Sabtu, 08 Desember 2012


TERORISME
(Analisis Terhadap Eksistensi Teroris dalam Negara Hukum dan Agama)

Oleh: Hartono

Sekapur Sirih
Prahara kemanusiaan di dunia ini sudah mengisi agenda sejarah sebagai produk manusia yang kehilangan etos keberadabannya. Banyak orang dengan mudahnya melahirkan sebuah persepsi, praduga tak bersalah (presumption of guilt) dan saling mencurigai kalau kekerasan yang terjadi dalam suatu komunitas dan konflik-konflik internal suatu negara adalah identik dengan terorisme. Bahkan negara pun bisa jadi terjebak dalam sifat ketergesa-gesaan untuk memproduk hukum yang mengatur terorisme, meskipun untuk memberikan pemaknaan yang tegas tentang terorisme masih sulit dirumuskan atau masih terdapat perbedaan pendapat yang mendasar. Ironisnya lagi, banyak orang gampang terjebak dalam asumsi yang dibangun masyarakat global, khususnya Barat kalau negara Indonesia identik dengan teroris.
Kondisi pluralistik masyarakat Indonesia menjadi salah satu penyebab sulitnya menyatukan visi tentang terorisme, khususnya jika dikaitkan dengan persoalan agama. Eksistensi agama masyarakat Indonesia yang beragam mengandung konsekuensi terjadinya perbedaan “mazhab” yang tidak mungkin atau menyulitkan untuk melakukan unifikasi pemikiran terorisme.[1]
            Bisa jadi dalam suatu perspektif atau pemahaman, tindakan kekerasan, radikalisme, ektrimisme, atau gerakan-gerakan yang dinilai sebagai “kiri” digolongkan dan mendapatkan stigma sebagai perbuatan melanggar hukum, menghina kewibawaan negara, dan melecehkan Hak Asasi Manusia (HAM), namun tidak pula dapat dipungkiri bahwa aksi kekerasan itu dibenarkan menurut kacamata suatu komunitas pemeluk agama, bahkan ditempatkan sebagai suatu kewajiban yang menuntut ditegakkan.
            Cukup wajar kalau lahirnya ketentuan hukum yang mengatur terorisme mendapatkan koreksi atau disikapi secara kritis oleh masyarakat, terutama komunitas agama. Sebab dalam kacamata mereka ini, apa yang dirumuskan dalam produk hukum itu dinilai telah nyata-nyata kontra-normatif dengan doktrin-doktrin agama yang memberikan pembenaran kekerasan.
            Gerakan-gerakan bercorak radikal atau fundamental dalam suatu persepsi komunitas agama tertentu adalah kewajiban yng menuntut implementasi ketika aksi itu ditujukan sebagai bentuk konkrit perjuangan menegakkan keadilan, persamaan derajat, kebenaran, dan harkat martabat kemanusiaan. Konsep dan doktrin Islam “amar ma’ruf nahi munkar” misalnya oleh suatu komunitas keagamaan tertentu telah ditempatkan sebagai prinsip jihad yang menuntut totalitas kapabilitas dirinya, termasuk menggunakan kekuatan fisik sehingga ketika konsep ini dijadikan ruh dan prinsip perjuangan menegakkan ajaran agama, maka dampaknya adalah terjadi benturan dengan kekuatan komunitas sesama pemeluk agama dan pemeluk agama lain serta kepentingan-kepentingan politik, sosial, budaya, ekonomi yang dibangun oleh negara, yang pemerintahnya tidak punya keinginan untuk memperbaharui ketimpangan moral-strukturalnya. Akhirnya benturan yang terjadi eskalasinya meluas, yakni negara vis-à-vis dengan agama (komunitas) dan pemeluk agama lain menjadi musuh bagi pemeluk agama lain.
            Di sisi lain, produk hukum selain akan diuji kemampuan normatifnya oleh pelaku-pelaku terorisme, juga akan menjadi objek yang dikritisi. Ibaratnya, seperti pisau bermata dua, di satu aspek, hukum punya kewibawaan suci dan mulia untuk menjaga tegaknya HAM melalui penegakan hukum (law enforcement) yang fair, objektif dan realistik. Namun di sisi yang lain, hukum juga akan ikut dipersalahkan jika tahap implementasinya “disalahgunakan” oleh aparat dan pelaku-pelaku yang punya target politik, yang salah satu dampaknya melecehkan HAM, agama dan negara yang bersangkutan.

Definisi Terorisme
            Hingga saat ini, definisi terorisme masih menjadi perdebatan meskipun sudah ada ahli yang merumuskan, dan dirumuskan di dalam peraturan per-UU. Amerika Serikat sendiri yang pertama kali mendeklarasikan “perang melawan teroris” belum memberikan definisi secara gamblang dan jelas sehingga semua orang bisa memahami makna sesungguhnya tanpa keraguan, tidak merasa didiskriminasikan serta dimarginalkan.
            Ketiadaan definisi hukum Internasional mengenai terorisme tidak serta merta berarti meniadakan definisi hukum tentang terorisme itu. Menurut hukum nasional masing-masing negara, di samping bukan berarti meniadakan sifat jahat perbuatan itu dan dengan demikian lantas bisa diartikan bahwa pelaku terorisme bebas dari tuntutan hukum. Nullum crimen sine poena, bunyi sebuah asas hukum tua, yang bermakna bahwa tiada kejahatan yang boleh dibiarkan berlaku begitu saja tanpa hukuman, tetapi karena faktanya kini terorisme sudah bukan lagi sekedar International Crime dan sudah menjadi Internationally Organized Crime maka sangatlah sulit untuk memberantas kejahatan jenis ini tanpa adanya kerjasama dan pemahaman yang sama di kalangan negara-negara.[2]
            Kata teroris (pelaku) dan terorisme (aksi) berasal dari kata latin ‘terrere’ yang berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Kata ‘teror’ juga bisa menimbulkan kengerian di hati dan pikiran korbannya. Akan tetapi hingga kini tidak ada definisi terorisme yang dapat diterima secara universal. Pada dasarnya, istilah terorisme merupakan sebuah konsep yang memiliki konotasi yang sangat sensitive karena terorisme menyebabkan terjadinya pembunuhan dan penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa atau masyarakat sipil. Masing-masing negara mendifinisikan terorisme menurt kepentingan dan keyakinan mereka sendiri untuk mendukung kepentingan nasionalnya.[3]
            Pengertian terorisme untuk pertama kali dibahas dalam European Convention on the Supression of Terorism (ECST) di Eropa pada tahun 1977 terjadi perluasan paradigma arti dari Crimes Against State menjadi Crimes Against Humanity. Crimes Against Humanity meliputi tindak pidana untuk menciptakan suatu keadaan yang mengakibatkan individu, golongan dan masyarakat umum ada dalam suasana teror. Dalam kaitannya dengan HAM, Crimes Against Humanity masuk kategori gross violation of human rights yang dilakukan sebagai bagian serangan yang meluas atau sistematik dan diketahui bahwa serangan itu ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, lebih-lebih diarahkan pada jiwa-jiwa orang yang tidak bersalah (public by innocent) sebagaimana halnya terjadi di Bali. Seruan diperlukannya suatu per-UU terorisme pun disambut pro kontra mengingat polemik definisi mengenai terorisme masih bersifat multi interpretative, umumnya lebih mengarah pada polemik kepentingan negara atau state interested. Bila indikasi pengertian ini lebih mengarah pada kepentingan negara setidaknya sebagai perbuatan Crimes Against State maka sangat dikhawatirkan adanya jubah subversi (UU No. 11/PNPS/1963) muncul ke permukaan sebagai ekspresi demokrasi dan HAM.[4]
            Untuk memahami makna terorisme lebih jauh dan mendalam, dapat dikaji terlebih dahulu definisi terorisme yang dikemukakan oleh beberapa lembaga atau ahli, diantaranya:
1.      US Central Intelegence Agency (CIA); terorisme internasional adalah terorisme yang dilakukan dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan atau diarahkan untuk melawan negara, lembaga atau pemerintah asing.
2.      US Federal Bureau of Investigation (FBI); terorisme adalah penggunaan kekerasan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta untuk mengintimidasi sebuah pemerintah, penduduk sipil serta elemennya unuk mencapai tujuan sosial atau politik.
3.      US Departments of State and Defense; terorisme adalah kekerasan bermotif politik dan dilakukan oleh agen negara atau kelompok subnasional terhadap sasaran kelompok non kombatan. Biasanya dengan maksud untuk mempengaruhi audiens. Terorisme internasional adalah terorisme yang melibatkan warga negara atau wilayah lebih dari satu negara.
4.      Black’s Law Dictionary; terorisme adalah kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana Amerika, atau negara bagian Amerika, dan dimaksudkan untuk mengintimidasi penduduk sipil, mempengaruhi kebijakan pemerintah, mempengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan dan pembunuhan.
5.      The Arab Convention on the Supression of Terorism (1998); terorisme adalah tindakan atau ancaman kekerasan, apapun motif dan tujuannya, yang terjadi untuk menjalankan agenda tindak kejahatan individu atau kolektif yang menyebabkan teror di tengah masyarakat, rasa takut dengan melukai mereka atau mengancam kehidupan, kebebasan atau keselamatan atau bertujuan untuk menyebabkan kerusakan lingkungan atau harta publik maupun pribadi atau menguasai dan merampasnya atau bertujuan untuk mengancam sumber daya nasional.
6.      Treaty on Cooperation among the State Members of the Commonwealth of Independent States in Combating Terorism (1999); terorisme adalah tindakan illegal yang diancam hukuman di bawah hukuman pidana yang dilakukan dengan tujuan merusak keselamatan publik, mempengaruhi pengambilan kebijakan oleh penguasa atau moneter penduduk, dan mengambil bentuk kekerasan atau ancaman.[5]
7.      Convention of Organization of Islamic Conference on Combating of International Terorism (1999); terorisme adalah tindakan kekerasan atau ancaman tindakan kekerasan terlepas dari motif atau niat yang ada untuk menjalankan rencana tindak kejahatan individu atau kolektif dengan tujuan menteror orang lain atau mengancam untuk mencelakakan mereka atau mengancam kehidupan, kehormatan, kebebasan, keamanan dan hak mereka atau mengeksploitasi lingkungan atau fasilitas atau harta benda pribadi atau publik atau menguasainya atau merampasnya, membahayakan sumber nasional atau fasilitas internasional, atau mengancam stabilitas, integritas teritorial, kesatuan politis atau kedaulatan negara-negara yang merdeka.[6]
8.      Paul Wilkinson; terorisme adalah aksi teror yang sistematis, rapi dan dilakukan oleh organisasi tertentu.[7]
9.      Hadi al-Madkhaly; terorisme adalah sebuah kalimat yang terbangun di atasnya makna yang mempunyai bentuk (modus) beraneka ragam yang intinya adalah gerakan intimidasi atau teror atau gerakan yang menebarkan rasa ketakutan pada individu atau kelompok masyarakat.[8]
10.  Hafid Abbas (Dirjen Perlindunngan HAM Depkeh dan HAM RI); terorisme adalah pemakaian kekuatan atau kekerasan tidak sah melawan orang atau property untuk mengintimidasi atau menekan pemerintah, masyarakat sipil, atau bagian-bagiannya untuk memaksa tujuan sosial dan politik.[9]
11.  Dalam pasal 1Perpu No.01 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (sekarang UU No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme); terorisme adalah perbuatan melawan hukum secara sistematis dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara dengan membahayakan bagi badan, nyawa, moral, harta benda dan kemerdekaan orang atau menimbulkan kerusakan umum atau suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas sehingga terjadi kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, kebutuhan pokok rakyat, lingkungan hidup, moral, peradaban, rahasia negara, kebudayaan, pendidikan, perekonomian, teknologi, perindustrian, fasilitas umum atau fasilitas internasional.

Karakteristik Terorisme
            Dalam sebuah laporannya yang diberi judul The Sociology and Psichology of Terorism; Who Become a Terorist and Why? Divisi riset federal (konggres AS) disebutkan ada lima ciri dari kelompok teroris, yakni: separatis-nasionalis, fundamentalis-relegius, relegius baru, revolusioner, revolusioner sosial dan teroris sayap kanan. Klasifikasi kelompok ini didasarkan pada asumsi bahwa kelompok-kelompok teroris dapat dikategorikan menurut latar belakang politik dan idiologi.[10]
            Ciri pengidentifikasian terorisme akan dapat memberikan pengenalan yang tunggal dan solid mengenai terorisme, agar dapat mudah dikenali dalam konteks operasinya. Dalam sudut pandang seperti tersebut, maka paling tidak ada sebelas (11) ciri identifikasi terorisme:
1.      Terorisme, apapun metode yang digunakan ia merupakan suatu bentuk penggunaan kekerasan (oleh suatu kelompok), untuk menekan pemerintah dan atau masyarakat, agar menerima tuntutan perubahan sosial maupun politik yang secara umum bernuansa dan atau menggunakan cara-cara yang bersifat radikal.[11]
2.      Spektrum motivasi yang melatarbelakangi gerakan dan aksinya memiliki spektrum yang beragam.
3.      Komunitas yang sangat spesifik (komunitas yang terus menerus dicaci maki, ditekan atau dirongrong wibawanya.
4.      Sangat profesional dalam tugasnya dan mendapat perlindungan yang ketat dari organisasi dan sebaliknya.
5.      Sangat sulit dilacak dan dibuktikan secara legal.
6.      Upaya memerangi terorisme multidimensi dan multidisipliner.
7.      Secara organisatoris, baik dalam pembinaan, pengembangan dan operasinya memiliki sayap operasional dilapangan.
8.      Selalu mengadakan kerjasama yang melampaui batas wilayah negara.
9.      Penampilan para teroris sering mengecoh aparat.
10.  Sepak terjang teroris lebih licik, lincah dan licin.
11.  Doktrin operasi terorisme yang merupakan petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis dan petunjuk taktis di lapangan.

Bentuk-bentuk Terorisme
            Ada beberapa bentuk terorisme yang dikenal, yaitu teror kriminal dan teror politik. Teror kriminal biasanya hanya untuk kepentingan pribadi atau memperkaya diri sendiri. Teroris kriminal biasanya menggunakan cara pemerasan dan intimidasi. Lain halnya dengan teroris politik yang lebih memilih-milih korbannya. Ada beberapa karakteristik dari teroris politik yaitu merupakan intimidasi koersif, memakai pembunuhan dan destruksi secara sistematis sebagai sarana, korban bukan tujuan, melainkan sarana untuk menciptakan perang urat syaraf, target aksi teror dipilih, bekerja secara rahasia dengan tujuan publisitas, pesan aksi itu cukup jelas, ara pelaku kebanyakan dimotivasi oleh idealisme yang cukup keras.
            Kejahatan terorisme jika dibandingkan dengan jenis-jenis kejahatan lain, maka terorisme merupakan suatu kejahatan yang unik. Terdapat banyak elemen yang membedakannya dengan kejahatan yang lain, diantarannya seringkali terdapat elemen yang ekstrim (extreme fear), adanya tujuan tertentu, penggunaan teknologi baik di bidang persenjataan maupun teknologi lain  (misalnya komunikasi), dan gerakannya klandestin atau tertutup.[12]



Terorisme dalam Perspektif Islam
            Dari sudut pandang agama, Azumardi Azra, Rektor UIN Syarif Hidayatulah Jakarta mengatakan bahwa terorisme sebagai kekerasan politik sepenuhnya bertentangan dengan etos kemanusiaan yang sangat menekankan kemanusiaan universal. “Islam menganjurkan umatnya untuk berjuang mewujudkan perdamaian, keadilan, dan kehormatan, akan tetapi perjuangan itu haruslah tidak dilakukan dengan cara-cara kekerasan atau terorisme. Setiap perjuangan untuk keadilan harus diperjuangkan dan dibela setiap manusia. Isalm memang menganjurkan dan memberi justifikasi kepada Muslim untuk berjuang, berperang (harb), dan menggunakan kekerasan (qital) terhadap para penindas, musuh-musuh Islam dan pihak luar yang menunjukkan sikap bermusuhan atau tidak mau hidup berdampingan secara damai dengan Islam dan kaum Muslimin.[13]
            Islam ssebagai agama Rahmatan lil ‘alamin, jelas menolak dan melarang penggunaan kekerasan demi untuk mencapai (al-Ghayah) termasuk yang baik sekalipun. Sebuah kaidah ushul dalam Islam menegaskan al-ghayah la tubarrir al-wasilah (tujuan tidak bisa menghalalkan segala cara). Islam menegaskan bahwa pembasmian suatu jenis kemungkaran tidak boleh dilakukan dengan kemugkaran pula. Tidak ada alasan etik dan moral sedikitpun yang bisa membenarkan suatu tindakan kekerasan, apalagi teror. Dengan demikian kalau ada tindakan-tindakan teror yang dilakukan oleh kelompok Islam tetentu, maka sudah pasti alasannya bukan karena ajaran etik moral Islam, melainkan agenda lain yang tersembunyi di balik tempurung tindakan tersebut.[14] Ditegaskan oleh Hasyim Muzadi bahwa peledakan bom yang beruntun terjadi di Indonesia bukan bagian dari ajaran agama. Tapi itu merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, tidak boleh dibelokkan pada komunitas agama manapun.[15]
            Fundamentalisme, merupakan sebutan tudingan yang belum jelas ditujukan kemana. Istilah ini pada mulanya dipakai untuk gerakan kaum reaksioner Kristen di Amerika Serikat (sejak 1870) yang merasa terancam oleh ajaran-ajaran teologi liberal dan evolusi sehingga perlu untuk kembali ke asas fundamen. Mereka berpangkal pada prinsip “tak mungkin salah” dari kitab sucinya, termasuk bentuk asli dari kitab suci tidak boleh diubah dan tidak mau tahu terhadap pandangan-pandangan teologi baru dan eksegesi (penafsiran kitab suci) yang mencoba menyentuh bentuk kepercayaan tradisional mereka. Gerakan ini bersifat kaku dan banyak menimbulkan perpecahan-perpecahan gereja dan perpecahan sekte.
            Ada satu hal yang menurut penyusun merupakan cara yang proporsional untuk menghindari teror bagi kaum Muslimin yaitu dengan cara memperbaiki pemahaman,penghayatan dan implementasi ke Islamannya. Pemahaman yang sempit (ekslusif) dan dangkal harus diperluas dan diperdalam; pemahaman yang subjektif individual harus diobjektivikasi sehingga konstruktif secara sosial dan kultural. Gerakan pencerdasan lewat tafsir keagamaan yang inklusif dan esoteric harus sering digalakkan atau disosialisasikan. Bagaimanapun, dengan pemahaman keagamaan yang sempit akan sulit menjadi nalar cerdas dalam menyikapi pluralitas sosial dan demokratisasi dalam beragama.

Terorisme dalam Perspektif Hukum di Indonesia
            Perpu No.1 Tahun 2002 yang telah disahkan menjadi UU No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang dijadikan dasar hukum Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan terorisme adalah (1) Segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan UU ini (pasal 1 ayat 1). (2) setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang srategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (pasal 6).
            Pengaturan tindak pidana terorisme selain dalam UU No.15 Tahun 2003, juga dapat didukung dengan peraturan yang lainnya yaitu, UU Darurat No.12 Tahun 1951 Tentang Kepemilikan Senjata Api, dan KUHP, namun tetap dalam landasan utamanya adalah UU No.15 Tahun 2003. Dalam UU No.15 Tahun 2003 mengecualikan tindak pidana selain yang bermotif politik (pasal 5). Mengenai terorisme sebagai delik tindak pidana dalam UU No.15 Tahun 2003, dapat dijumpai dalam pasal-pasal sebagai berikut: (1) Delik Materiil yang terdapat dalam pasal 6; (2) Delik Formil yang terdapat dalam pasal 7 sampai dengan 12; (3) Delik Percobaan, (4) Delik Pembantuan; (5) Delik Penyertaan terdapat dalam pasal 13 dan 15; dan (6) Delik Perencanaan terdapat dalam pasal 14.
            Pertanggungjawaban pidana yang dapat diterapkan pada pelaku tindak pidana terorisme, yaitu: Liability Based on Fault yang dapat dikenakan hanya pada orang/secara tunggal, sedang pada korporasi: Strict Liability dan Vicarious Liability. Liability Based on Fault atau dalam hukum pidana geen straf zonder schuld merupakan teori pertanggungjawaban yang tradisional. Bahwasanya dalam teori pertanggungjawaban pidana tersebut harus diisyaratkan adanya kesalahan (fault) atau negligence atau schuld untuk dapat dipertanggungjawabkannya kepada seseorang.[16] Tetapi yang harus digarisbawahi orang yang  bersangkutan harus dinyatakan terlebih dahulu bahwa perbuatannya tersebut melawan hukum yang berkaitan dengan kejahatan terorisme (unsur-unsur pidana terorisme).
            Mengenai teori pertanggungjawaban stricht liability didasarkan pada tiga hal yaitu: sangat esensial bagi kesejahteraan masyarakat; pembuktian adanya unsur mens rea akan menjadi sulit dalam pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat; tingginya tingkat bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan yang dilakukan. Dalam lapangan hukum pidana strict liability didasarkan pada besarnya kerugian yang ditimbulkan dan pemberatan pidana bagi korporasi.

Kesimpulan
            Terorisme adalah perlawanan atau peperangan bukan pada militer melainkan orang-orang yang tidak berdosa dan masyarakat sipil. Teror dentik dengan menakut-nakuti dan mengancam sehingga tidak bisa diterima oleh akal manusia dan tidak dibenarkan oleh semua agama. Di dalam agama memang ada tindakan kekerasan yang dibenarkan, tetapi hal tersebut sebagai wujud implementasi hukum (syari’ah), seperti masih diakuinya sanksi dalam bentuk hukuman mati.
            Pengaturan tindak pidana terorisme selain dalam UU No.15 Tahun 2003, juga dapat didukung dengan peraturan lainnya yaitu, UU Darurat No.12 Tahun 1951 Tentang Kepemilikan Senjata Api, dan KUHP, namun tetap landasan utamanya adalah UU No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana terorisme adalah (1) Segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan UU ini (pasal 1 ayat 1). (2) Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitaas publik atau fasilitas internasional (pasal 6).
            Dalam UU No.15 Tahun 2003 mengecualikan tindak pidana selain yang bermotif politik (pasal 5). Mengenai terorisme sebagai delik tindak pidana dalam UU N0.15 Tahun 2003, dapat dijumpai dalam pasal-pasal sebagai berikut: (1)   Delik Materiil yang terdapat dalam pasal 6; (2) Delik Formil yang terdapat dalam pasal 7 sampai dengan 12; (3) Delik Percobaan, (4) Delik Pembantuan; (5) Delik Penyertaan terdapat dalam pasal 13 dan 15; dan (6) Delik Perencanaan terdapat dalam pasal 14.
1.      Pertanggungjawaban pidana yang dapat diterapkan pada pelaku tindak pidana terorisme, yaitu: Liability Based on Fault yang dapat dikenakan hanya pada orang/secara tunggal, sedang pada korporasi: Strict Liability dan Vicarious Liability.
2.      Penggunaan sistem peradilan pidana merupakan suatu respon terhadap penanggulangan dan penanganan kejahatan atau kriminalitas, adalah juga merupakan wujud dari usaha penegakkan hukum pidana. Mekanisme peradilan pidana sebagai suatu proses, atau disebut Criminal Justice Process dimulai dari penangkapan, penggeledahan, penahanan, penuntutan dan pemeriksaan di muka sidang pengadilan, serta diakhiri dengan pelaksanaan pidana atau eksekusi.


_____________


DAFTAR PUSTAKA:
Adi, Koesno, “Kajian Perubahan Regulasi Penanggulangan Kejahatan Terorisme”. Makalah disampaikan dalam Workshop 2 pada tanggal 28-30 Januari, Malang: Pusat Pengembangan Otoda Fakultas Hukum Unibraw
Bali Post, 2 November 2002
Duta Masyarakat, 22 september 2002
Duta Masyarakat, 31 Oktober 2002
Kompas, 2 November 2001
Kompas, 11 September 2002
Kompas, 5 Oktober 2002
Kompas, 15 Oktober 2002
Kompas, 29 Oktober 2002
Madkhaly, Hadi al-, Terorisme Dalam Tinjauan Islam, Tegal: Maktabah Salafy
            Press, 2002
Muladi, Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia,
Jakarta: Habibie Center, 2002
Santoso, Topo dan Zulva, Eva Achjani, Kriminologi, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2001
Subiyanto, Bijah, “Transparansi dan Akuntabilitas Publik di bidang Intelijen yang
Berkaitan dengan Kejahatan Terorisme”. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional: Hakekat dan Kebijakan Kriminal Kejahatan Terorisme, pada tanggal 21-22 Mei 2003, Surabaya, fakultas Hukum Ubaya
Sulistyo, Hermawan, Beyond Terorism, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002
Wahid, Abdul, dkk, Kejahatan Terorisme: Perspektif Agama, HAM dan Hukum,
            Bandung: PT. Refika Aditama, 2004




[1] Kutipan wawancara dengan M. Tholhah Hasan pada Abdul Wahid, dkk, Kejahatan Terorisme: Perspektif Agama, HAM dan Hukum, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2004), hlm. xii.
[2] Bali Post, 2 November 2002.
[3] Kompas, 15 Oktober 2002.
[4] Kompas 29 Oktober 2002.
[5] Muladi, Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Habibie Center, 2002), hlm.174.

[6] Ibid.

[7] Kompas, 11 September 2002.

[8] Hadi al-Madkhaly, Terorisme Dalam Tinjauan Islam, (Tegal: Maktabah Salafy Press, 2002), hlm. 1-2.

[9] Hermawan Sulistyo, Beyond Terorism, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), hlm. 3.
[10] Kompas, 5 Oktober 2002, hlm. 28.

[11] Bijah Subiyanto, “Transparansi dan Akuntabilitas Publik di bidang Intelijen yang Berkaitan dengan Kejahatan Terorisme”. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional: Hakekat dan Kebijakan Kriminal Kejahatan Terorisme, pada tanggal 21-22 Mei 2003, Surabaya, fakultas Hukum Ubaya, hlm. 2.
[12] Koesno Adi, “Kajian Perubahan Regulasi Penanggulangan Kejahatan Terorisme”. Makalah disampaikan dalam Workshop  2 pada tanggal  28-30 Januari, Malang: Pusat Pengembangan Otoda Fakultas Hukum Unibraw, hlm. 2.

[13] Kompas, 2 November 2001.

[14] Duta Masyarakat, 22 September 2002.

[15] Duta Masyarakat, 31 Oktober 2002.
[16] Topo Santoso dan Eva Achjani Zulva, Kriminologi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 2.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar