prinsip akuntabilitas, transparan dan profesional dengan etik-moral beragama).
F. Kesimpulan
Islam hadir
dalam kondisi ketidakadilan dan ketimpangan sosial yang mengakibatkan bobroknya
moral bangsa Arab kala itu. Keadilan, kesetaraan dan kesejahteraan menyeluruh
adalah prinsip dasar dari ajaran Islam. Karenanya, segala perintah perintah
ibadah akan terkait secara diametral dengan sosial (muamalah). Sebagaimana firman
Allah swt terkait dengan kepemilikan harta harus menjadi fungsi sosial.
!$¨B
uä!$sùr& ª!$# 4n?tã ¾Ï&Î!qßu ô`ÏB È@÷dr& 3tà)ø9$# ¬Tsù ÉAqߧ=Ï9ur Ï%Î!ur
4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuø9$#ur
ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ös1 w tbqä3t
P's!rß
tû÷üt/ Ïä!$uÏYøîF{$# öNä3ZÏB
4
!$tBur ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù
$tBur
öNä39pktX
çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4
(#qà)¨?$#ur
©!$# (
¨bÎ) ©!$# ßÏx©
É>$s)Ïèø9$#
ÇÐÈ
Artinya: “Apa saja harta rampasan (fai’) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal
dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan,
supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu.
apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya
bagimu, Maka
tinggalkanlah dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”.[23]
Dengan demikian,
baik kemiskinan yang diakibatkan dari dominasi struktur sosial tertentu maupun
budaya tertentu yang meyakini bahwa kemiskinan adalah suatu takdir Tuhan
sehingga mengakibatkan kesenjangan sosial yang berbuah ketimpangan sosial dan
kecarut-marutan kehidupan adalah tidak dikehendaki oleh Islam. Karena Islam
sejak awal hingga akhir zaman komitmen menjadi solusi (baca; rah}mah)
bagi persoalan manusia dan alam (baca; lil ‘a>lami>n)
DAFTAR
PUSTAKA
Afzalurrahman. 1995. Doktrin Ekonomi Islam. (Jilid
2). Yogyakarta: PT Dhana Bakti Wakaf.
Ala, Andre Bayo. 1981. Kemiskinan dan Strategi
Memerangi Kemiskinan. Yogyakarta: Penerbit Liberty.
Ameral-Roubaie. 2005. Dimensi Kemiskinan Di Dunia
Muslim: Sebuah Penilaian Kuantitatif, Islamia, Vol. II No. 3.
Badan Pusat Statistik Jakarta dan Departemen Sosial. 2002. Penduduk Fakir Miskin Indonesia 2002.
Badri Yatim. 1994. Sejarah
Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Baidhawy, Zakiyuddin. 2007. Islam Melawan
Kapitalisme. Yogyakarta: Resistbook.
Efendi, Tadjuddin Noer. 1993. Sumber Daya Manusia,
Peluang Kerja dan Kemiskinan. Yogyakarta: PT Tiara Wacana. hlm. 201-204
Kholil, Imaduddin. 1992. Umar bin Abdul
Aziz: Perombak Wajah Pemerintahan Islam. Solo: Pustaka Mandiri.
Mikkelsen, Britha. 2003. Metode Penelitian
Partisipatoris dan Upaya-Upaya Pemberdayaan. Terjemah: Matheos Nalle
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Nugroho, Iwan dan Rokhmin Dahuri. 2004. Pembangunan
Wilayah- Perspektif Ekonomi, Sosial dan
Lingkungan. Jakarta: Pustaka LP3ES. hlm. 165-166
Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional.
Quth, Sayyid. 1984. Keadilan Sosial dalam Islam.
Bandung: Pustaka Bandung.
Ridlo, Mohammad Agung. 2001. Kemiskinan di
Perkotaan. Semarang: Penerbit Unissula Press.
Rusli, Said (ed). 1995. Metodologi Identifikasi Golongan
dan Daerah Miskin: Suatu Tinjauan dan Alternatif. Jakarta: PT Gramedia
Widiasarana Utama dan Institut Pertanian Bogor.
Soegijoko, Budi Tjahjati S. dan BS Kusbiantoro (ed).
1997. Bunga Rampai Perencanaan Pembangunan di Indonesia. Bandung:
Yayasan Soegijanto Soegijoko.
Yafie,
Ali. 1994. Menggagas Fikih Sosial: Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi
hingga Dakwah. Bandung: Mizan.
[1] Dosen
IAIN Walisongo Semarang, sekarang lagi menempuh program Doktoral di IAIN
Walisongo Semarang.
[3] Mikkelsen, Britha. 2003. Metode Penelitian
Partisipatoris dan Upaya-Upaya Pemberdayaan. Terjemah: Matheos Nalle
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hlm. 194
[4] Soegijoko, Budi Tjahjati S. dan BS Kusbiantoro (ed).
1997. Bunga Rampai Perencanaan Pembangunan di Indonesia. Bandung:
Yayasan Soegijanto Soegijoko. hlm. 137
[5] Ala, Andre Bayo. 1981. Kemiskinan dan Strategi
Memerangi Kemiskinan. Yogyakarta: Penerbit Liberty.
hlm. 3
[6] Badan Pusat Statistik Jakarta dan Departemen Sosial. 2002. Penduduk Fakir Miskin Indonesia 2002. hlm. 3-4
[9] Efendi, Tadjuddin Noer. 1993. Sumber Daya Manusia,
Peluang Kerja dan Kemiskinan. Yogyakarta: PT Tiara Wacana. hlm. 201-204
[10] Nugroho, Iwan dan Rokhmin Dahuri. 2004. Pembangunan
Wilayah- Perspektif Ekonomi, Sosial dan
Lingkungan. Jakarta: Pustaka LP3ES. hlm. 165-166
[11] Rusli, Said (ed). 1995. Metodologi Identifikasi
Golongan dan Daerah Miskin: Suatu Tinjauan dan Alternatif. Jakarta: PT
Gramedia Widiasarana Utama dan Institut Pertanian Bogor.
hlm. 51-52
[12] Yafie,
Ali. 1994. Menggagas Fikih Sosial: Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi
hingga Dakwah. Bandung: Mizan. hlm.170-171.
[13] Ameral-Roubaie. 2005.
Dimensi Kemiskinan Di Dunia Muslim: Sebuah Penilaian Kuantitatif, Islamia,
Vol. II No. 3. hlm. 81
[15] Ibid. hlm. 80
[17] Badi
Yatim. 1994. Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada. hlm. 47
[18] Badi
Yatim. 1994. Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada. hlm. 47
[19] Afzalurrahman.
1995. Doktrin Ekonomi Islam. (Jilid 2). Yogyakarta: PT Dhana Bakti
Wakaf. hlm. 182
[20] Kholil,
Imaduddin. 1992. Umar
bin Abdul Aziz: Perombak Wajah Pemerintahan Islam. Solo:
Pustaka Mandiri. hlm. 128
[23] Q.S. al-Hasyr ayat 7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar