KEARIFAN LOKAL
ANTARA BUDAYA DAN BID’AH
Oleh : Akhmad
Muhaini
A. PENDAHULUAN
Dalam
kehidupan masyarakat Indonesia terdapat nilai-nilai sosial yang membentuk
kearifan lokal (local wisdom) dan
telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Misalnya, gotong royong,
kekeluargaan, musyawarah untuk mufakat, dan tepa selira (toleransi). Hadirnya
kearifan lokal ini tak bisa dilepaskan dari nilai-nilai religi yang dianut
masyarakat Indonesia sehingga nilai-nilai kearifan lokal ini makin melekat pada
diri mereka. Tak mengherankan, nilai-nilai kearifan lokal ini dijalankan tak
semata-mata untuk menjaga keharmonisan hubungan antarmanusia, tetapi juga
menjadi bentuk pengabdian manusia kepada Sang Pencipta.
Kearifan
lokal (Local wisdom) di Indonesia memang sudah menjadi bagian tidak terpisahkan
dari masyarakat pribumi mulai sebelum Indonesia merdeka dan berbentuk Negara
kesatuan. Hal ini menunjukkan, bahwa kemerdekaan yang sekarang kita rasakan
tidak lepas dari kearifan yang sudah hidup sebelumnya contoh di Islam ada
Tahlil, para penjajah sangat ketakutan ketika masyarakat pribumi melakukan kegiatan
tahlil, srakalan, acara maulid Nabi dan acara-acara keagamaan yang bersifat
jam’iyah, karena melalui acara-acara tersebut selain pembacaan kalimah
thayibah, juga musyawarah atau sekedar diskusi yang itu akan memunculkan
ide-ide kemerdekaan.
Basuswasta,
dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, menjelaskan bahwa kearifan lokal
berkaitan dengan nilai-nilai yang dipegang dalam kultur lokal. Yang dimaksud
lokal itu bisa mencakup wilayah kabupaten, kota, provinsi, bahkan nasional.
Apabila konteksnya global, kearifan lokal yang dimaksud adalah kultur Indonesia
atau nasional. Kultur Indonesia itu sendiri terdiri dari banyak subkultur.
Subkultur, bisa didasarkan pada suku, bisa pula didasarkan pada lingkup yang
lebih luas, yaitu generasi[1].
Kearifan
lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi
kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam
menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam bahasa asing
sering juga dikonsepkan sebagai kebijakan setempat “local wisdom” atau
pengetahuan setempat “local knowledge”atau kecerdasan setempat “local genious”.
Kerifan
lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh
dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat, berfungsi dalam
mengatur kehidupan masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan
yang sakral sampai yang profane (biasa). Di samping itu kearifan lokal dapat
didekati dari nilai-nilai yang berkembang di dalamnya seperti nilai religius,
nilai etis, estetis, intelektual atau bahkan nilai lain seperti ekonomi,
teknologi dan lainnya. Maka kekayaan kearifan lokal menjadi lahan yang cukup
subur untuk digali.
Peranan
agama tidak bisa dipandang sebelah mata dalam hubungan sosial, kebudayaan,
maupun peradaban. Agama menempati tempat yang sangat penting dalam kehidupan manusia,
khususnya Indonesia yang dikenal sebagai masyarakat yang religius. Kenyataan
pluralitas agama di Indonesia menunjukkan adanya dinamisasi sekaligus
problematic yang dihadapi bangsa Indonesia untuk hidup berdampingan dalam
kebersamaannya. Baik secara teoritis maupun faktual masalah ini bukanlah
persolan sederhana yang hanya dapat diselesaikan dalam peta konsep teoritis dan
sloganitas kerukunan umat beragama.[2]
Sikap
inklusif dalam arti menerima dan
menyadari kehadiran agama lain dalam kehidupan bersama dan bernegara
tidak menjadikan pemeluk-pemeluk agama kehilangan jati diri, eksistensi dan
penganutnya. Apabila hal itu disadari masing-masing pihak sebagai kenyataan dan
keniscayaan pluralitas, maka problematika substansial antar pemeluk agama telah
selesai. Oleh karenanya inklusifitas justeru menjadi jaminan terhadap
keharmonisan masing-masing agama untuk tetap eksis dalam satu kesatuan
pluralitas. Sebaliknya sikap eksklusif dalam arti menutup diri terhadap
kenyataan pluralitas dan mengedapankan idealitas serta egois sepihak, justeru
menimbulkan ketidakseimbangan dan disharmonitas antar pemeluk agama-agama.
Eksklusifitas tersebut merupakan langkah mundur peradaban manusia sekaligus
pengingkaran pluralitas yang merupakan sunnatullah.[3]
Bagi Kalangan
Pesantren, Wali songo merupakan tokoh penting
yang sangat dihormati karena jasanya menyebarkan Islam di Indonesia
melalui jalan tengah dan moderat.
Dakwah yang di jalankan Wali Songo adalah dakwah dengan akulturasi
budaya, Wali Songo dalam menjalankan dakwahnya sangat menghormati kearifan
lokal, Sunan Kali Jaga misalnya, dalam
salah satu dakwahnya adalah melalui media wayang kulit, beliau mengganti cerita
agama Hindu dan digantikan dengan cerita
Agama Islam. Begitu juga dengan wali yang lain.
KH.
Abdurahman Wahid menggagas Islam pribumi untuk menjawab problem radikalisme
Islam. Dalam “Pribumisasi Islam” tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran yang
normatif berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal
dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Sehingga, tidak ada
lagi pemurnian Islam atau proses menyamakan dengan praktek keagamaan masyarakat
Muslim di Timur Tengah. Bukankah arabisasi atau proses mengidentifikasi diri
dengan budaya Timur Tengah berarti tercabutnya kita dari akar budaya kita
sendiri? Dalam hal ini, pribumisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya
perlawanan dari kekuatan budaya-budaya setempat, akan tetapi justru agar budaya
itu tidak hilang. Inti “Pribumisasi Islam” adalah kebutuhan bukan untuk
menghindari polarisasi antara agama dengan budaya, sebab polarisasi demikian
memang tidak terhindarkan.
Pada
konteks selanjutnya, akan tercipta pola-pola keberagamaan (Islam) yang sesuai
dengan konteks lokalnya, dalam wujud “Islam Pribumi” sebagai jawaban dari
“Islam Otentik” atau “Islam Murni” yang
ingin melakukan proyek Arabisasi di dalam setiap komunitas Islam di seluruh
penjuru dunia. “Islam Pribumi” justru memberikan keanekaragaman interpretasi
dalam praktek kehidupan beragama (Islam) di setiap wilayah yang berbeda-beda.
Dengan demikian, Islam tidak lagi dipandang secara tunggal, melainkan beraneka
ragam. Tidak lagi anggapan Islam yang di Timur Tengah sebagai Islam yang murni
dan paling benar, karena Islam sebagai agama mengalami historisitas yang terus
berlanjut. Pemurnian ajaran Islam akhir akhir ini tidak bisa 100% diterima,
karena bagaimanapun juga pemurnian Islam tersebut lebih cenderung kepada
Arabisasi ketimbang perjuangan nilai untuk menegakan nilai nilai Islam di bumi
nusantara ini.[4]
B. TINJAUAN UMUM TENTANG KEARIFAN
LOKAL
1. Pengertian
kearifan local
Secara
etimologi, kearifan lokal (local wisdom)
terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom)
dan lokal (local). Dalam Kamus
Inggris-Indonesia Purwono Sastro Amijoyo dan Robert K. Cunningham, local berarti setempat[5],
sedangkan wisdom (kearifan) sama
dengan kebijaksanaan[6].
Secara umum makna local wisdom
(kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan setempat (local) yang
bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti
oleh anggota masyarakat. Bisa dikatakan kearifan lokal (local wisdom) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg
dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci
firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada.
Kearifan
lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi
geografis dalam arti luas. Kearifan maupun produk budaya masa lalu yang patut
secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi
nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. Pada bagian lain,
secara konsepsual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan
manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku
yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap
baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga.
Dalam
disiplin antropologi dikenal istilah local
genius. Local genius ini merupakan istilah yang mula pertama dikenalkan
oleh Quaritch Wales. Unsur budaya daerah berpotensi sebagai local genius karena
telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri-cirinya adalah:
a.
mampu bertahan terhadap budaya
luar
b.
memiliki kemampuan mengakomodasi
unsur-unsur budaya luar
c.
mempunyai kemampuan
mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli
d.
mempunyai kemampuan mengendalikan
e.
mampu memberi arah pada
perkembangan budaya.
Kearifan
lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai
nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat
setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan local merupakan
produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan
hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya
dianggap sangat universal.
Bentuk-bentuk
kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa: nilai, norma, etika, kepercayaan,
adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Oleh karena bentuknya yang
bermacam-macam dan ia hidup dalam aneka budaya masyarakat maka fungsinya
menjadi bermacam-macam[7].
2. Dasar
hukum kearifan local
Agama
Islam yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW diperuntukkan bagi seluruh umat
manusia pada umumnya. Oleh sebab itu, Islam dikenal sebagai agama yang bersifat
universal. Sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Anbiya’ ayat 107:
!$tBur
»oYù=yör&
wÎ)
ZptHôqy
úüÏJn=»yèù=Ïj9
Artinya
: “dan kami tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk rahmat bagi semesta
alam”.
Dalam salah satu Hadis
yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Abdullah ibn Mas’ud disebutkan :
مَا رَاَهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا
فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ
Artinya : “Apa yang
dipandang baik oleh umat Islam, maka di sisi Allah pun baik”.
Hadis tersebut oleh para
ahli ushul fiqh dipahami (dijadikan dasar) bahwa tradisi masyarakat yang tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at Islam dapat dijadikan dasar
pertimbangan dalam menetapkan hukum Islam (fiqh).
Dari hadis tersebut lahir kaidah fiqh[8] :
اَلْعَادَةُ
مُحَكَّمَةٌ
Artinya : Suatu adat kebiasaan bisa dijadikan pedoman hukum.
Apabila suatu ‘urf bertentangan
dengan Kitab atau Sunnah seperti kebiasaan masyarakat melakukan sebagian
perbuatan yang diharamkan semisal meminum arak atau memakan riba, maka ‘urf
mereka tersebut ditolak (mardud)[9].‘Urf
yang dimaksud di sini adalah ‘urf khas, yaitu ‘urf
yang dikenal berlaku pada suatu negara, wilayah atau golongan masyarakat
tertentu, seperti ‘urf yang
berhubungan dengan perdagangan, pertanian dan lain sebagainya[10].
Pentingnya
posisi urf atau adat kebiasaan dalam teori hukum Islam merupakan kesepakatan
para ulama’ ushul. Posisi urf ini menjadi penting karena dalam kenyataannya urf
itulah yang menjadi the living law (hukum
yang hidup) dalam masyarakat. Membiarkan dalil-dalil hukum Islam menjauh dari
kenyataan social sama maknanaya dengan mengebiri hukum Islam itu sendiri.
Karena itulah makna teks dan konteks dipertemukan, dalil hukum dan ‘illat hukum
diteliti, serta kebiasaan yang berjalan baik diakomodasi sebagai bagian dari hukum.
Itulah makna kaidah al-’Adah muhakkamah.
Al-Qarafi
memberikan ulasan bagus tentang tradisi ulama sebelumnya dengan pernyataannya :
Aplikasi hukum yang bersumber dari adat kebiasaan harus berubah mengikuti
perubahan adat itu sendiri, bahkan segala sesuatu dalam syari’at mengikuti adat
kebiasaan. Hukumnya berubah mengikuti perubahan adat yang baru. Dalam Ushul
Fiqih ada kaidah. : “Almuhafadhatu A’la
qodimshaalih Wal Ahdu bijaadidil Ashlah (melestariakan sesuatu yang baik
dan menggali nilai baru yang lebih baik.” Dalam kitabnya al-muwafaqat al-Syatibi
memperhitungkan akibat hukum atau hasil akhir suatu perbuatan merupakan tujuan
yang dikehendaki syara’. Ketelitian dalam hal ini menjadi penting sebab
kadangkala perbuatan yang diangap baik berakhir dengan kemafsadatan, sebalikmya
perbuatan yang dianggap jelek ternyata melahirkan kemaslahatan[11].
Adat
kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya bernilai baik, karena
kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial yang berulang-ulang dan mengalami
penguatan (reinforcement). Apabila suatu tindakan tidak dianggap baik oleh
masyarakat maka ia tidak akan mengalami penguatan secara terus-menerus. Pergerakan
secara alamiah terjadi secara sukarela karena dianggap baik atau mengandung
kebaikan. Kearifan adat dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari
pengetahuan dan diakui akal serta dianggap baik oleh ketentuan agama.
3. Ragam
Kearifan local Di Indonesia
Sebenarnya,
hampir semua -kalau tidak bisa dikatakan seluruh- masyarakat memiliki kebijakan
lokal (local wisdom) sendiri-sendiri yang bersumber dari kebudayaan
masing-masing. Beberapa contoh Kearifan lokal di daerah:
a.
Kearifan lokal di Ambon ada yang
disebut Pela, yaitu suatu tatanan kebersamaan mirip dengan gotong royong di
Jawa. Pela ini bisa menembus batasan agama, marga, ataupun suku. Ketika Pela
ini terkait dengan mata pencarian, maka bila suatu kelompok nelayan akan
melaut, mereka akan mengajak anggota satu Pelanya untuk bahu-membahu
menghasilkan ikan yang lebih banyak daripada jika menangkap sendiri.
b.
Papua, terdapat kepercayaan te aro neweak lako (alam adalah aku).
Gunung Erstberg dan Grasberg dipercaya sebagai kepala mama, tanah dianggap
sebagai bagian dari hidup manusia. Dengan demikian maka pemanfaatan sumber daya
alam secara hati-hati.
c.
Serawai, Bengkulu, terdapat
keyakinan celako kumali. Kelestarian lingkungan terwujud dari kuatnya keyakinan
ini yaitu tata nilai tabu dalam berladang dan tradisi tanam tanjak.
d.
Dayak Kenyah, Kalimantan Timur,
terdapat tradisi tana‘ ulen. Kawasan hutan dikuasai dan menjadi milik
masyarakat adat. Pengelolaan tanah diatur dan dilindungi oleh aturan adat.
e.
Masyarakat Undau Mau, Kalimantan
Barat. Masyarakat ini mengembangkan
kearifan lingkungan dalam pola penataan ruang pemukiman, dengan
mengklasifikasi hutan dan memanfaatkannya. Perladangan dilakukan dengan rotasi
dengan menetapkan masa bera, dan mereka mengenal tabu sehingga penggunaan teknologi
dibatasi pada teknologi pertanian sederhana dan ramah lingkungan.
f.
Masyarakat Kasepuhan Pancer
Pangawinan, Kampung Dukuh Jawa Barat. Mereka mengenal upacara tradisional,
mitos, tabu, sehingga pemanfaatan hutan hati-hati. Tidak diperbolehkan eksploitasi
kecuali atas ijin sesepuh adat. Bali dan Lombok, masyarakat mempunyai
awig-awig.[12]
g.
Jawa Tengah (khususnya di
wilayah-wilayah keraton). Satu Muharam, yaitu peringatan tahun baru Hijriah,
dirayakan dengan upacara adat. Pusaka-pusaka keraton digelar, sesajen kepada
leluhur disajikan. Doa-doanya, lafal Alquran, masyarakat yang shalat dan yang
tidak shalat, tuamuda, besar-kecil, sama-sama berebut sesajen,ngalap berkah
dari Sinuwun. Mereka tidak pernah berpikir tentang kemusyrikan ketika saling
berebut sesajian itu,yang penting berkah.
h.
Minang. Etnik ini mempunyai
ungkapan : Adat basandi
syarak,syarak,syarak basandi kitabullah, syarak mangato adat mamakai. Artinya
: “adat tidak bisa dilepaskan dari agama
(Islam), apalagi saling bertentangan”. Mereka sangat yakin itu, dan tidak
ada yang ambil pusing bahwa sistem matrilineal[13]
dalam adat Minang bertentangan dengan syariat Islam yang patrilineal[14]
4. Simbolisasi
kearifan local
Studi
tentang aneka macam materi dalam ritus keagamaan bisa dimaknai sebagai upaya
memahami budaya materi yang memiliki maksud umum bahwa benda juga
mengkomunikasikan arti seperti halnya bahasa.[15]Dalam
bentuk lain benda materi bukan hanya digunakan untuk melakukan sesuatu,
melainkan juga mempunyai makna, bertindak sebagai tanda-tanda makna dalam
hubungan sosial, yang sesungguhnya bagian dari fungsi yang penuh makna.[16]
Dengan kata lain bahwa materi adalah Merupakan sebuah simbol yang biasanya
mengandung sesuatu yang bersifat implisit seperti keinginan-keinginan,
maksud-maksud, maupun tujuan-tujuan dari masyarakat penggunanya.[17]
George Herbert Mead membedakan antara tanda-tanda alamiah (natural sign) dan
simol-simbol yang mengandung makna (significant
symbols). Tanda-tanda alamiah bersifat naluriah serta menimbulkan reaksi
yang sama bagi setiap orang, sedangkan symbol yang mengandung makna tidak harus
menimbulkan reaksi yang sama bagi setiap orang.[18]
Artinya bahwa sebuah materi tidak saja dipahami sebagai suatu tanda alamiah
yang memiliki makna lahir sesuai dengan manfaat dan fungsinya, tetapi juga dapat
dipahamai sebagai suatu symbol yang memiliki banyak makna yang berbeda, yang
pemaknaan ini tergantung pada tujuan dan maksud dari penggunanya.
Berikut
ini penulis mencoba memberikan makna/ta’wil
terhadap beberapa ritual kearifan lokal yang mengiringi Upacara pemberangkatan
jenazah dan Selamatan memasang kap/atap rumah.
a.
Upacara pemberangkatan jenazah
Beberapa
amaliah yang lazim dilaksanakan dalam upacara pemberangkatan jenazah adalah memayungi
keranda, menghias keranda dengan bunga, surupan/brobosan, menyiram nisan dengan
air degan (kelapa muda), bendera, sapu, nisan, beras kuning & uang receh, sesaji,
damar (lampu sentir).
1)
Memayungi keranda
Dalam
sebuah hadis disebutkan bahwa ada tiga orang yang akan mendapatkan “iyub-iyub /
payung” (perlindungan) dari Allah besok di hari kiamat, yaitu : orang yang
menyambung tali silaturrahmi, perempuan yang ditinggal mati suaminya dan
mempunyai anak yatim, dan dia mampu menjaga dan memelihara anak yatim tersebut,
dan orang yang diberi kelebihan rejeki (makan) dan dia mau membagikan sebagian
rejekinya kepada anak yatim dan orang-orang miskin. Maksud dari jenazah
dipayungi adalah semoga dia termasuk orang yang mendapat paying/perlindungan
besok di hari kiamat.
2)
Menghias keranda dengan bunga
Ada
pepatah mengatakan Gajah mati meninggalkan gading, macan mati meninggalkan
belang manusia mati meninggalkan budi. Bunga adalah perkara yang indah /
mempunyai bau harum, harapannya si mayit meninggalkan budi pekerti yang baik
sehingga namanya menjadi harum.
3)
Surupan/brobosan
Surupan
dilakukan ketika keranda telah dipikul sebelum diberangkatkan, biasanya yang
melakukan brobosan ini adalah keluarga si mayit sambil menggendong anak yang
masih kecil. Surupun ini berasal dari kata “sumurupono” (ketahuilah). Ritual
ini sebetulnya sebagai i’tibar untuk
para pentakziah agar “sumurupono” (ketahuilah)
bahwa mereka suatu saat nanti juga akan dipikul, seakan-akan ada perintah
“ketahuilah bahwa kamu pun pasti akan dipikul seperti jenazah ini” sehingga
mereka mau mencari bekal kematian.
4)
Menyiram nisan dengan degan
(kelapa muda)
Setelah
selesai proses pengurukan liang lahat biasanya disiram dengan air kelapa muda
(degan). Kita beriman bahwa di dalam alam kubur ada proses tanya jawab yang
dilakukan oleh malaikat Munkar Nakir terhadap mayit . Semua pasti terkejut dan
deg-degan dengan kedatangan malaikat Munkar Nakir kecuali orang yang
benar-benar kuat imannya. Degan adalah sebagai lambang doa semoga si mayit
tidak deg-degan dalam menjawab semua
pertanyaan malaikat, sehingga selamat menjawab semua pertanyaan.
5)
Bendera
Bendera
biasanya dibawa ketika jenazah diberangkatkan ke liang kubur. Orang-orang yang
membawa bendera biasanya di depan/mendahului jenazah. Dalam sebuah hadits
diterangkan bahwa besok di akherat manusia akan dikelompokkan sesuai dengan amalnya
sewaktu di dunia, Ada kelompok syuhada, kelompok orang yang sudah haji,
kelompok orang-orang alim kelompok orang-orang dermawan (loman), dll. Setiap
kelompok ada pimpinan dan benderanya sendiri-sendiri. Diharapkan si mayit masuk
ke dalam salah satu dari ke empat kelompok tersebut.
6)
Nisan/paesan
Nisan
atau paesan berasal dari bahasa Jawa yang berarti tempat ngilo atau bercermin,
maksudnya adalah bahwa setiap orang yang ziarah agar bercermin terhadap keadaan
jenazah sekarang sehingga akan timbul kesadaran bahwa suatu saat dia juga pasti
akan dikubur dan dipasangi nisan. Pemasangan nisan juga ada tata caranya, yaitu
saling berdekatan dan saling condong satu dengan yang lainnya, harapannya
keluarga yang ditinggalkan saling berdekatan dan saling condong satu dengan
yang lain tidak saling berjauhan dan bercerai berai.
7)
Beras Kuning & uang receh
Beras
kuning dan uang receh ini ditabur-taburkan selama perjalanan dari rumah mayit
menuju ke kuburan. Sejarah asal muasal beras kuning adalah pada zaman tabi’in
adalah sedikit sekali pentakziyah yang
mau mengantarakan jenazah sampai ke kuburan, maka ada beberapa orang yang
berkreasi seperti tersebut di atas, dengan harapan orang-orang mau mengantar
jenazah sampai ke kuburan.
8)
Sesaji & Damar (lampu sentir)
Semenjak
meninggal sampai beberapa hari biasanya keluarga menaruh sesaji dan menghidupkan
damar dalam suatu kamar tertentu dan diusahakan jangan sampai mati. Ini adalah
bentuk doa untuk mayit semoga dia di alam kubur mendapatkan nikmat kubur dan
terang benderang alam kuburnya.
b.
Selamatan memasang kap/atap
rumah.
Dalam
pembangunan rumah juga terdapat beberapa ritual, biasanya diadakan ketika
tahapan masang kap/atap, antara lain sebagai berikut :
1) Menggantung
Padi.
Padi
yang masih dalam tangkainya diikat beberapa ikat terus dipasang di blandar, ini
adalah doa yang diungkapakan dengan barang, semoga penghui rumah selalau diberi
rejeki kesejahteraan pangan.
2) Kelapa
Hampir
sama dengan padi maksudnya adalah doa yang diwujudkan barang. Kelapa termasuk salah
satu bumbu masak, harapannya semoga pemilik rumah tidak kekurangan dalam urusan
dapur.
3) Tebu
Tebu
adalah bahan dasar (gula) air minum, harapannya semoga pemilik rumah selalu
diberi kesejahteraan air minum, karena air minum adalah kebutuhan paling pokok
manusia..
4) Pisang
raja
Tafaulnya
adalah semoga pemilik rumah tidak
kekurangan buah-buahan, yang dipilih buah pisang raja karena termasuk buah yang
awet, meskipun kulitnya sudah rusak tapi buahnya masih bagus.
5) Bendera
merah Putih
Tafaulnya
adalah menumbuhkan sifat nasionalisme, agar pemilik rumah mencintai tanah air
dan bangsanya, sesuai dengan perkataan “hubbul wathon minal iman” cinta tanah
air adalah sebagian dari iman.
6) Sapu
tangan untuk setiap tiang (soko)
Sapu
tangan adalah jenis kain yanmg melengkapi kebutuhan sandang, harapannya semoga
pemilik rumah tidak kekurangn dalam hal pakaian.
7) Jajan
pasar (rakan)
Jajan
pasar adalah makanan-makanan kecil (camilan) yang biasa dijual di pasar-pasar
terdiri dari berbagi macam jenis, harapannya semoga pemilik rumah selalu
sejahtera dalam urusan makanan/bisa
pergi berbelanja ke pasar.
8) Bubur
abang putih & suruh
Abang
melambangkan darah putih melambangkan tulang, sendoknya pun pakai daun pisang
(suruh) harapannya semoga pemilik rumah menjadi orang yang lemah lembut seperti
bubur abang putih dan suruh daun pisang.
9) Ayam
ingkung
Harapannya
adalah si pemilik rumah makmur/sejahtera, mempunyai banyak hewan piaraan (rojo
koyo) dan tidak kekurangan vitamin hewani.
C. ANALISIS HUKUM KEARIFAN LOKAL
Salah
satu yang paling penting dalam ranah pluralisme social adalah sesuatu yang
terkait dengan kepercayaan atau agama yang dianut masyarakat . Pluralitas agama
sangat berperan mewarnai sejarah kehidupan social, tidak terkecuali mayarakat
kontemporer, baik dalam skala kecil maupun skala besar, terutama di
Negara-negara yang sangat mengedepankan religiusitas seperti Indonesia Dalam masyarakat
Indonesia ditemukan perbedaan kepercayaan dan agama yang dianut penduduknya,
sepeti Islam, Kristen, Budha dan Hindu yang masing-masing pemeluknya mengakui
kebenaran agamanya. Perbedaan ini adalah bagian dari konsekwensi pluralitas
agama yang terkait dengan sejarah masyarakat Indonesia dalam relevansinya
masyarakat dunia. Keragamn agama sebagaimana keragaman etnisitas suku dan
bangsa, juga dipahami dalam satu perspektif kemanusian yang hidup berdampingan
dengan kekhasannya membangun kehidupan bersama. Indonesia menjadi lebih unik dengan keunikan keunikan agama yang
dianut oleh penduduknya tersebut. Keunikan-keunikan ini bukanlah ancaman
terhadap pemeluk agama yang satu bagi eksistensi agama yang lainnya, tetapi
akan lebih memperjelas keunikan tersendiri. Agama yang dianut oleh seorang
pemeluknya menjadi identitas pribadinya
sekaligus cerminan kesucian agamanya.[19]
Kaidah
dan prinsip dasar Islam untuk mewujudkan cita-cita Islam yang universal, yaitu:
Hifdzu Din (memelihara kebebasan
beragama), Hifdzu Aql (memelihara
kebebasan nalar berpikir), Hifdzu Mal
(memelihara/menjaga harta benda), Hifdzu
Nafs (memelihara hak hidup), Hifdzu
Nasl (memelihara hak untuk mengembangkan keturunan). Acuan moral dalam
penerapan fiqih mu’amalah ini, pada dasarnya merupakan ciri dari sebuah
ke-universalitas-an agama Islam. Kearifan local yang berjalan turun temurun tidak
serta merta menafikan atau bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut.
Diskursus
perbedaan keberislaman itu juga sering dikaitkan dengan perbedaan simbolik yang
didasarkan pada corak ormas kegamaan dengan gaya khas lokal Indonesia dan ormas
dengan corak yang bersifat internasional (transnasional). Islam lokal merupakan
Islam yang lahir dan mengekspresikan Islam keindonesiaan, sedangkan Islam
Transnasional merupakan Islam yang lahir dan mengekspresikan budaya luar
Indonesia (Timur Tengah) khususnya pada simbol-simbol keagamaannya. Wacana Islam
lokal dan Transnasional merupakan konsekuensi dari globalisasi yang
mengandaikan persentuhan nilai-nilai budaya, politik, ekonomi termasuk system
keyakinan yang tanpa batas antara satu negara dengan negara lainnya.
Dalam
pandangan NU perjuangan pembumian
syari’at Islam adalah kewajiban agama dengan memperjuangkan sesuatu yang paling
mungkin dicapai, dan sesuatu yang paling mungkin dicapai adalah yang paling
tepat digunakan. Dalam konteks hukum agama (bidang muamalah) berlaku prinsip
apa yang disebut dengan prinsip ‘tujuan dan cara pencapaianya” (al-ghayah wa
al-wasail). Selama tujuan masih tetap, maka cara pencapaiannya menjadi sesuatu
yang sekunder. Tujuan hukum akan selalu tetap, tetapi cara pencapaianya bisa
berubah-rubah seiring dengan dinamika zaman.
Prinsip
dasar yang dikembangkan NU dalam merespon arus perubahan dalam berbagai dimensi
kehidupan khususnya berkaitan dengan problematika hukum kontemporer
(al-waqi’iyyah al-haditsah) dan perubahan kebudayaan, NU berpegang pada kaidah
“al-Muhafadhatu ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhd bi al-jadid al-ashlah” yaitu
memelihara tradisi lama yang masih baik (relevan) dan mengambil hal-hal baru
yang lebih baik.
Proses
dialektika Islam dengan budaya lokal Indonesia yang menghasilkan produk budaya
sintetis merupakan suatu keniscayaan sejarah sebagai hasil dialog Islam dengan
system budaya local. Lahirnya berbagai ekspresi-ekspresi ritual yang nilai
instrumentalnya produk budaya lokal, sedangkan muatan materialnya bernuansa
religius Islam adalah sesuatu yang wajar dan sah adanya dengan syarat
akulturasi tersebut tidak menghilangkan nilai fundamental dari ajaran agama.
Dalam
satu riwayat diterangkan bahwa Nabi Muhammad saw pernah lewat sebuah kuburan,
tiba-tiba nabi berhenti dan mengambil pelepah kurma yang masih basah. Oleh Nabi
pelepah kurma tersebut dibelah/dibagi menjadi 2 bagian dan masing-masing
diletakkan di atas 2 kuburan. Apakah perbuatan Nabi tersebut termasuk syirik?.
Melihat Nabi berbuat seperti itu ada salah seorang sahabat penasaran terus
bertanya kepada Nabi kenapa beliau berbuat seperti itu? Kemudian nabi
menjelaskan bahwa siksa orang yang ada dalam kubur akan diringankan selama
pelepah kurma masih hijau/belum mengering. Ternyata perbuatan Nabi adalah
simbolisasi sebuah makna.
Menurut
KH. Akhmad Chalwani[20]
dalam beberapa kali ceramahnya beliau menerangkan bahwa kita tidak
diperbolehkan tergesa-gesa memberikal label syirik terhadap suatu perkara,
apabila masih bisa diberi ta’wil maka sebaiknya kita berikan ta’wil terlebih
dahulu terhadap perkara tersebut. Kalau ada orang yang mengatakan kearifan
lokal adalah perbuatan syirik atau bid’ah sebetulnya orang itulah yang kurang
bisa menakwilkan atau memaknai kearifan local tersebut. Seperti contoh mengapa
slametan[21]
sedekah bumi diletakkan di perempatan jalan? Takwil yang benar adalah
karena perempatan jalan merupakan lalu
lalangnya orang banyak, pemberi sedekah mengharapkan sedekahnya
diambil/dimanfaatkan banyak orang, jadi siapapun yang lewat boleh mengambil
sedekah tersebut. Menurut Ilmu Tafsir takwil dibagi menjadi tiga :
1. Ta'wil
li al-qaul (ta'wil perkataan)
Berarti
makna sebuah perkataan dan hakekat yang dimaksudkan. Dalam bahasa Arab,
perkataan terbagi menjadi dua; yaitu insya' dan khabar, bagian utama dari
insya' adalah amr (perintah). Oleh karenanya, ta'wil dalam hal ini memiliki dua
pengertian;
a. Ta'wil
Amr yaitu dengan mengerjakan apa yang diperintahkan, contohnya hadis riwayat
Aisyah Radhiyallah 'anha bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
dalam rukuk dan sujudnya banyak membaca :
[22]سبحنك اللهم ربنا و بحمدك اللهم اغفر لي
“Maha Suci
Engkau ya Allah dan segala puji bagi-Mu, ya Allah ampunilah aku” sebagai ta'wil
dari firman Al-Qur'an QS. An-Nashr: 3.
b. Ta'wil
Ikhbar yaitu terjadinya suatu peristiwa sebagaimana yang dikabarkan, contohnya seperti
firman Allah QS. Al-A'raf : 53. Allah
mengabarkan akan datangnya hari kiamat, sedangkan manusia menunggu ta'wil
(terjadinya) yang dikabarkan Al-Qur'an.
2. Ta'wil
li al-fi'l (ta'wil perbuatan)
Seperti
apa yang dikatakan oleh sahabat Nabi Musa 'Alaihissalam setelah melubangi
perahu tanpa seizin pemiliknya, membunuh seorang anak, dan menegakkan kembali
bangunan roboh, dalam QS. Al-Kahfi: 82.
3. Ta'wil
li ar-ru'ya (ta'wil mimpi).
Ta'wil
li ar-ru'ya atau ta'wil al-ahadith (ta'wil mimpi), seperti perkatan Nabi Ya'qub
kepada putranya Nabi Yusuf 'Alaihimassalam dalam QS. Yusuf : 6, dan sebaliknya
pada ayat: 100.
Dari
penjelasan tentang pembagian takwil di atas dapat disimpulkan bahwa ritual
kearifan local dapat ditakwili sebagaimana pentakwilan terhadap perbuatan
sahabat nabi Musa as.[23]
Kelompok
yang kontra menuduh bahwa kearifan local adalah perbuatan bid’ah dan bahkan ada
yang lebih ekstrim lagi sebagai perbuatan syirik. Mayoritas kaum muslimin
membagi bid'ah menjadi dua :
1.
Bid'ah yang terpuji (mahmudah)
2.
Bid'ah yang tercela (madzmumah)
Imam Syafi’i
membagi bid'ah menjadi dua macam; pertama, sesuatu yang baru yang bertentangan
dengan perintah al-Qur'an, hadist atau ijma’ disebut bid'ah sesat (dhalalah), Kedua,
sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi al-Qur'an, hadist atau
ijma’ itu disebut bid'ah tidak tercela (hasanah). Bahkan al-Imam al-Syafi’i
menafikan nama bid’ah terhadap sesuatu yang mempunyai landasan dalam syara’
meskipun belum pernah diamalkan oleh salaf. Beliau berkata : “Setiap sesuatu yang mempunyai dasar dari
dalil-dalil syara’, maka bukan termasuk bid’ah meskipun belum pernah dilakukan
oleh salaf”[24]
Al-Imam
Izzuddin bin Abdussalam membuat kategori bid'ah[25] menjadi
lima bagian sebagai berikut :
1.
Bid’ah wajib seperti meletakkan
dasar-dasar ilmu agama dan bahasa Arab yang belum ada pada zaman Rasulullah.
Ini untuk menjaga dan melestarikan ajaran agama, seperti kodifikasi al-Qur'an
misalnya.
2.
Bid'ah yang sunnah seperti
mendirikan madrasah di masjid, atau halaqah-halaqah kajian keagamaan dan
membaca al-Qur'an di dalam masjid.
3.
Bid'ah yang haram seperti
melagukan al-Qur'an hingga merubah arti aslinya,
4.
Bid'ah makruh seperti menghias
masjid dengan gambar-gambar
5.
Bid'ah yang mubahah, menjamah
makanan dan minuman yang lezat-lezat, pakaian yang indah, tempat tinggal yang
mewah, memakai baju kebesaran dan lain sebagainya. [26]
Ada
pendapat yang mengatakan bahwa bid'ah terjadi hanya dalam masalah-masalah
ibadah. Namun di sini juga ada kesulitan untuk membedakan mana amalan yang
masuk dalam kategori masalah ibadah dan mana yang bukan. Memang agak rumit
menentukan mana bid'ah yang baik dan tidak baik dan ini sering menimbulkan
percekcokan dan perselisihan antara umat Islam, bahkan saling mengkafirkan.
Selayaknya kita tidak membesar-besarkan masalah seperti ini, karena kebanyakan
kembalinya hanya kepada perbedaan cabang-cabang ajaran (furu'iyah). Kita
diperbolehkan berbeda pendapat dalam masalah cabang agama karena ini masalah
ijtihadiyah (hasil ijtihad ulama). Sikap yang kurang terpuji dalam mensikapi
masalah furu'iyah adalah mengklaim dirinya dan pendapatnya yang paling benar.
Perbedaan
di antara kaum muslimin itu sesuatu yang wajar, akan tetapi penyimpangan akidah
itu yang tidak boleh dibiarkan. Sebab, semua ulama’ Ahlus Sunnah sepakat dalam
perkara-perkara ushul, tapi berbeda dalam furu’. Mereka memperbolehkan berbeda
dalam urusan fiqhiyyah tapi tidak bisa didiamkan jika berdebat dalam urusan ‘aqa’idiyyah.
Oleh sebab itu, seorang Sunni tidak membesar-besarkan urusan furu’iyyah.
Jika
kita ingin 100% seperti zaman Nabi Muhammad SAW, apapun yang ada di sekeliling
kita, jelas tidak ada di zaman Nabi. Yang menjadi prinsip kita adalah esensi.
Esensi dari suatu kegiatan itulah yang harus kita utamakan. Nabi Muhammad SAW
bersabda : 'Barang siapa yang melahirkan aktifitas yang baik, maka baginya
adalah pahala dan (juga mendapatkan) pahala orang yang turut melakukannya'.
Makna 'aktifitas yang baik' --secara sederhananya--adalah aktifitas yang
menjadikan kita bertambah iman kepada Allah SWT dan Nabi-Nabi-Nya, termasuk
Nabi Muhammad SAW, dan lain-lainnya.
Keanekaragaman
sosial budaya masyarakat pada suatu daerah tidak terbentuk dalam jangka waktu
yang singkat. Namun terbentuk melalui sejarah yang panjang, perjalanan berliku,
tapak demi tapak yang terjadi secara turun temurun dari berbagai generasi. Pada
titik tertentu terdapat peninggalan-peninggalan yang eksis atau terekam sampai
sekarang yang kemudian menjadi warisan budaya. Dengan demikian, proses
perjalanan sejarahnya pun tidak dapat dipolitisasi bahkan direkayasa. Hal ini
menjadi penting agar tidak menghentikan tradisi budaya mereka yang sudah
berjalan secara turun-temurun sebagai warisan.
D. KESIMPULAN
Sebagai
penutup makalah ini, penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan sebagai
berikut :
1. Kerafian
local sebagai warisan budaya nenek moyang yang mempunyai nilai luhur.
2. Kearifan
local selama tidak menabrak rambu-rambu syari’at bisa dibenarkan dan tidak termasuk
bid’ah dholalah.
3. Hamper
setiap—kalau tidak dapat dikatakan semua—suku di Indonesia memiliki acuan norma-norma
dari budaya lokal masing dalam berinteraksi baik secara individu maupun kelompok
dari sesama suku atau dengan suku lain dalam kehidupan sosial-keagamaan, baik
intern (sesama penganut agama yang sama) maupun ekstern (antar penganut agama
yang berbeda);
4. Kearifan
lokal masing-masing suku ada yang masih fungsional, ada pula yang sudah tidak
fungsional karena perkembangan zaman, adanya pergeseren nilai-nilai yang
dipegangi oleh masyarakat, atau penolakan dari sebagian anggota masyarakat;
5. Tetap
fungsionalnya kearifan lokal tentu tidak terlepas dari proses sosialisasi yang
dilakukan oleh generasi tua kepada generasi penerusnya;
6. Kearifan
lokal itu ada yang fungsional di wilayah budaya aslinya, namun ketika dibawa
keluar wilayah aslinya menjadi tidak fungsional. Sebaliknya, ada norma-norma
yang bersumber dari kearifan lokal suku tertentu, namun tetap fungsional di
mana pun berada, bahkan menjadi acuan bagi suku-suku lain;
7. Ada
kemungkinan munculnya kearifan lokal baru sebagai rekacipta (institutional
development) dari kearifan lokal yang sudah tidak fungsional lagi, walaupun
kearifan lokal yang baru tidak sama dengan bentuk asli dari kearifan lokal yang
lama
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Imam Mawardi. Fiqh Minoritas, Yogyakarta : LKiS. 2010.
Al-Suyuthi,
Abdu al-Rahman bin Abi Bakr. t.t. Al-Asbah wa al-Nadhoir. ttp: Daar
al-Ihya al-Kutub al-Arabiyah.
Irwan
Abdullah, Dkk. Agama dan KearifanLokal dalam Tantangna Global. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar. 2008.
Muhamad
Abu Zahrah. Ushul Fiqih. Jakarta : Pustaka Firdaus. 2008
Purwono
Sastro Amijoyo. Kamus Inggris-Indonesia. Semarang: Widya Karya. 2007.
Ritzer.
Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: Rajawali Press. 1992.
Said
Agil Husin Al-Munawar. Fikih Hubungan Antar Agama. Jakarta : Ciputat Press.
2003.
Tilley.
C. Ethnograph and Material Culture” dalam Atkinson et al (ed) Handbook of
Ethnography. London: Sage Publication. 2001.
Tim
Bahtsul Masail PCNU Jember. Membongkar Kebohongan Buku “Mantan Kiai NU
menggugat Sholawat & Dzikir Syirik. Surabaya: Khalista. 2008.
WEBSITE
Elly
Burhainy Faizal dalam http://www.papuaindependent.com
diakses 21 Juli 2011
http://buntetpesantren.org/index.php?option=com_content&task=view&id=270&Itemid=147
21 Juli 2011
Rachmanto
Aris D. Berawal dari Kearifan Lokal dalam
http://swa.co.id/2010/02/berawal-dari-kearifan-lokal/ diakses 14 Juli 2011
Sarlito
Wirawan Sarwono. Kearifan Lokal. dalam http://suara.okezone.com/read/2011/07/10
kearifan-lokal diakses 14 Juli 2011.
Sartini,
Menggali Kearifan Lokal, dalam http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id/index.php,
diakses 14 Juli 2011
[1] Rachmanto Aris
D. Berawal dari Kearifan Lokal dalam
http://swa.co.id/2010/02/berawal-dari-kearifan-lokal/ diakses 14 Juli 2011
[2]
Al-Munawar, Said Agil Husin. 2003.Fikih Hubungan Antar Agma., Jakarta :
Ciputat Press. Hal 99
[3] Al-Munawar, Fikih …hal 94-95
[4]
http://buntetpesantren.org/index.php?option=com_content&task=view&id=270&Itemid=147
21 Juli 2011
[5] Amijoyo, Purwono Sastro.2007.
Kamus Inggris-Indonesia. Semarang: Widya Karya.h al 226
[6] Amijoyo, … Hal 354.
[7] Elly Burhainy
Faizal dalam http://www.papuaindependent.com
diakses 21 Juli 2011
[8] Al-Suyuthi, Abdu al-Rahman bin
Abi Bakr. t.t. Al-Asbah wa al-Nadhoir. ttp: Daar al-Ihya al-Kutub
al-Arabiyah. hal. 63.
[11] Mawardi, Ahmad Imam, 2010. Fiqh
Minoritas, Yogyakarta : LKiS , hal 150.
[12] Sartini,
Menggali Kearifan Lokal, dalam http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id/index.php,
diakses 14 Juli 2011
[13] Atau disebut
juga matriakal, yaitu ibu punya power yang lebih dibanding bapak. Anak-anak
menurut kepada ibunya.
[14] Sarlito Wirawan
Sarwono (Guru Besar Fakultas Psikologi UI). Kearifan Lokal. dalam
http://suara.okezone.com/read/2011/07/10/58/478015/kearifan-lokal diakses 14
Juli 2011.
[15] Tilley. 2001. Hal : 258.
[16] Lury.1998. hal:16
[17] Abdullah, Irwan. Dkk.2008. Agama
dan KearifanLokal dalam Tantangna Global. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal:
189
[18] Ritzer. 1992: 64
[19] Al-Munawar, Said Agil Husin.
2003.Fikih Hubungan Antar Agma., Jkarta : Ciputat Press.Hal 94-95
[20] Mursid Kamil
thariqah Qadiriyyah Naqsabandiyyah Berjan
[21] Slametan berasal dari bahasa Jawa slamet yang berarti selamat atau terhindar dari bahaya dan malapetaka yang menimpanya
[22] HR. Bukhari,
kitab Adzan, bab tasbih dan do'a dalam sujud, no. 871 dan Muslim, kitab shalat,
bab bacaan dalam ruku' dan sujud, no.746.
[23] ada yang
menafsirkan bahwa yang dimaksud adalah nabi Khidir as.
[24] Tim Bahtsul Masail PCNU Jember.
2008. Membongkar Kebohongan Buku “Mantan Kiai NU menggugat Sholawat &
Dzikir Syirik. Surabaya: Khalista, hal 71.
[25] Untuk lebih jelas tentang
pembagian dan pembahasan bid’ah silahkan baca buku “Membongkar Kebohongan Buku
“Mantan Kiai NU menggugat Sholawat & Dzikir Syirik”.
[26] Al-Imam Izzudin bin Abdis Salam.
Qowai’idul Ahkam. Juz 2. Hal 133 dalam Tim Bahtsul Masail PCNU Jember. 2008.
Membongkar Kebohongan Buku “Mantan Kiai NU menggugat Sholawat & Dzikir
Syirik. Surabaya: Khalista, hal 74-76.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar