TERORISME
(Analisis Terhadap
Eksistensi Teroris dalam Negara Hukum dan Agama)
Oleh: Hartono
Sekapur Sirih
Prahara kemanusiaan di
dunia ini sudah mengisi agenda sejarah sebagai produk manusia yang kehilangan
etos keberadabannya. Banyak orang dengan mudahnya melahirkan sebuah persepsi,
praduga tak bersalah (presumption of guilt) dan saling mencurigai kalau
kekerasan yang terjadi dalam suatu komunitas dan konflik-konflik internal suatu
negara adalah identik dengan terorisme. Bahkan negara pun bisa jadi terjebak
dalam sifat ketergesa-gesaan untuk memproduk hukum yang mengatur terorisme,
meskipun untuk memberikan pemaknaan yang tegas tentang terorisme masih sulit
dirumuskan atau masih terdapat perbedaan pendapat yang mendasar. Ironisnya
lagi, banyak orang gampang terjebak dalam asumsi yang dibangun masyarakat
global, khususnya Barat kalau negara Indonesia identik dengan teroris.
Kondisi pluralistik
masyarakat Indonesia menjadi salah satu penyebab sulitnya menyatukan visi
tentang terorisme, khususnya jika dikaitkan dengan persoalan agama. Eksistensi
agama masyarakat Indonesia yang beragam mengandung konsekuensi terjadinya
perbedaan “mazhab” yang tidak mungkin atau menyulitkan untuk melakukan
unifikasi pemikiran terorisme.[1]
Bisa jadi dalam suatu perspektif atau pemahaman, tindakan
kekerasan, radikalisme, ektrimisme, atau gerakan-gerakan yang dinilai sebagai
“kiri” digolongkan dan mendapatkan stigma sebagai perbuatan melanggar hukum,
menghina kewibawaan negara, dan melecehkan Hak Asasi Manusia (HAM), namun tidak
pula dapat dipungkiri bahwa aksi kekerasan itu dibenarkan menurut kacamata
suatu komunitas pemeluk agama, bahkan ditempatkan sebagai suatu kewajiban yang
menuntut ditegakkan.
Cukup wajar kalau lahirnya ketentuan hukum yang mengatur
terorisme mendapatkan koreksi atau disikapi secara kritis oleh masyarakat,
terutama komunitas agama. Sebab dalam kacamata mereka ini, apa yang dirumuskan
dalam produk hukum itu dinilai telah nyata-nyata kontra-normatif dengan doktrin-doktrin
agama yang memberikan pembenaran kekerasan.
Gerakan-gerakan bercorak radikal atau fundamental dalam
suatu persepsi komunitas agama tertentu adalah kewajiban yng menuntut
implementasi ketika aksi itu ditujukan sebagai bentuk konkrit perjuangan
menegakkan keadilan, persamaan derajat, kebenaran, dan harkat martabat
kemanusiaan. Konsep dan doktrin Islam “amar ma’ruf nahi munkar” misalnya oleh
suatu komunitas keagamaan tertentu telah ditempatkan sebagai prinsip jihad yang
menuntut totalitas kapabilitas dirinya, termasuk menggunakan kekuatan fisik sehingga
ketika konsep ini dijadikan ruh dan prinsip perjuangan menegakkan ajaran agama,
maka dampaknya adalah terjadi benturan dengan kekuatan komunitas sesama pemeluk
agama dan pemeluk agama lain serta kepentingan-kepentingan politik, sosial,
budaya, ekonomi yang dibangun oleh negara, yang pemerintahnya tidak punya
keinginan untuk memperbaharui ketimpangan moral-strukturalnya. Akhirnya
benturan yang terjadi eskalasinya meluas, yakni negara vis-à-vis dengan
agama (komunitas) dan pemeluk agama lain menjadi musuh bagi pemeluk agama lain.
Di sisi lain, produk hukum selain akan diuji kemampuan
normatifnya oleh pelaku-pelaku terorisme, juga akan menjadi objek yang
dikritisi. Ibaratnya, seperti pisau bermata dua, di satu aspek, hukum punya
kewibawaan suci dan mulia untuk menjaga tegaknya HAM melalui penegakan hukum (law
enforcement) yang fair, objektif dan realistik. Namun di sisi yang lain,
hukum juga akan ikut dipersalahkan jika tahap implementasinya “disalahgunakan”
oleh aparat dan pelaku-pelaku yang punya target politik, yang salah satu
dampaknya melecehkan HAM, agama dan negara yang bersangkutan.
Definisi Terorisme
Hingga saat ini, definisi terorisme masih menjadi
perdebatan meskipun sudah ada ahli yang merumuskan, dan dirumuskan di dalam
peraturan per-UU. Amerika Serikat sendiri yang pertama kali mendeklarasikan
“perang melawan teroris” belum memberikan definisi secara gamblang dan jelas
sehingga semua orang bisa memahami makna sesungguhnya tanpa keraguan, tidak
merasa didiskriminasikan serta dimarginalkan.
Ketiadaan definisi hukum Internasional mengenai terorisme
tidak serta merta berarti meniadakan definisi hukum tentang terorisme itu.
Menurut hukum nasional masing-masing negara, di samping bukan berarti
meniadakan sifat jahat perbuatan itu dan dengan demikian lantas bisa diartikan
bahwa pelaku terorisme bebas dari tuntutan hukum. Nullum crimen sine poena,
bunyi sebuah asas hukum tua, yang bermakna bahwa tiada kejahatan yang boleh
dibiarkan berlaku begitu saja tanpa hukuman, tetapi karena faktanya kini terorisme
sudah bukan lagi sekedar International Crime dan sudah menjadi Internationally
Organized Crime maka sangatlah sulit untuk memberantas kejahatan jenis ini
tanpa adanya kerjasama dan pemahaman yang sama di kalangan negara-negara.[2]
Kata teroris (pelaku) dan terorisme (aksi) berasal dari
kata latin ‘terrere’ yang berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Kata
‘teror’ juga bisa menimbulkan kengerian di hati dan pikiran korbannya. Akan
tetapi hingga kini tidak ada definisi terorisme yang dapat diterima secara
universal. Pada dasarnya, istilah terorisme merupakan sebuah konsep yang
memiliki konotasi yang sangat sensitive karena terorisme menyebabkan terjadinya
pembunuhan dan penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa atau
masyarakat sipil. Masing-masing negara mendifinisikan terorisme menurt
kepentingan dan keyakinan mereka sendiri untuk mendukung kepentingan
nasionalnya.[3]
Pengertian terorisme untuk pertama kali dibahas dalam European
Convention on the Supression of Terorism (ECST) di Eropa pada tahun 1977
terjadi perluasan paradigma arti dari Crimes Against State menjadi Crimes
Against Humanity. Crimes Against Humanity meliputi tindak pidana untuk
menciptakan suatu keadaan yang mengakibatkan individu, golongan dan masyarakat
umum ada dalam suasana teror. Dalam kaitannya dengan HAM, Crimes Against
Humanity masuk kategori gross violation of human rights yang
dilakukan sebagai bagian serangan yang meluas atau sistematik dan diketahui
bahwa serangan itu ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil,
lebih-lebih diarahkan pada jiwa-jiwa orang yang tidak bersalah (public by
innocent) sebagaimana halnya terjadi di Bali. Seruan diperlukannya suatu
per-UU terorisme pun disambut pro kontra mengingat polemik definisi mengenai
terorisme masih bersifat multi interpretative, umumnya lebih mengarah pada
polemik kepentingan negara atau state interested. Bila indikasi
pengertian ini lebih mengarah pada kepentingan negara setidaknya sebagai
perbuatan Crimes Against State maka sangat dikhawatirkan adanya jubah
subversi (UU No. 11/PNPS/1963) muncul ke permukaan sebagai ekspresi demokrasi
dan HAM.[4]
Untuk memahami makna terorisme lebih jauh dan mendalam,
dapat dikaji terlebih dahulu definisi terorisme yang dikemukakan oleh beberapa
lembaga atau ahli, diantaranya:
1. US Central Intelegence Agency (CIA); terorisme
internasional adalah terorisme yang dilakukan dengan dukungan pemerintah atau
organisasi asing dan atau diarahkan untuk melawan negara, lembaga atau
pemerintah asing.
2. US Federal Bureau of Investigation (FBI); terorisme
adalah penggunaan kekerasan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta
untuk mengintimidasi sebuah pemerintah, penduduk sipil serta elemennya unuk
mencapai tujuan sosial atau politik.
3. US Departments of State and Defense; terorisme adalah
kekerasan bermotif politik dan dilakukan oleh agen negara atau kelompok
subnasional terhadap sasaran kelompok non kombatan. Biasanya dengan maksud
untuk mempengaruhi audiens. Terorisme internasional adalah terorisme yang
melibatkan warga negara atau wilayah lebih dari satu negara.
4. Black’s Law Dictionary; terorisme adalah kegiatan yang
melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan
manusia yang melanggar hukum pidana Amerika, atau negara bagian Amerika, dan
dimaksudkan untuk mengintimidasi penduduk sipil, mempengaruhi kebijakan
pemerintah, mempengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan dan
pembunuhan.
5. The Arab Convention on the Supression of Terorism (1998);
terorisme adalah tindakan atau ancaman kekerasan, apapun motif dan tujuannya,
yang terjadi untuk menjalankan agenda tindak kejahatan individu atau kolektif
yang menyebabkan teror di tengah masyarakat, rasa takut dengan melukai mereka
atau mengancam kehidupan, kebebasan atau keselamatan atau bertujuan untuk
menyebabkan kerusakan lingkungan atau harta publik maupun pribadi atau
menguasai dan merampasnya atau bertujuan untuk mengancam sumber daya nasional.
6. Treaty on Cooperation among the State Members of the
Commonwealth of Independent States in Combating Terorism (1999); terorisme
adalah tindakan illegal yang diancam hukuman di bawah hukuman pidana yang
dilakukan dengan tujuan merusak keselamatan publik, mempengaruhi pengambilan
kebijakan oleh penguasa atau moneter penduduk, dan mengambil bentuk kekerasan
atau ancaman.[5]
7. Convention of Organization of Islamic Conference on Combating
of International Terorism (1999); terorisme adalah tindakan kekerasan atau
ancaman tindakan kekerasan terlepas dari motif atau niat yang ada untuk
menjalankan rencana tindak kejahatan individu atau kolektif dengan tujuan
menteror orang lain atau mengancam untuk mencelakakan mereka atau mengancam
kehidupan, kehormatan, kebebasan, keamanan dan hak mereka atau mengeksploitasi
lingkungan atau fasilitas atau harta benda pribadi atau publik atau menguasainya
atau merampasnya, membahayakan sumber nasional atau fasilitas internasional,
atau mengancam stabilitas, integritas teritorial, kesatuan politis atau
kedaulatan negara-negara yang merdeka.[6]
8. Paul Wilkinson; terorisme adalah aksi teror yang sistematis, rapi
dan dilakukan oleh organisasi tertentu.[7]
9. Hadi al-Madkhaly; terorisme adalah sebuah kalimat yang terbangun
di atasnya makna yang mempunyai bentuk (modus) beraneka ragam yang intinya
adalah gerakan intimidasi atau teror atau gerakan yang menebarkan rasa ketakutan
pada individu atau kelompok masyarakat.[8]
10. Hafid Abbas (Dirjen Perlindunngan HAM Depkeh dan HAM RI); terorisme
adalah pemakaian kekuatan atau kekerasan tidak sah melawan orang atau property
untuk mengintimidasi atau menekan pemerintah, masyarakat sipil, atau
bagian-bagiannya untuk memaksa tujuan sosial dan politik.[9]
11. Dalam pasal 1Perpu No.01 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme (sekarang UU No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme); terorisme adalah perbuatan melawan hukum secara sistematis
dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara dengan
membahayakan bagi badan, nyawa, moral, harta benda dan kemerdekaan orang atau
menimbulkan kerusakan umum atau suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara
meluas sehingga terjadi kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis,
kebutuhan pokok rakyat, lingkungan hidup, moral, peradaban, rahasia negara,
kebudayaan, pendidikan, perekonomian, teknologi, perindustrian, fasilitas umum
atau fasilitas internasional.
Karakteristik
Terorisme
Dalam sebuah laporannya yang diberi judul The
Sociology and Psichology of Terorism; Who Become a Terorist and Why? Divisi
riset federal (konggres AS) disebutkan ada lima ciri dari kelompok teroris,
yakni: separatis-nasionalis, fundamentalis-relegius, relegius baru,
revolusioner, revolusioner sosial dan teroris sayap kanan. Klasifikasi kelompok
ini didasarkan pada asumsi bahwa kelompok-kelompok teroris dapat dikategorikan
menurut latar belakang politik dan idiologi.[10]
Ciri pengidentifikasian terorisme akan dapat memberikan
pengenalan yang tunggal dan solid mengenai terorisme, agar dapat mudah dikenali
dalam konteks operasinya. Dalam sudut pandang seperti tersebut, maka paling
tidak ada sebelas (11) ciri identifikasi terorisme:
1. Terorisme, apapun metode yang digunakan ia merupakan suatu
bentuk penggunaan kekerasan (oleh suatu kelompok), untuk menekan pemerintah dan
atau masyarakat, agar menerima tuntutan perubahan sosial maupun politik yang
secara umum bernuansa dan atau menggunakan cara-cara yang bersifat radikal.[11]
2. Spektrum motivasi yang melatarbelakangi gerakan dan aksinya
memiliki spektrum yang beragam.
3. Komunitas yang sangat spesifik (komunitas yang terus menerus
dicaci maki, ditekan atau dirongrong wibawanya.
4. Sangat profesional dalam tugasnya dan mendapat perlindungan yang
ketat dari organisasi dan sebaliknya.
5. Sangat sulit dilacak dan dibuktikan secara legal.
6. Upaya memerangi terorisme multidimensi dan multidisipliner.
7. Secara organisatoris, baik dalam pembinaan, pengembangan dan
operasinya memiliki sayap operasional dilapangan.
8. Selalu mengadakan kerjasama yang melampaui batas wilayah negara.
9. Penampilan para teroris sering mengecoh aparat.
10. Sepak terjang teroris lebih licik, lincah dan licin.
11. Doktrin operasi terorisme yang merupakan petunjuk pelaksanaan,
petunjuk teknis dan petunjuk taktis di lapangan.
Bentuk-bentuk Terorisme
Ada beberapa bentuk terorisme yang dikenal, yaitu teror
kriminal dan teror politik. Teror kriminal biasanya hanya
untuk kepentingan pribadi atau memperkaya diri sendiri. Teroris kriminal
biasanya menggunakan cara pemerasan dan intimidasi. Lain halnya dengan teroris
politik yang lebih memilih-milih korbannya. Ada beberapa karakteristik dari teroris
politik yaitu merupakan intimidasi koersif, memakai pembunuhan dan
destruksi secara sistematis sebagai sarana, korban bukan tujuan, melainkan
sarana untuk menciptakan perang urat syaraf, target aksi teror dipilih, bekerja
secara rahasia dengan tujuan publisitas, pesan aksi itu cukup jelas, ara pelaku
kebanyakan dimotivasi oleh idealisme yang cukup keras.
Kejahatan terorisme jika dibandingkan dengan jenis-jenis
kejahatan lain, maka terorisme merupakan suatu kejahatan yang unik. Terdapat
banyak elemen yang membedakannya dengan kejahatan yang lain, diantarannya seringkali
terdapat elemen yang ekstrim (extreme fear), adanya tujuan tertentu,
penggunaan teknologi baik di bidang persenjataan maupun teknologi lain (misalnya komunikasi), dan gerakannya klandestin
atau tertutup.[12]
Terorisme dalam Perspektif
Islam
Dari sudut pandang agama, Azumardi Azra, Rektor UIN
Syarif Hidayatulah Jakarta mengatakan bahwa terorisme sebagai kekerasan politik
sepenuhnya bertentangan dengan etos kemanusiaan yang sangat menekankan
kemanusiaan universal. “Islam menganjurkan umatnya untuk berjuang mewujudkan
perdamaian, keadilan, dan kehormatan, akan tetapi perjuangan itu haruslah tidak
dilakukan dengan cara-cara kekerasan atau terorisme. Setiap perjuangan untuk
keadilan harus diperjuangkan dan dibela setiap manusia. Isalm memang menganjurkan
dan memberi justifikasi kepada Muslim untuk berjuang, berperang (harb),
dan menggunakan kekerasan (qital) terhadap para penindas, musuh-musuh
Islam dan pihak luar yang menunjukkan sikap bermusuhan atau tidak mau hidup
berdampingan secara damai dengan Islam dan kaum Muslimin.[13]
Islam ssebagai agama Rahmatan lil ‘alamin, jelas
menolak dan melarang penggunaan kekerasan demi untuk mencapai (al-Ghayah)
termasuk yang baik sekalipun. Sebuah kaidah ushul dalam Islam menegaskan al-ghayah
la tubarrir al-wasilah (tujuan tidak bisa menghalalkan segala cara). Islam
menegaskan bahwa pembasmian suatu jenis kemungkaran tidak boleh dilakukan
dengan kemugkaran pula. Tidak ada alasan etik dan moral sedikitpun yang bisa
membenarkan suatu tindakan kekerasan, apalagi teror. Dengan demikian kalau ada
tindakan-tindakan teror yang dilakukan oleh kelompok Islam tetentu, maka sudah
pasti alasannya bukan karena ajaran etik moral Islam, melainkan agenda lain
yang tersembunyi di balik tempurung tindakan tersebut.[14]
Ditegaskan oleh Hasyim Muzadi bahwa peledakan bom yang beruntun terjadi di
Indonesia bukan bagian dari ajaran agama. Tapi itu merupakan kejahatan terhadap
kemanusiaan, tidak boleh dibelokkan pada komunitas agama manapun.[15]
Fundamentalisme, merupakan sebutan tudingan yang belum
jelas ditujukan kemana. Istilah ini pada mulanya dipakai untuk gerakan kaum
reaksioner Kristen di Amerika Serikat (sejak 1870) yang merasa terancam oleh
ajaran-ajaran teologi liberal dan evolusi sehingga perlu untuk kembali ke asas
fundamen. Mereka berpangkal pada prinsip “tak mungkin salah” dari kitab
sucinya, termasuk bentuk asli dari kitab suci tidak boleh diubah dan tidak mau tahu
terhadap pandangan-pandangan teologi baru dan eksegesi (penafsiran kitab
suci) yang mencoba menyentuh bentuk kepercayaan tradisional mereka. Gerakan ini
bersifat kaku dan banyak menimbulkan perpecahan-perpecahan gereja dan
perpecahan sekte.
Ada satu hal yang menurut penyusun merupakan cara yang
proporsional untuk menghindari teror bagi kaum Muslimin yaitu dengan cara
memperbaiki pemahaman,penghayatan dan implementasi ke Islamannya. Pemahaman
yang sempit (ekslusif) dan dangkal harus diperluas dan diperdalam; pemahaman
yang subjektif individual harus diobjektivikasi sehingga konstruktif secara
sosial dan kultural. Gerakan pencerdasan lewat tafsir keagamaan yang inklusif
dan esoteric harus sering digalakkan atau disosialisasikan. Bagaimanapun,
dengan pemahaman keagamaan yang sempit akan sulit menjadi nalar cerdas dalam
menyikapi pluralitas sosial dan demokratisasi dalam beragama.
Terorisme dalam Perspektif
Hukum di Indonesia
Perpu No.1 Tahun 2002 yang telah disahkan menjadi UU
No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang dijadikan
dasar hukum Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia menyebutkan bahwa
yang dimaksud dengan terorisme adalah (1) Segala perbuatan yang memenuhi
unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan UU ini (pasal 1 ayat 1). (2)
setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau
menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau
hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau
kehancuran terhadap objek-objek vital yang srategis atau lingkungan hidup atau
fasilitas publik atau fasilitas internasional (pasal 6).
Pengaturan tindak pidana terorisme selain dalam UU No.15
Tahun 2003, juga dapat didukung dengan peraturan yang lainnya yaitu, UU Darurat
No.12 Tahun 1951 Tentang Kepemilikan Senjata Api, dan KUHP, namun tetap dalam
landasan utamanya adalah UU No.15 Tahun 2003. Dalam UU No.15 Tahun 2003
mengecualikan tindak pidana selain yang bermotif politik (pasal 5). Mengenai
terorisme sebagai delik tindak pidana dalam UU No.15 Tahun 2003, dapat dijumpai
dalam pasal-pasal sebagai berikut: (1) Delik Materiil yang terdapat
dalam pasal 6; (2) Delik Formil yang terdapat dalam pasal 7 sampai
dengan 12; (3) Delik Percobaan, (4) Delik Pembantuan; (5)
Delik Penyertaan terdapat dalam pasal 13 dan 15; dan (6) Delik
Perencanaan terdapat dalam pasal 14.
Pertanggungjawaban pidana yang dapat diterapkan pada
pelaku tindak pidana terorisme, yaitu: Liability Based on Fault yang
dapat dikenakan hanya pada orang/secara tunggal, sedang pada korporasi: Strict
Liability dan Vicarious Liability. Liability Based on Fault atau dalam
hukum pidana geen straf zonder schuld merupakan teori pertanggungjawaban yang
tradisional. Bahwasanya dalam teori pertanggungjawaban pidana tersebut harus
diisyaratkan adanya kesalahan (fault) atau negligence atau schuld
untuk dapat dipertanggungjawabkannya kepada seseorang.[16] Tetapi
yang harus digarisbawahi orang yang
bersangkutan harus dinyatakan terlebih dahulu bahwa perbuatannya
tersebut melawan hukum yang berkaitan dengan kejahatan terorisme (unsur-unsur
pidana terorisme).
Mengenai teori pertanggungjawaban stricht liability
didasarkan pada tiga hal yaitu: sangat esensial bagi kesejahteraan masyarakat;
pembuktian adanya unsur mens rea akan menjadi sulit dalam pelanggaran
yang berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat; tingginya tingkat bahaya
sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan yang dilakukan. Dalam lapangan hukum
pidana strict liability didasarkan pada besarnya kerugian yang
ditimbulkan dan pemberatan pidana bagi korporasi.
Kesimpulan
Terorisme adalah perlawanan atau peperangan bukan pada
militer melainkan orang-orang yang tidak berdosa dan masyarakat sipil. Teror
dentik dengan menakut-nakuti dan mengancam sehingga tidak bisa diterima oleh
akal manusia dan tidak dibenarkan oleh semua agama. Di dalam agama memang ada
tindakan kekerasan yang dibenarkan, tetapi hal tersebut sebagai wujud
implementasi hukum (syari’ah), seperti masih diakuinya sanksi dalam
bentuk hukuman mati.
Pengaturan tindak pidana terorisme selain dalam UU No.15
Tahun 2003, juga dapat didukung dengan peraturan lainnya yaitu, UU Darurat
No.12 Tahun 1951 Tentang Kepemilikan Senjata Api, dan KUHP, namun tetap
landasan utamanya adalah UU No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana terorisme
adalah (1) Segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana
sesuai dengan ketentuan UU ini (pasal 1 ayat 1). (2) Setiap orang yang
dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana
teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang
bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan
harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap
objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitaas publik
atau fasilitas internasional (pasal 6).
Dalam UU No.15 Tahun 2003 mengecualikan tindak pidana
selain yang bermotif politik (pasal 5). Mengenai terorisme sebagai delik tindak
pidana dalam UU N0.15 Tahun 2003, dapat dijumpai dalam pasal-pasal sebagai
berikut: (1) Delik Materiil yang
terdapat dalam pasal 6; (2) Delik Formil yang terdapat dalam pasal 7 sampai
dengan 12; (3) Delik Percobaan, (4) Delik Pembantuan; (5) Delik Penyertaan
terdapat dalam pasal 13 dan 15; dan (6) Delik Perencanaan terdapat dalam pasal
14.
1. Pertanggungjawaban pidana yang dapat diterapkan pada pelaku
tindak pidana terorisme, yaitu: Liability Based on Fault yang dapat
dikenakan hanya pada orang/secara tunggal, sedang pada korporasi: Strict
Liability dan Vicarious Liability.
2. Penggunaan sistem peradilan pidana merupakan suatu respon
terhadap penanggulangan dan penanganan kejahatan atau kriminalitas, adalah juga
merupakan wujud dari usaha penegakkan hukum pidana. Mekanisme peradilan pidana
sebagai suatu proses, atau disebut Criminal Justice Process dimulai dari
penangkapan, penggeledahan, penahanan, penuntutan dan pemeriksaan di muka
sidang pengadilan, serta diakhiri dengan pelaksanaan pidana atau eksekusi.
_____________
DAFTAR PUSTAKA:
Adi,
Koesno, “Kajian Perubahan Regulasi Penanggulangan Kejahatan Terorisme”. Makalah
disampaikan dalam Workshop 2 pada tanggal 28-30 Januari, Malang: Pusat
Pengembangan Otoda Fakultas Hukum Unibraw
Bali Post, 2 November
2002
Duta Masyarakat, 22
september 2002
Duta Masyarakat, 31
Oktober 2002
Kompas, 2 November
2001
Kompas, 11 September
2002
Kompas, 5 Oktober 2002
Kompas, 15 Oktober
2002
Kompas, 29 Oktober
2002
Madkhaly, Hadi al-, Terorisme
Dalam Tinjauan Islam, Tegal: Maktabah Salafy
Press, 2002
Muladi,
Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia,
Jakarta: Habibie Center, 2002
Santoso,
Topo dan Zulva, Eva Achjani, Kriminologi, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2001
Subiyanto,
Bijah, “Transparansi dan Akuntabilitas Publik di bidang Intelijen yang
Berkaitan
dengan Kejahatan Terorisme”. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional: Hakekat
dan Kebijakan Kriminal Kejahatan Terorisme, pada tanggal 21-22 Mei 2003,
Surabaya, fakultas Hukum Ubaya
Sulistyo,
Hermawan, Beyond Terorism, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002
Wahid, Abdul, dkk, Kejahatan
Terorisme: Perspektif Agama, HAM dan Hukum,
Bandung: PT. Refika Aditama, 2004
[1] Kutipan
wawancara dengan M. Tholhah Hasan pada Abdul Wahid, dkk, Kejahatan
Terorisme: Perspektif Agama, HAM dan Hukum, (Bandung: PT. Refika Aditama,
2004), hlm. xii.
[2] Bali
Post, 2 November 2002.
[3] Kompas,
15 Oktober 2002.
[4] Kompas
29 Oktober 2002.
[5] Muladi, Demokrasi
Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Habibie
Center, 2002), hlm.174.
[6] Ibid.
[7] Kompas,
11 September 2002.
[8] Hadi
al-Madkhaly, Terorisme Dalam Tinjauan Islam, (Tegal: Maktabah Salafy
Press, 2002), hlm. 1-2.
[9] Hermawan
Sulistyo, Beyond Terorism, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), hlm.
3.
[10] Kompas,
5 Oktober 2002, hlm. 28.
[11] Bijah
Subiyanto, “Transparansi dan Akuntabilitas Publik di bidang Intelijen yang
Berkaitan dengan Kejahatan Terorisme”. Makalah disampaikan dalam Seminar
Nasional: Hakekat dan Kebijakan Kriminal Kejahatan Terorisme, pada
tanggal 21-22 Mei 2003, Surabaya, fakultas Hukum Ubaya, hlm. 2.
[12] Koesno
Adi, “Kajian Perubahan Regulasi Penanggulangan Kejahatan Terorisme”. Makalah
disampaikan dalam Workshop 2 pada
tanggal 28-30 Januari, Malang: Pusat
Pengembangan Otoda Fakultas Hukum Unibraw, hlm. 2.
[13] Kompas,
2 November 2001.
[14] Duta
Masyarakat, 22 September 2002.
[15] Duta
Masyarakat, 31 Oktober 2002.
[16] Topo
Santoso dan Eva Achjani Zulva, Kriminologi, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2001), hlm. 2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar